Ketika Ketidaktahuan Meneror Pengetahuan -- Sengkarut Istilah Sibayak di Dunia Maya

Penabalan (coronation) Raja Kelelong menjadi raja Sibayak Lingga pada tgl 25 Juli 1935.

Di media sosial, diskusi sejarah sering berubah menjadi perdebatan yang melenceng karena kurangnya pemahaman konteks. Hal ini juga terjadi saat membahas istilah sibayak dan Kerapaten Sibayak Raja Berempat dalam sejarah Karo. Informasi yang seharusnya memberi wawasan justru dipatahkan oleh komentar-komentar yang tidak memahami struktur aslinya.

Artikel ini mencoba mengurai kembali makna istilah sibayak, sejarah Kerapaten, dan alasan mengapa perbedaan konteks mudah memicu salah tafsir di ruang digital.

Apa Itu Kerapaten Sibayak Raja Berempat?

Pada masa kolonial, Dataran Tinggi Karo memiliki lembaga pengadilan tertinggi bernama Kerapaten Sibayak Raja Berempat. Sesuai namanya, lembaga ini terdiri dari empat sibayak, yaitu:

  1. Sibayak Barus Jahe

  2. Sibayak Lingga

  3. Sibayak Sarinembah

  4. Sibayak Suka

Istilah Kerapaten berasal dari kata rapat, yang berakar pada konsep empat seperti halnya kata perempatan yang merujuk pada simpang empat. Struktur “Raja Berempat” adalah bentuk yang sudah baku dalam sejarahnya dan tidak berubah sepanjang masa kolonial.

Mengapa Banyak yang Mengira Ada 5 Sibayak?

Kesalahpahaman sering muncul ketika sebagian orang menyebut bahwa Karo memiliki lima sibayak, termasuk Sibayak Kuta Buluh. Hal tersebut benar jika berbicara tentang jumlah landschap kolonial, bukan tentang struktur Kerapaten.

Beberapa hal penting yang perlu dipahami:

  • Pada awal masa kolonial, hanya ada empat landschap, masing-masing dipimpin seorang sibayak.

  • Setelah pemberontakan Kuta Buluh, wilayah Sibayak Lingga dimekarkan, sehingga muncul Landschap Kuta Buluh sebagai wilayah kelima.

  • Namun struktur Kerapaten Sibayak Raja Berempat tetap empat, tidak pernah berubah menjadi berlima.

Perbedaan konteks inilah yang sering memicu perdebatan di media sosial.

Beragam Gelar Sibayak Membuat Diskusi Makin Rumit

Sejarah Karo juga mengenal banyak gelar “sibayak”, antara lain:

  • Sibayak Perbesi

  • Sibayak Kuala

  • Sibayak Gunung Meriah

  • Sibayak Lau Cih

  • Sibayak Ajinembah

  • dan banyak lagi lainnya

Karena jumlah dan latar belakangnya beragam, pertanyaan “berapa sibayak di Karo?” tidak bisa dijawab tanpa konteks historis. Tanpa pemahaman ini, diskusi mudah melenceng dan menimbulkan anggapan seolah semua gelar itu memiliki kedudukan yang sama.

Fenomena di Medsos: Ketidaktahuan yang Terdengar Lebih Keras

Di ruang digital, komentar tanpa dasar sering muncul lebih cepat dan lebih lantang dibanding penjelasan yang berbasis sejarah. Tidak jarang, penjelasan yang sudah benar justru dibalas dengan tuduhan:

  • “Kurang baca buku.”

  • “Informasinya salah.”

  • “Harus belajar sejarah lagi.”

Situasi seperti ini menunjukkan bagaimana ketidaktahuan bisa mematahkan penjelasan yang benar hanya karena konteks diabaikan. Dalam lingkungan seperti ini, siapa pun perlu berhati-hati ketika menyampaikan informasi, baik yang mengetahui fakta maupun yang belum memahami keseluruhan sejarah.

Kesalahpahaman seputar istilah sibayak dan Kerapaten biasanya terjadi karena:

  • Banyaknya gelar sibayak dalam sejarah Karo

  • Perbedaan konteks antara jumlah landschap dan struktur Kerapaten

  • Minimnya perhatian terhadap akar kata dan etimologi

  • Budaya debat di media sosial yang sering mendahulukan asumsi dibanding fakta

Memahami sejarah Karo secara benar membutuhkan konteks, bukan hanya angka atau nama. Dengan wawasan yang tepat, terlihat jelas bahwa Kerapaten Sibayak Raja Berempat adalah struktur khusus yang tidak berubah meskipun pembagian administratif kolonial mengalami perubahan.