Kericuhan Kalibata dan Matinya Akal Sehat Penagihan Kredit

Kericuhan berdarah di Kalibata yang menewaskan dua mata elang (matel) bukan sekadar tragedi kriminal. Peristiwa ini adalah tamparan keras bagi negara, industri pembiayaan, dan publik yang terlalu lama menormalisasi praktik penagihan kredit yang liar, intimidatif, dan nyaris tanpa kendali hukum.
Selama bertahun-tahun, penarikan kendaraan di jalan raya seolah menjadi “aturan tak tertulis” dalam dunia leasing. Mata elang menghadang, menghentikan, bahkan merampas kendaraan di ruang publik praktik yang secara hukum problematik, tetapi dibiarkan hidup karena dianggap efektif. Kalibata membuktikan satu hal: efektivitas tanpa hukum adalah jalan pintas menuju kekerasan.
Peringatan Polda Metro Jaya agar perusahaan leasing segera membenahi SOP penarikan kendaraan seharusnya tidak dibaca sebagai imbauan biasa. Ini adalah alarm darurat. Sebab, ketika aparat kepolisian harus mengingatkan bahwa penagihan kredit semestinya dilakukan secara administratif—bukan di jalanan—maka yang sesungguhnya sedang krisis adalah akal sehat penegakan hukum.
Lebih ironis lagi, perusahaan pembiayaan kerap berlindung di balik pihak ketiga. Debt collector dijadikan tameng: ketika terjadi pelanggaran, leasing mencuci tangan. Padahal, mereka adalah aktor utama yang menciptakan ekosistem kekerasan itu dengan SOP longgar, target tak manusiawi, dan pembiaran terhadap petugas lapangan yang minim pemahaman hukum.
Kematian dua matel memang tragis, tetapi simpati semata tidak cukup. Yang harus dibongkar adalah rantai tanggung jawab struktural. Mengapa penarikan paksa di jalan masih terjadi? Mengapa petugas tidak dibekali surat perintah kerja yang jelas? Mengapa penyelesaian kredit macet jarang ditempuh melalui mekanisme hukum yang sah?
Kalibata juga menyingkap satu kenyataan pahit: ruang publik telah lama disandera oleh praktik semi-premanisme berkedok penagihan utang. Jalan raya, yang semestinya menjadi ruang aman bagi warga, berubah menjadi arena konflik kepentingan ekonomi. Ketika negara terlambat hadir, kekerasan mengambil alih.
Jika industri leasing serius ingin membersihkan namanya, pembenahan SOP tidak boleh berhenti di atas kertas. Harus ada larangan tegas penarikan di jalan, audit menyeluruh terhadap mitra penagihan, serta sanksi keras bagi perusahaan yang melanggar. Tanpa itu, tragedi Kalibata hanya akan menjadi catatan kelam berikutnya dalam daftar panjang konflik penagihan kredit.
Kalibata adalah peringatan terakhir. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka bukan hanya mata elang yang akan tumbang kepercayaan publik terhadap hukum pun ikut mati perlahan.