Ketika Mesin Ekonomi Dipacu, Tapi Bautnya Masih Impor

Lonjakan impor Indonesia sepanjang 2025 kerap dibaca secara dangkal sebagai tanda melemahnya daya saing nasional. Padahal, jika dicermati lebih dalam, pola impor tahun ini justru menyampaikan pesan yang jauh lebih kompleks: Indonesia sedang membangun dan bergerak cepat, tetapi fondasi industrinya tertinggal jauh di belakang lajunya pembangunan itu sendiri.

Barang-barang dengan lonjakan impor tertinggi bukanlah gawai, pakaian, atau produk konsumsi rumah tangga. Yang melonjak justru gerbong kereta, pesawat kecil, antibiotik generik, bibit pangan, hingga sasis truk tambang. Dengan kata lain, yang diimpor adalah jantung dari mesin ekonomi, bukan aksesori konsumsi.

Ini bukan soal gaya hidup, melainkan soal struktur.

Modernisasi Tanpa Kedalaman Industri

Kasus gerbong kereta penumpang adalah contoh paling telanjang. Impornya melonjak lebih dari 90 ribu persen, mayoritas dari China, seiring ekspansi LRT, MRT, KRL, dan jaringan rel daerah. Indonesia jelas sedang mempercepat modernisasi transportasi massal. Namun percepatan itu tidak diiringi kesiapan industri rolling stock domestik untuk memasok kebutuhan tersebut.

Akibatnya, setiap kilometer rel baru yang dibangun otomatis membuka kran impor. Pembangunan fisik diterjemahkan langsung menjadi ketergantungan manufaktur.

Ini bukan kegagalan satu proyek, melainkan indikasi industrial gap negara mampu membiayai dan merancang infrastruktur, tetapi belum mampu memproduksi komponen intinya secara mandiri.

Ketergantungan di Hulu, Bukan di Hilir

Lebih mengkhawatirkan lagi, lonjakan impor terjadi pada sektor-sektor hulu yang menentukan kemampuan produksi nasional.

Antibiotik berbasis tetrasiklin dan kloramfenikol obat murah dan mendasar dalam layanan kesehatan melonjak ribuan persen dan hampir seluruhnya berasal dari China. Ini menunjukkan bahwa industri farmasi nasional belum sanggup mengimbangi lonjakan kebutuhan layanan kesehatan dasar, apalagi dalam kondisi krisis.

Di sektor pangan, impor cabai segar dan bawang putih bibit menyingkap persoalan yang lebih struktural. Cabai diimpor sebagai rem darurat inflasi saat produksi domestik terganggu. Sementara impor bibit bawang putih menandakan sesuatu yang lebih serius: rantai produksi tidak bisa dimulai tanpa pasokan luar negeri.

Ketika bibit titik paling awal produksi harus diimpor dalam jumlah besar, maka kedaulatan pangan berhenti menjadi slogan dan berubah menjadi persoalan teknis yang nyata.

Impor sebagai Alat Stabilitas, Bukan Strategi Industri

Pola yang sama terlihat di sektor industri berat. Lonjakan impor sasis truk tambang dan logistik mencerminkan ekspansi proyek infrastruktur dan pertambangan. Negara bergerak, proyek berjalan, tapi alat produksinya belum berasal dari basis industri domestik yang kuat.

Dalam konteks ini, impor bukanlah pilihan strategis jangka panjang, melainkan alat stabilisasi jangka pendek. Ia digunakan untuk:

  • menahan inflasi,

  • menjaga kelancaran proyek,

  • memastikan logistik dan layanan publik tetap berjalan.

Masalahnya, stabilisasi tanpa strategi pendalaman industri hanya akan memperpanjang ketergantungan.

Ekonomi Bergerak, Nilai Tambah Bocor

Secara ekonomi-politik, artikel ini mengungkap paradoks pembangunan Indonesia hari ini: aktivitas ekonomi meningkat, tetapi nilai tambah strategis bocor ke luar negeri.

China, Amerika Serikat, Singapura, dan negara lain bukan sekadar mitra dagang, melainkan pengisi kekosongan struktural yang belum mampu ditutup oleh kebijakan industrialisasi nasional. Ketergantungan ini tidak terpusat pada satu negara, tetapi tersebar menandakan bahwa masalahnya bukan geopolitik semata, melainkan desain ekonomi domestik.

Alarm, Bukan Sensasi

Lonjakan impor 2025 seharusnya tidak dibaca sebagai kegagalan konsumsi nasional, melainkan sebagai alarm industrial. Indonesia sedang tumbuh dari sisi proyek dan belanja, tetapi belum tumbuh dari sisi kapasitas produksi strategis.

Jika tidak ada pergeseran kebijakan dari sekadar membangun ke membangun sambil memproduksi, maka setiap akselerasi pembangunan ke depan akan selalu dibayar dengan impor yang lebih besar.

Pada titik ini, pertanyaannya bukan lagi “mengapa impor naik?”, melainkan:
apakah negara serius menjadikan pembangunan sebagai jalan menuju kemandirian industri, atau sekadar mempercepat ketergantungan dalam skala yang lebih besar?