Karo Bukan Pendatang di Deli: Membongkar Kesalahan Sejarah dan Narasi Kolonial

Selama puluhan tahun, masyarakat Karo kerap ditempatkan dalam posisi yang keliru dalam sejarah Sumatera Timur. Salah satu narasi yang paling kuat dan terus diwariskan adalah anggapan bahwa orang Karo merupakan pendatang di wilayah Deli. Narasi ini bukan hanya hidup dalam tulisan-tulisan kolonial, tetapi juga tanpa disadari telah diterima dan diulang oleh generasi muda Karo sendiri.
Tulisan ini merujuk dan terinspirasi dari artikel Juara R. Ginting berjudul “Inter-group Relations in North Sumatra” yang dimuat dalam buku Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives (2002), terbitan bersama IIAS (Belanda) dan ISEAS (Singapura). Buku tersebut merupakan kumpulan makalah ilmiah hasil seminar internasional di Singapura tahun 1997, yang diedit oleh G. Benjamin dan C. Chou.
Melalui artikel tersebut, J.R. Ginting menggugat keras anggapan bahwa Karo adalah penduduk pendatang di Deli, sekaligus membongkar berbagai kelemahan mendasar historiografi kolonial yang selama ini dijadikan rujukan.
Kesalahan Dasar Ilmu Sejarah Kolonial
Setelah menghidangkan berbagai data sejarah, Ginting menegaskan bahwa wilayah Deli yang selama ini dipahami masyarakat adalah hasil definisi kolonial, bukan definisi adat dan sosial yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.
Lebih jauh, ia mengkritik teori-teori migrasi ilmiah yang digunakan para peneliti kolonial. Menurutnya, teori-teori tersebut gagal memahami cara berpikir masyarakat Karo, karena memaksakan konsep-konsep luar ke dalam struktur budaya lokal.
Yang lebih berbahaya, generasi muda dari masyarakat yang diteliti itu kemudian menggunakan teori-teori ilmiah kolonial tersebut untuk menafsirkan budaya mereka sendiri, seolah-olah itulah kebenaran sejarah yang final.
Kesalahan Fatal: Karo Gugung dan Karo Jahe
Salah satu contoh paling telak yang diungkap Ginting adalah pembagian Taneh Karo ke dalam istilah Karo Gugung dan Karo Jahe.
Dalam pemahaman adat Karo:
Gugung berarti dataran tinggi
Jahe berarti hilir
Namun keduanya bukan pasangan yang sepadan. Bandingan yang sepadan seharusnya adalah:
Gugung ↔ Berneh (dataran rendah)
Jahe ↔ Julu (hulu)
Sayangnya, para ilmuwan dan pemerintah kolonial tidak tertarik menggali logika adat ini. Mereka langsung menerjemahkan:
Karo Gugung sebagai Dataran Tinggi Karo
Karo Jahe sebagai Dataran Rendah Karo
Padahal, jika Karo Jahe sudah diterjemahkan sebagai dataran rendah, lalu apa arti Karo Berneh? Kekeliruan inilah yang kemudian melahirkan persepsi bahwa Karo Jahe adalah wilayah “baru”, dan orang Karo yang tinggal di sana dianggap sebagai pendatang.
Taneh Kemulihen dan Taneh Perlajangen: Salah Terjemah, Salah Sejarah
Kesalahan yang lebih serius terjadi pada penafsiran konsep taneh kemulihen dan taneh perlajangen.
Tulisan-tulisan kolonial menerjemahkannya sebagai:
Taneh kemulihen → tanah asal
Taneh perlajangen → tanah baru atau tempat tinggal pendatang
Terjemahan ini secara tidak langsung memaksa orang Karo percaya bahwa keberadaan mereka di Karo Jahe adalah hasil migrasi.
Padahal, menurut J.R. Ginting, klasifikasi kemulihen dan lajang tidak hanya berlaku antarwilayah, tetapi juga:
dalam satu kampung
dalam satu kuta
antara rumah induk dan barung-barung
Artinya, baik di Karo Gugung maupun di Karo Jahe, sebuah kampung bisa memiliki ingan kemulihen dan ingan lajang, tanpa ada unsur migrasi sama sekali.
Dengan kata lain, status ruang dalam adat Karo tidak identik dengan perpindahan etnis.
Migrasi yang Dibalik Maknanya
Dalam kesimpulannya, Ginting menyampaikan pernyataan penting:
“Migrasi tidak harus selalu menunjukkan adanya perpindahan sekelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain. Bisa juga terjadi sebaliknya, bahwa satu tempat bergerak dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa:
migrasi tidak selalu bersifat fisik
perpindahan bisa terjadi dalam makna, klaim, dan struktur kekuasaan
Perpindahan itu terjadi di dalam pikiran manusia pendukung kebudayaan itu sendiri, bukan semata pada tubuh manusia.
Deli sebagai Perserikatan Melayu dan Karo
Dengan pendekatan tersebut, Ginting menjelaskan struktur politik Deli secara lebih adil dan akurat. Deli bukanlah kerajaan Melayu tunggal, melainkan perserikatan antara:
4 Kejuruan Melayu: Denai, Percut, Deli, Sepulu Dua Kuta Hamparan Perak
4 Urung Karo: Senembah, Suka Piring, Sepulu Dua Kuta Lau Cih, Sabernaman
Dalam perserikatan ini berlaku kepemimpinan ganda:
Sultan Deli menjadi pemimpin tertinggi dalam urusan dagang dan hubungan laut
Datuk Sunggal dari Urung Sabernaman menjadi pemimpin tertinggi urusan perbatasan wilayah, bergelar Ulun Jandi
Kepemimpinan ganda ini bahkan dilembagakan melalui perkawinan adat, di mana permaisuri Sultan Deli harus beru Surbakti dari Sunggal, sehingga Sunggal tetap menjadi kalimbubu Deli.
Perang Sunggal dan Runtuhnya Struktur Adat
Konflik besar antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal meletus ketika perusahaan-perusahaan asing memperluas perkebunan dengan merambah hutan wilayah urung Karo.
Menurut K. Pelzer dalam Planters against Peasants (1982), terdapat dua masalah utama:
Hutan merupakan basis ekonomi dan sosial-budaya orang Karo Jahe
Sewa tanah hanya dibayarkan kepada Sultan Deli, bukan kepada Urung Karo
Kemurkaan orang Karo Jahe kemudian diarahkan kepada Datuk Sunggal sebagai ulun jandi, untuk memimpin perlawanan. Perang Sunggal baru dapat dipadamkan setelah Deli Maschapij mendatangkan bala tentara kolonial dari Riau.
Medan Berdiri di Atas Tanah Karo
Salah satu fakta paling simbolik adalah lokasi Istana Maimoon. Istana ini dibangun bukan di Labuhan Deli, melainkan di wilayah Urung Suka Piring, tepatnya di taneh Sembiring Milala dan Karo Sekali.
Peta yang dibuat oleh E.A. Halewijn (1876) dengan jelas menunjukkan bahwa pusat kota Medan berada di wilayah Urung Karo, di dekat pertemuan Sungai Deli dan Sungai Baburah.
Tak heran, pada masa Revolusi Sosial 1950-an, keluarga Sultan Deli mengaku sebagai Sembiring Milala, ketika struktur kekuasaan lama runtuh.
Karo Bukan Pendatang di Deli
Dari keseluruhan uraian ini, menjadi jelas bahwa:
orang Karo bukan pendatang di Deli
yang berpindah bukan manusianya, melainkan definisi wilayah dan relasi kekuasaan
narasi kolonial telah menyederhanakan dan merusak pemahaman sejarah lokal
Tulisan ini bukan sekadar koreksi sejarah, tetapi juga ajakan untuk membebaskan cara berpikir kita dari warisan kolonial, dan memahami kembali sejarah berdasarkan logika adat dan pengalaman masyarakat itu sendiri.