Wilayah Raja Berempat dalam Struktur Kepemimpinan Karo

Dalam masyarakat Karo, struktur kepemimpinan tradisional memiliki peran penting dalam mengatur urusan adat, politik, dan hubungan antarwilayah. Di dataran tinggi Karo, gelar Sibayak dikenal sebagai pemimpin tertinggi suatu wilayah, dan ia membawahi beberapa urung. Setiap urung dipimpin oleh seorang raja urung, sehingga dalam berbagai catatan sejarah maupun tradisi lisan, istilah “raja” dapat merujuk pada banyak figur pemimpin, tergantung konteks wilayahnya. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kebingungan bagi mereka yang baru mempelajari struktur sosial Karo.

Beberapa kelompok yang dikenal sebagai Raja Berempat, yaitu:

  1. Raja Berempat di Dataran Tinggi Karo Timur

  2. Raja Berempat di Dataran Tinggi Karo Barat

  3. Raja Berempat dalam struktur Melayu di wilayah Kesultanan Deli

  4. Raja Berempat dalam struktur Melayu di wilayah Kesultanan Langkat

Raja Berempat di Dataran Tinggi Karo Timur

Kelompok ini terdiri dari:

  • Sibayak Barus Jahe (marga Barus)

  • Sibayak Lingga (marga Sinulingga)

  • Sibayak Sarinembah (marga Milala)

  • Sibayak Suka (marga Suka)

Raja Berempat di Dataran Tinggi Karo Barat

Kelompok ini terdiri dari:

  • Sibayak Kutabuluh (marga Kutabuluh)

  • Sibayak Bangun Mulia (marga Bangun)

  • Sibayak Perbesi (marga Sebayang)

  • Sibayak Taneh Pinem (marga Pinem)

Pembagian Administratif pada Masa Kolonial

Pembagian itu dilakukan melalui dokumen yang disebut Korte Verklaring 1907, yaitu perjanjian pendek yang dibuat Belanda dengan para pemimpin lokal (Sibayak atau Raja). Melalui perjanjian ini, wilayah Karo secara resmi dibagi menjadi lima unit administratif yang disebut landschaap

Dalam pembagian ini wilayah dataran rendah seperti Deli dan Langkat tidak dimasukkan ke dalam lima  landschaap tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian itu bukan hanya sekadar administrasi, tetapi dapat dipahami sebagai bentuk fragmentasi wilayah, yang berpotensi melemahkan kesatuan politik atau struktur adat Karo.

Dengan kata lain, 

Pada masa pemerintahan Belanda, wilayah adat Karo tidak lagi dianggap sebagai satu kesatuan, tetapi dipetakan ulang dan dijadikan lima wilayah administratif terpisah melalui perjanjian resmi dengan pemimpin lokal.

Pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Landschaap Lingga

Dipimpin oleh merga Sinulingga, membawahi enam urung:

  • Sepuluh Dua Kuta (Kabanjahe)

  • Telu Kuta (Lingga)

  • Tigapancur (Tigapancur)

  • Empat Teran (Naman)

  • Lima Senina (Batu Karang)

  • Tiganderket (Tiganderket)

2. Landschaap Kutabuluh

Dipimpin oleh merga Perangin-angin (Kutabuluh/Sukatendel), membawahi dua urung:

  • Namo Haji (Kutabuluh)

  • Liang Melas (Samperaya)

3. Landschaap Sarinembah

Dipimpin oleh merga Sembiring Meliala, membawahi empat urung:

  • Sepuluhpitu Kuta (Sarinembah)

  • Perbesi (Perbesi)

  • Juhar (Juhar)

  • Kuta Bangun (Kuta Bangun)

4. Landschaap Suka

Dipimpin oleh merga Ginting Suka, membawahi empat urung:

  • Suka (Suka)

  • Sukapiring/Seberaya (Seberaya)

  • Ajinembah (Ajinembah)

  • Tongging (Tongging)

5. Landschaap Barusjahe

Dipimpin oleh merga Barus, membawahi dua urung:

  • Sipitu Kuta (Barusjahe)

  • Sinaman Kuta (Sukanalu)

Perubahan Struktur Kepemimpinan di Dataran Rendah

Di wilayah dataran rendah, khususnya Deli dan Langkat, struktur kepemimpinan Karo mengalami perkembangan berbeda. Seiring terjalinnya hubungan politik antara Haru, Aceh, dan kemudian munculnya Kesultanan Deli, posisi raja urung bertransformasi menjadi kedatukan dalam sistem pemerintahan Melayu.

Pada masa awal Kesultanan Deli, terdapat empat urung Karo yang tercatat, yaitu:

  1. Urung Sepuluh Dua Kuta di Hamparan Perak (merga Pelawi)

  2. Urung Serbanyaman di Sunggal (merga Surbakti)

  3. Urung Sukapiring di Delitua (merga Sembiring Meliala & Karosekali)

  4. Urung Senembah di Tanjung Morawa (merga Barus)

Kesinambungan Identitas Karo

Meskipun struktur pemerintahan berubah–baik karena dinamika politik internal, hubungan antarkerajaan, maupun intervensi kolonial identitas Karo tetap hadir dan bertahan. Bahasa, adat, struktur kekerabatan, serta sistem relasi sosial seperti kalimbubu, senina, dan anak beru terus diwariskan lintas generasi. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kekuasaan tidak menghilangkan identitas masyarakat Karo, melainkan menjadi bagian dari perjalanan sejarah yang membentuknya hingga kini.