Duka Seribu Nyawa dan Negara yang Selalu Datang Setelah Segalanya Terlambat

Lebih dari 1.000 nyawa melayang dalam banjir bandang dan longsor di Sumatera. Angka itu bukan sekadar statistik bencana, ia adalah vonis kegagalan kolektif dalam membaca tanda-tanda alam, menata ruang hidup, dan menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama pembangunan.

Setiap jenazah yang ditemukan membawa satu pertanyaan yang terus berulang mengapa selalu begini? Mengapa peringatan dini kembali kalah cepat dari derasnya air dan longsor tanah? Mengapa evakuasi selalu berpacu dengan waktu yang sudah habis? Dan mengapa negara hampir selalu hadir setelah korban berjatuhan?

Pemerintah, melalui BNPB, terus memperbarui data korban dengan presisi administratif. Verifikasi Dukcapil, pencocokan identitas, klarifikasi jenazah semuanya penting. Namun, di balik ketelitian angka itu, tersimpan ironi besar: negara sangat rapi menghitung kematian, tetapi kerap abai mencegahnya.

Kunjungan Presiden Prabowo ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat patut diapresiasi. Permintaan maaf Presiden kepada warga terdampak menunjukkan empati dan tanggung jawab moral. Namun, empati tidak boleh menjadi pengganti evaluasi struktural. Permintaan maaf, betapapun tulus, tidak akan menghidupkan kembali anak-anak yang terseret banjir atau keluarga yang tertimbun longsor.

Bencana ini kembali membuka luka lama tentang rapuhnya tata kelola lingkungan. Alih fungsi lahan, pembalakan, pemukiman di daerah rawan, serta sistem drainase dan sungai yang dibiarkan rusak, telah lama diperingatkan para ahli. Sayangnya, peringatan itu kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan logika pembangunan yang menantang alam, bukan berdamai dengannya.

Ketika Presiden menyatakan kondisi “terkendali”, publik berhak bertanya: terkendali bagi siapa? Bagi pemerintah pusat yang melihat laporan logistik dan suplai pangan, mungkin iya. Tetapi bagi keluarga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan seluruh anggota keluarganya, kata “terkendali” terdengar hampa.

Bantuan logistik 51,9 ton, pengerahan puluhan ribu prajurit TNI, dan kucuran bantuan Rp 1,2 triliun menunjukkan keseriusan negara dalam respons darurat. Namun, tragedi dengan korban lebih dari seribu jiwa menandakan bahwa masalah utama bukan pada respons, melainkan pada pencegahan.

Indonesia tidak kekurangan pengalaman menghadapi bencana. Yang kurang adalah keberanian politik untuk menjadikan mitigasi sebagai kebijakan utama, bukan pelengkap. Pendidikan kebencanaan, penegakan tata ruang, perlindungan hutan, dan sistem peringatan dini sering kalah prioritas dibanding proyek-proyek prestisius.

Duka Sumatera seharusnya menjadi titik balik. Jika tidak, maka bencana ini hanya akan bergabung dalam arsip panjang tragedi nasional dibahas sebentar, ditangisi sesaat, lalu dilupakan hingga air kembali naik dan tanah kembali runtuh.

Lebih dari seribu nyawa telah membayar mahal kelalaian ini. Pertanyaannya sekarang bukan lagi berapa bantuan yang disalurkan, melainkan apakah negara sungguh-sungguh belajar sebelum tragedi berikutnya kembali menagih korban.