Gerakan “Karo Bukan Batak” (KBB) Bukan Anti-Suku, Tetapi Anti-Reproduksi Kolonial

Selama puluhan tahun, masyarakat Indonesia khususnya di Sumatera Utara hidup dengan pemahaman sejarah yang dibentuk oleh narasi kolonial. Dua pandangan besar yang diwariskan melalui pendidikan formal adalah bahwa orang pegunungan identik dengan Batak yang datang dari Pusuk Buhit, dan bahwa wilayah dataran rendah menuju pantai otomatis dianggap wilayah kerajaan Melayu.
Kedua narasi ini telah begitu kuat berakar, sehingga dianggap sebagai kebenaran absolut.
Namun, tulisan-tulisan kolonial, literatur sejarah awal abad ke-19, bukti linguistik, serta temuan lapangan di Deli Hulu dan Langkat Hulu justru menunjukan fakta berbeda. Wilayah yang kini kita kenal sebagai Deli dan sekitarnya ternyata memiliki struktur kekuasaan, kampung, dan identitas budaya Karo jauh sebelum kolonial memperkenalkan kategorisasi etnis seperti yang diajarkan hari ini.
Tulisan kali ini kita akan mengupas secara komprehensif bagaimana narasi kolonial membentuk persepsi keliru, dan bagaimana bukti sejarah menunjukkan bahwa keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu bukanlah hasil migrasi belakangan, melainkan jejak tua yang berakar hingga era pra-kolonial.
1. Mitos-Mitos Kolonial yang Direproduksi Tanpa Kritik
Salah satu latar terbesar dalam persoalan identitas Karo adalah bahwa kita masih mengulang pemahaman kolonial tanpa sikap kritis.
Di sekolah, generasi muda Indonesia diajarkan bahwa ada “lima puak Batak”: Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan Angkola-Mandailing. Seolah pengetahuan itu final, bak kepastian mutlak.
Padahal, menurut para sejarawan, kategorisasi ini merupakan produk administrasi kolonial, bukan hasil kajian antropologi lokal. Tujuan utamanya adalah mempermudah pengelompokan penduduk untuk kepentingan pendataan dan pengendalian sosial.
Ketika muncul gerakan Karo Bukan Batak, banyak orang bertanya:
“Mengapa meributkan identitas, bukankah sejak sekolah sudah diajarkan lima puak Batak?”
Pertanyaan ini justru menunjukkan betapa dalamnya pengaruh narasi kolonial yang direproduksi oleh kaum terpelajar Indonesia dari masa ke masa. Artikel ini mendorong pembaca untuk meragukan, mempertanyakan, dan memeriksa ulang segala pemahaman yang diwariskan.
Dalam ilmu pengetahuan, keraguan adalah fondasi.
Yang absolut hanyalah religiusitas.
Sayangnya, banyak pemahaman kolonial di Indonesia diperlakukan seperti dogma agama diterima tanpa kritik.
2. Mengapa Orang Karo Lambat Mencatat Sejarahnya Sendiri?
Salah satu penyebab utama minimnya dokumentasi sejarah Karo adalah penolakan terhadap pendidikan Barat pada era kolonial.
Orang Karo memandang sekolah penjajah sebagai ancaman, bukan alat kemajuan.
Akibatnya, literasi dan dokumentasi mereka tertinggal.
Namun, menurut peneliti sejarah Anthony Reid, setelah peristiwa 1965, masyarakat Karo justru menyambut pendidikan modern. Bahkan pada awal 1970-an, Karo mencapai tingkat sarjana 1% persentase tertinggi per suku di seluruh Indonesia.
Artinya, sebelum 1970-an, hampir seluruh sejarah, etnografi, dan kategori sosial tentang Karo ditulis oleh orang luar, sehingga sudut pandangnya pun dipengaruhi kepentingan kolonial.
Pemahaman umum masyarakat hari ini pun akhirnya mengikuti catatan itu, bukan realitas lokal.
3. Jejak Karo dalam Struktur Politik Pra-Kolonial Deli
Artikel sumber dengan tegas menyoroti bahwa lebih dari 3/4 wilayah Deli pada masa pra-kolonial merupakan wilayah dari empat urung Karo:
-
Serbanyaman (Surbakti)
-
12 Kuta Lau Cih (Purba)
-
Suka Piring (Meliala)
-
Senembah (Barus)
Keempat urung ini adalah unit pemerintahan tradisional Karo yang memiliki struktur, hukum adat, dan kekuasaan yang jelas. Ini membuktikan bahwa identitas politik Karo sudah mengakar kuat di wilayah Deli lama, jauh sebelum Kesultanan Deli diposisikan kolonial sebagai pemimpin tunggal.
Dengan kata lain:
➡️ Tidak benar bahwa Karo datang dari gunung setelah Melayu menguasai dataran rendah.
➡️ Karo sudah hadir dan berkuasa di Deli, bahkan dalam struktur tradisionalnya sendiri, sebelum kolonial menyederhanakan peta etnik demi kepentingan administratif.
4. Bukti Linguistik: “Mboah” dan “Namo”
Salah satu bukti paling kuat yang jarang disadari adalah bukti bahasa.
Penjelajah John Anderson, dalam catatannya tahun 1823 (berpuluh tahun sebelum kebun tembakau asing pertama berdiri), menuliskan bahwa ia sering mendengar warga berseru “mboah” setiap kali tiba di tempat mandi sungai antara Kampung Ilir hingga Sunggal.
Kata ini:
-
hanya dikenal oleh orang Karo,
-
tidak ditemukan dalam bahasa Melayu, Jawa, Minang, atau Batak lainnya.
Begitu pula dengan penggunaan kata “Namo” pada nama tempat.
Banyak sekali kampung menggunakan unsur nama Karo ini:
-
Namo Rambe
-
Namo Suro
-
Namo Ukur
-
Namo Pecawir
-
dan bahkan Kuala Namu, yang kini menjadi salah satu bandara terbesar di Indonesia.
Bahasa tidak pernah bohong.
Jika topomini (nama tempat) menggunakan unsur bahasa Karo, itu berarti:
➡️ wilayah tersebut dulunya dihuni atau dikuasai oleh penutur bahasa Karo.
Ini memperkuat bahwa keberadaan komunitas Karo di Deli dan Langkat bukanlah “gelombang migrasi belakangan”, melainkan identitas asli yang sudah eksis jauh sebelum kolonial mencatatnya.
5. Kampung-Kampung Karo di Langkat Hulu dan Deli Hulu: Jejak yang Terlupakan
Satu hal menarik dari artikel asli adalah kisah pengalaman membawa seorang mahasiswa Karo dari Kabanjahe menuju Medan melalui Telagah, Langkat Hulu.
Mahasiswa tersebut awalnya mengira kampung-kampung Karo di Langkat Hulu adalah hasil perantauan orang pegunungan (dataran tinggi Karo).
Namun setelah melihat langsung:
-
wajah masyarakatnya,
-
bentuk kampungnya,
-
adat yang dijalankan,
-
dan sebaran marga yang konsisten,
ia mulai menyadari bahwa ada jejak tua masyarakat Karo yang berbeda dari narasi yang selama ini ia dengar.
Fakta lapangan tersebut selaras dengan penelitian:
➡️ Kampung-kampung Karo di Langkat Hulu sudah ada sejak pra-kolonial.
➡️ Banyak keluarga di sana bukan “perantau”, melainkan penduduk asli sejak generasi ke generasi.
Pengetahuan ini penting bukan hanya untuk masyarakat Karo, tetapi juga untuk pembaca umum yang ingin memahami sejarah etnis Sumatera Utara secara objektif.
6. Mengapa Pelurusan Sejarah Ini Penting?
Ada beberapa alasan kenapa pelurusan narasi kolonial seperti ini penting:
1. Menghentikan penyamarataan identitas etnis
Penyatuan Karo ke dalam kategori “Batak” bukan berasal dari pemahaman lokal, tetapi administrasi kolonial.
2. Mengembalikan sejarah kepada pemiliknya
Sejarah Karo, teritori mereka, bahasa mereka, dan jejak budaya mereka harus dicatat berdasarkan fakta lokal, bukan stigma kolonial.
3. Mencegah generasi muda kehilangan akar budaya
Tanpa pemahaman objektif, generasi muda dapat terjebak dalam mitos yang merendahkan identitas mereka sendiri.
4. Membuka ruang penelitian baru
Pelurusan sejarah membuka peluang dunia akademik untuk mengeksplorasi Sumatera Utara lebih dalam dari sudut pandang antropologi, arkeologi, linguistik, dan etnografi.
Saatnya Membuka Mata terhadap Sejarah yang Lebih Jujur
Artikel asli mengajak pembaca untuk mengkritisi narasi kolonial yang selama ini diajarkan tanpa evaluasi.
Dengan merunut ulang bukti:
-
linguistik,
-
sejarah awal kolonial,
-
struktur kekuasaan pra-kolonial,
-
serta fakta keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu dan Langkat Hulu,
kita dapat memahami bahwa keberadaan masyarakat Karo di dataran rendah bukanlah hasil migrasi belakangan, tetapi jejak tua yang telah berakar jauh sebelum kolonial hadir.
Pelurusan sejarah bukanlah konflik identitas.
Ini adalah upaya ilmiah untuk mengembalikan kebenaran berdasarkan bukti bukan mitos kolonial.