Fenomena Viral Dua Pegawai Dimarahi Pelanggan: Potret Tekanan Kerja dan Buruh di Indonesia

Kasus viral dua pegawai toko yang menjadi bahan perbincangan seluruh Indonesia kembali membuka luka lama tekanan kerja berlebihan, upah rendah, dan minimnya perlindungan bagi pekerja ritel di Indonesia. Wajah kedua gadis muda itu kini sudah dilihat jutaan orang termasuk orang tua mereka, bahkan keluarganya.
Namun jika kita menatap lekat-lekat raut wajah mereka, yang tampak bukanlah kelucuan atau bahan lelucon. Yang terlihat adalah kekosongan, kelelahan, dan tekanan yang menumpuk.
Mereka Viral, Tapi Siapa yang Peduli dengan Latar Belakangnya?
Bagi sebagian orang, sikap kedua pegawai tersebut dianggap menyebalkan. Tetapi bagi mereka yang memiliki empati, pertanyaannya tidak berhenti pada video viral itu saja. Kita harus melihat lebih dalam:
-
Dari mana mereka berasal?
-
Bagaimana mereka bisa bekerja di sana?
-
Apa tekanan yang selama ini mereka hadapi?
Perusahaan tempat mereka bekerja menjual berbagai barang murah. Untuk bisa mendapatkan untung, biaya tenaga kerja ditekan serendah mungkin. Efisiensi menjadi segalanya. Dan ketika mencari pekerja dengan upah rendah serta jam kerja panjang, maka yang ditemukan adalah orang-orang yang tidak punya banyak pilihan.
Bagaimana mereka direkrut? Bisa jadi dari pengumuman lowongan kerja, dari teman, atau dari kebutuhan mendesak ekonomi keluarga. Pertanyaannya: berapa sebenarnya gaji mereka? Apakah sesuai UMR?
Ini adalah isu yang seharusnya diselidiki lebih jauh oleh jurnalis dan pemerintah.
Pekerja Ritel: Bekerja Tanpa Pelatihan, Tanpa Pengembangan, Tanpa Harapan
Bekerja tanpa pelatihan, tanpa peningkatan kapasitas, tanpa prospek jenjang karir adalah dunia yang gelap. Banyak pekerja ritel di Indonesia menghadapi kondisi ini:
-
jam kerja panjang,
-
tekanan dari atasan,
-
beban kerja berlebihan,
-
dan tidak ada perlindungan psikologis.
Sehari-hari mereka berurusan dengan ribuan pelanggan yang memiliki karakter berbeda-beda. Bahkan seorang politisi terkenal sekalipun belum tentu sanggup menghadapi tekanan seperti itu setiap hari.
Beberapa dari mereka mungkin sedang memiliki masalah pribadi:
persoalan rumah, pertengkaran dengan pacar, tekanan ekonomi, hingga lilitan pinjol. Semua itu akhirnya meledak menjadi kemarahan spontan yang akhirnya direkam dan diviralkan.
“Kalau Tidak Suka, Kenapa Tidak Berhenti?” – Sebuah Pertanyaan yang Tidak Realistis
Mudah bagi kita untuk berkata, “Jika tidak suka, berhentilah.”
Tapi bagi mereka yang hidup dari penghasilan orang tua buruh cuci atau pekerja serabutan, pilihannya sangat sempit.
Mutu pendidikan yang rendah membuat kompetensi mereka terbatas.
Yang tersisa hanyalah:
-
amarah,
-
kelelahan,
-
kekecewaan pada keadaan hidup,
-
dan hilangnya harga diri.
Mereka adalah gadis-gadis muda yang dipaksa memakai seragam murah yang menghapus keanggunannya. Mereka dilucuti dari martabatnya sebagai perempuan muda—sesuatu yang seharusnya kita jaga sebagai saudara, sebagai sesama warga bangsa.
Saat mereka dibentak, dihitung-hitung, dipasangi aturan ketat, dan diawasi CCTV di mana-mana—yang tercoreng sebenarnya bukan hanya mereka, tapi kita sebagai bangsa yang membiarkan ini terjadi.
Sebagian dari Mereka Justru Menjadi TKW
Tidak sedikit pekerja muda seperti mereka akhirnya memilih menjadi TKW:
-
menjaga orang tua jompo,
-
mengurus anak orang,
-
atau bekerja sebagai buruh perkebunan murah di luar negeri.
Untuk itu mereka harus meninggalkan keluarga, anak, dan kehidupan rumah tangga sendiri. Ironisnya, mereka pergi karena pekerjaan di dalam negeri tidak memberikan harapan.
Ketika Dua Gadis Ini Dihabisi oleh Netizen Satu Negeri
Kini dua gadis pegawai toko itu dihujat habis-habisan.
Dibully di seluruh negeri.
Dicaci di media sosial.
Direkam tanpa izin.
Diviralkan untuk konten.
Perusahaan kemungkinan besar akan memecat mereka, dengan pesangon yang minim—bahkan sering dipotong hutang kasbon.
Ironinya, orang yang merekam video itu disebut “orang baik” karena sedang berbelanja untuk kegiatan sosial. Sementara dua gadis ini dianggap bersalah seolah-olah semua masalah negeri ini berpangkal pada mereka.
Padahal mereka hanya jujur marah. Tidak sedang akting. Tidak sedang mencari panggung.
Mereka hanya menunjukkan kekecewaannya kepada dunia dan itu pun kini harus mereka bayar mahal.
Siapa yang Mau Mendengar Suara Mereka?
Di tengah ributnya dunia maya, ada pertanyaan yang tak pernah dijawab:
siapa yang benar-benar mau mendengar mereka?
Video viral itu mungkin akan hilang beberapa hari lagi.
Tetapi kehidupan dua gadis pekerja ini akan berubah selamanya.
Sementara itu, akar masalah eksploitasi tenaga kerja, tekanan kerja berlebihan, dan rendahnya upah pekerja ritel akan terus berulang tanpa solusi.