Asal-usul Sembiring: Antara Sejarah, Dugaan, dan Tanggung Jawab Ilmiah

dok. Perayaan pelantikan raja Sibayak Sarinembah. Sumber foto: Collection Tropenmuseum, Netherlands.

Perdebatan mengenai asal-usul merga Sembiring kembali mengemuka, terutama klaim yang menyebutkan bahwa Sembiring berasal dari India sering dikaitkan dengan Chola, Pandya, dan wilayah India Selatan. Narasi ini kerap disampaikan panjang, runtut, dan tampak logis. Namun persoalan mendasarnya bukan apakah cerita tersebut terdengar masuk akal, melainkan apakah ia dapat dibuktikan secara ilmiah.

Hingga hari ini, harus diakui secara jujur bahwa belum ada bukti ilmiah yang menyatakan Sembiring berasal dari India. Tidak ditemukan prasasti, naskah primer, catatan kontemporer, maupun hasil penelitian arkeologi, linguistik historis, atau genetika yang secara eksplisit menyebut Sembiring sebagai keturunan langsung kerajaan-kerajaan India tersebut. Tanpa bukti-bukti ini, klaim asal India tidak dapat ditempatkan sebagai fakta sejarah, melainkan baru sebatas dugaan atau hipotesis populer.

Salah satu dasar yang sering digunakan untuk memperkuat klaim tersebut adalah kemiripan nama sub-merga seperti Pandia, Colia, Brahmana, Meliala, atau Maha dengan istilah yang dikenal di India. Namun dalam metodologi sejarah, kemiripan nama tidak otomatis menunjukkan kesamaan asal-usul. Nama dapat muncul karena proses adaptasi bahasa, pengaruh kosakata umum (seperti Sanskerta), atau penamaan lokal yang berkembang dalam konteks budaya yang berbeda.

Analogi sederhana dapat dilihat pada Purbalingga di Jawa Tengah. Kata purba dan lingga juga dikenal sebagai istilah atau nama merga di Sumatera Utara. Namun tidak pernah ada klaim ilmiah yang menyatakan Kabupaten Purbalingga memiliki hubungan genealogis atau budaya dengan merga-merga di Sumatera Utara. Purbalingga memiliki sejarahnya sendiri dalam konteks kebudayaan Jawa. Kesamaan istilah tidak dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan lintas wilayah. Prinsip yang sama seharusnya berlaku dalam membaca sejarah Sembiring.

Dengan demikian, kemunculan nama-nama yang terdengar “India” dalam sub-merga Sembiring tidak dapat serta-merta dijadikan bukti asal-usul India. Tanpa data primer yang dapat diverifikasi, penarikan kesimpulan semacam itu justru berisiko melahirkan sejarah spekulatif, bukan sejarah ilmiah.

Sebaliknya, yang dapat dibuktikan secara nyata adalah eksistensi Sembiring sebagai bagian integral dari sistem budaya Karo. Struktur sub-merga, aturan larangan perkawinan, pembagian kelompok, hingga praktik ritual kematian menunjukkan bahwa Sembiring tumbuh, berkembang, dan berfungsi sepenuhnya dalam kerangka adat Karo. Ini adalah fakta budaya yang hidup dan dapat diamati hingga hari ini.

Bahkan dalam beberapa penjelasan, asal-usul sub-merga tertentu sendiri diakui hanya sebagai “diduga” dan belum pernah diteliti secara mendalam. Pengakuan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa dugaan tidak boleh dinaikkan derajatnya menjadi kebenaran sejarah tanpa penelitian lanjutan.

Hal yang paling mendasar untuk ditegaskan adalah bahwa menjadi Karo bukan ditentukan oleh klaim darah atau narasi migrasi, melainkan oleh tunduk dan menyatu dalam sistem adat dan budaya Karo. Jika memang pernah ada unsur luar yang masuk, maka yang menentukan identitasnya bukan asal geografisnya, melainkan proses pembudayaan yang menjadikannya Karo.

Oleh karena itu, diskusi tentang asal-usul Sembiring seharusnya diarahkan pada penelitian serius dan bertanggung jawab, bukan pengulangan narasi media sosial. Sejarah tidak dibangun dari cerita yang terasa nyambung, melainkan dari data yang dapat diuji. Tanpa itu, klaim apa pun sepanjang apa pun ceritanya tetap berada di wilayah dugaan.

Meluruskan perbedaan antara sejarah dan spekulasi bukan untuk menutup kemungkinan, tetapi justru untuk menjaga martabat pengetahuan dan kebudayaan Karo itu sendiri.