Logika Tanpa Data: Mengapa Klaim Sembiring Berasal dari India Gagal Secara Sejarah
![]() |
| Berastagi pada tahun 1997 |
Klaim bahwa merga Sembiring berasal dari India kerap disampaikan dengan narasi panjang dan runtut, seolah-olah telah menjadi kebenaran sejarah. Sayangnya, dalam ilmu sejarah, cerita yang terdengar nyambung tidak otomatis menjadi fakta. Sejarah menuntut bukti, bukan sekadar logika naratif.
Hingga saat ini, belum ada satu pun bukti ilmiah yang dapat menunjukkan bahwa Sembiring merupakan keturunan langsung kerajaan-kerajaan di India seperti Chola atau Pandya. Tidak ada prasasti, naskah primer, catatan kontemporer, maupun penelitian arkeologi, linguistik historis, atau genetika yang mengonfirmasi klaim tersebut. Tanpa fondasi data, pernyataan asal India tidak dapat dinaikkan derajatnya menjadi sejarah.
Salah satu argumen yang sering diajukan adalah kemiripan nama sub-merga seperti Pandia, Colia, Brahmana, Meliala, atau Maha dengan istilah yang dikenal di India. Namun pendekatan ini keliru secara metodologis. Kemiripan nama bukan bukti asal-usul. Dalam historiografi, kesamaan istilah dapat muncul karena pengaruh bahasa umum seperti Sanskerta atau karena proses penamaan lokal yang berkembang mandiri.
Analogi sederhana dapat dilihat pada Purbalingga di Jawa Tengah. Kata purba dan lingga juga dikenal sebagai istilah atau nama merga di Sumatera Utara. Namun tidak pernah ada klaim ilmiah bahwa Purbalingga memiliki hubungan genealogis dengan merga di Sumatera Utara. Nama daerah tersebut dipahami dalam konteks sejarah dan kebudayaan Jawa sendiri. Kesamaan kata tidak dijadikan dasar untuk menarik hubungan lintas wilayah. Prinsip ini seharusnya berlaku pula dalam membaca sejarah Sembiring.
Sebaliknya, yang justru dapat dibuktikan secara nyata adalah keberadaan Sembiring sebagai bagian integral dari kebudayaan Karo. Struktur sub-merga, aturan larangan perkawinan, pembagian kelompok adat, hingga praktik ritual kematian menunjukkan bahwa Sembiring bukan identitas tempelan, melainkan tumbuh dan berfungsi sepenuhnya dalam sistem adat Karo. Ini adalah fakta budaya yang hidup dan teramati hingga hari ini.
Ironisnya, dalam berbagai penjelasan populer sendiri, asal-usul sub-merga Sembiring dari India kerap diakhiri dengan pengakuan bahwa semuanya masih “diduga” dan belum pernah diteliti secara serius. Jika demikian, maka klaim tersebut seharusnya berhenti sebagai hipotesis, bukan dipaksakan menjadi kebenaran.
Hal paling mendasar yang sering dilupakan adalah bahwa menjadi Karo tidak ditentukan oleh narasi migrasi atau klaim darah, melainkan oleh tunduk dan menyatu dalam adat serta kebudayaan Karo. Jika pun pernah ada unsur luar yang masuk, identitas akhirnya dibentuk oleh budaya yang lebih dominan, bukan oleh cerita asal-usul yang tidak terverifikasi.
Sejarah tidak dibangun dari copas narasi panjang yang tampak logis. Sejarah dibangun dari bukti yang bisa diuji dan dipertanggungjawabkan. Selama bukti itu belum ada, klaim bahwa Sembiring berasal dari India tetap berada di wilayah dugaan bukan fakta sejarah.
