Kota Medan, Arsip Kolonial, dan Kesalahan Mendefinisikan “Pendiri”

Guru Patimpus Sembiring Pelawi

Perdebatan mengenai siapa pendiri Kota Medan terus berulang dengan pola yang hampir sama. Sebagian orang menyebut Guru Patimpus Sembiring Pelawi sebagai tokoh penting dalam sejarah awal Medan. Sementara itu, pihak lain menolaknya dengan merujuk pada arsip kolonial, pembukaan perkebunan tembakau oleh Kesultanan Deli bersama Belanda, serta dasar hukum kolonial yang membentuk Medan sebagai kota modern.

Sekilas, perdebatan ini tampak sebagai soal data sejarah, siapa yang memiliki bukti paling sahih. Namun, jika dicermati lebih dalam, persoalan utamanya bukan terletak pada kurangnya data, melainkan pada cara mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “pendirian kota”.

Tulisan-tulisan yang menolak peran Guru Patimpus umumnya membangun argumen yang serupa. Pertama, disebutkan bahwa di wilayah Medan ditemukan artefak purbakala yang jauh lebih tua dari masa Patimpus, sehingga dianggap membatalkan klaim pendirian. Kedua, kisah Patimpus dinilai lemah karena bersumber dari Hikayat Hamparan Perak yang ditulis oleh masyarakat pesisir. Ketiga, penamaan “Kampung Medan Putri” dianggap tidak sesuai dengan tradisi Karo. Keempat, dan yang paling ditekankan, Medan modern diyakini lahir dari pembukaan perkebunan tembakau oleh Kesultanan Deli dan Belanda berdasarkan hukum kolonial, terutama setelah Undang-Undang Agraria 1870. Dari rangkaian ini kemudian disimpulkan bahwa orang Karo bukan pendiri Kota Medan.

Masalahnya, rangkaian argumen tersebut berdiri di atas penyederhanaan sejarah yang serius.

Kesalahan paling mendasar adalah menyatukan berbagai tahap sejarah yang berbeda ke dalam satu istilah: pendirian kota. Dalam kajian sejarah dan antropologi, wilayah Medan setidaknya dapat dipahami melalui empat fase. Pertama, fase hunian manusia purba. Kedua, fase kampung atau permukiman awal. Ketiga, fase kota kolonial. Keempat, fase kota administratif modern. Menyamakan keempat fase ini seolah hanya ada satu momen kelahiran kota adalah kesalahan cara berpikir. Artefak purbakala memang membuktikan keberadaan manusia sejak lama, tetapi artefak tersebut tidak relevan untuk meniadakan peran tokoh atau komunitas pada fase sejarah berikutnya. Jika logika ini diterapkan secara konsisten, hampir tidak ada kota di dunia yang dapat disebut memiliki pendiri.

Kesalahan berikutnya adalah penggunaan sumber kolonial tanpa sikap kritis. Hikayat Hamparan Perak memang ditulis dari sudut pandang pesisir dan kekuasaan Melayu. Namun, hal ini lebih menunjukkan siapa yang menulis sejarah, bukan siapa saja yang hidup dan beraktivitas di ruang tersebut. Pada masa kolonial, kelompok yang memiliki akses pada tulisan dan administrasi akan lebih terlihat dalam catatan sejarah, sementara masyarakat lain terutama dari dataran tinggi sering kali tidak tercatat, meskipun mereka hadir secara nyata.

Dalam konteks ini, penting ditegaskan bahwa masyarakat Karo tidak hanya hidup di pedalaman, tetapi juga telah lama hadir di wilayah pesisir jauh sebelum Medan dibentuk sebagai kota kolonial. Kehadiran Karo di pesisir bukan sesuatu yang aneh, melainkan bagian dari mobilitas, perdagangan, dan hubungan sosial lintas wilayah yang telah berlangsung lama di Sumatra Timur. Pandangan yang memisahkan secara tegas “pesisir Melayu” dan “pedalaman Karo” bukanlah kenyataan sejarah, melainkan penyederhanaan yang banyak dipengaruhi cara pandang kolonial.

Kesalahpahaman geografis ini berpengaruh langsung pada cara membaca peran Guru Patimpus. Ia kerap diposisikan seolah-olah datang dari luar ke wilayah pesisir yang asing. Padahal, jika dipahami bahwa masyarakat Karo telah memiliki relasi sosial di pesisir dan pedalaman, maka kehadiran Patimpus menjadi masuk akal secara sosial dan historis, bukan sekadar klaim simbolik.

Argumen linguistik mengenai penamaan “Kampung Medan Putri” juga tidak kalah bermasalah. Nama tempat tidak selalu mencerminkan identitas etnis penduduk awalnya. Dalam sejarah Nusantara, toponimi sering lahir dari pertemuan berbagai bahasa, kekuasaan, dan kepentingan administrasi. Banyak wilayah menggunakan nama yang bukan berasal dari bahasa masyarakat awalnya, melainkan dari bahasa perdagangan, bahasa penguasa, atau bahasa kolonial. Karena itu, menolak peran Patimpus hanya karena istilah “kampung” dan “putri” terdengar Melayu adalah penyederhanaan linguistik yang mengabaikan dinamika sejarah ruang.

Inti penolakan terhadap peran Karo sebenarnya bertumpu pada satu klaim utama Medan dianggap didirikan secara sah melalui pembukaan lahan oleh Kesultanan Deli dan Belanda, dengan dasar hukum kolonial. Dalam kerangka ini, dokumen administratif kolonial dijadikan satu-satunya ukuran pendirian kota. Inilah titik paling krusial yang perlu dikritisi.

Ketika “pendiri” didefinisikan semata-mata sebagai pihak yang memiliki dokumen hukum kolonial, maka sejarah otomatis berubah menjadi sejarah kekuasaan. Masyarakat lokal yang telah hidup, membuka ruang, membangun kampung, dan memiliki hubungan sosial dengan wilayah tersebut tersingkir bukan karena mereka tidak ada, melainkan karena tidak tercatat dalam arsip resmi. Ini bukan kesimpulan sejarah yang netral, melainkan cara pandang kolonial yang diterima tanpa kritik.

Perlu dipahami bahwa sejarah kota tidak identik dengan sejarah administrasi. Medan memang berkembang pesat sebagai kota kolonial berkat perkebunan tembakau, modal Eropa, dan sistem birokrasi modern. Peran Kesultanan Deli dan Belanda dalam membentuk Medan sebagai kota kolonial tidak bisa disangkal. Namun, menjadikan fase kolonial sebagai satu-satunya momen kelahiran Medan berarti menghapus seluruh lapisan sejarah sebelumnya.

Ada pula argumen yang menyebut bahwa orang Karo menolak pembukaan perkebunan tembakau, lalu dijadikan bukti bahwa mereka bukan pendiri atau pemilik ruang tersebut. Logika ini berbahaya. Dalam sejarah mana pun, perlawanan terhadap kolonisasi tidak pernah menjadi bukti ketiadaan hak historis. Justru sebaliknya, perlawanan sering muncul karena sudah ada hubungan dengan tanah, ruang, dan kehidupan sosial sebelumnya.

Karena itu, penting membedakan antara kehadiran sosial dan legalitas kolonial. Masyarakat Karo tidak harus diposisikan sebagai pendiri kota kolonial Medan, tetapi juga tidak dapat dihapus dari sejarah ruang Medan. Kehadiran mereka tidak meniadakan peran Kesultanan Deli dan Belanda, sebagaimana peran kolonial tidak otomatis menghapus sejarah lokal.

Dalam kerangka inilah Guru Patimpus Sembiring Pelawi seharusnya ditempatkan. Ia tidak perlu dimitoskan sebagai pendiri Kota Medan modern, tetapi juga tidak layak disingkirkan hanya karena tidak tercantum dalam arsip kolonial. Ia adalah bagian dari fase kampung dan pembukaan ruang awal, bukan simbol tunggal dan bukan pula klaim kepemilikan eksklusif atas kota hari ini.

Akhirnya, perdebatan tentang Medan akan jauh lebih sehat jika tidak lagi terjebak pada pertanyaan “siapa pemilik kota”, melainkan diarahkan pada pemahaman yang lebih jujur Medan adalah hasil dari lapisan-lapisan sejarah. Ada masyarakat lokal sebelum kolonialisme, ada kekuasaan kesultanan, ada kolonialisme dengan modal dan administrasinya, dan ada negara modern yang mewarisi semuanya. Menjadikan satu lapisan sebagai kebenaran tunggal bukanlah sikap ilmiah, melainkan pilihan ideologis.

Sejarah tidak pernah hitam-putih. Ketika arsip dijadikan satu-satunya ukuran kebenaran, sejarah berhenti menjadi alat untuk memahami masa lalu dan berubah menjadi alat penghapusan. Dalam konteks Medan, yang dibutuhkan bukan klaim sepihak tentang siapa pendiri, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa kota ini lahir dari pertemuan, konflik, dan negosiasi berbagai kekuatan lokal dan kolonial.

Di situlah Medan menemukan sejarahnya yang lebih utuh.