Makna Perubahan Arsitektur Gapura Kebun Binatang Medan dalam Perspektif Sejarah dan Wilayah Adat
![]() |
| dok. sora sirulo |
Peredaran dua foto yang memperlihatkan Gapura Kebun Binatang Medan pada sekitar tahun 1970 dan tahun 2024 memunculkan diskusi menarik di ruang publik, khususnya di kalangan masyarakat Karo. Foto tersebut dibagikan oleh JP Pinem dengan keterangan singkat, namun perbandingan visual yang ditampilkan justru membuka ruang tafsir yang lebih luas daripada sekadar perubahan bentuk fisik bangunan.
Perubahan dari gapura bergaya arsitektur Karo pada tahun 1970 menjadi gapura bergaya arsitektur Melayu pada tahun 2024 menimbulkan pertanyaan historis yang penting: apa makna perubahan simbolik ini, dan bagaimana ia berkaitan dengan sejarah wilayah serta identitas budaya di Medan?
Arsitektur sebagai Penanda Sejarah dan Kekuasaan
Dalam kajian sejarah dan antropologi, arsitektur ruang publik tidak dipahami semata sebagai persoalan estetika, melainkan sebagai representasi relasi kekuasaan, identitas, dan legitimasi wilayah. Oleh karena itu, perubahan gaya arsitektur sebuah gapura—sebagai elemen simbolik pintu masuk—patut dibaca sebagai bagian dari konstruksi makna yang lebih luas.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: mengapa pada sekitar tahun 1970 Gapura Kebun Binatang Medan dibangun dengan gaya arsitektur Karo? Jawaban atas pertanyaan ini menuntut penelusuran historis terhadap konteks wilayah dan kekuasaan di Medan dan Deli.
Konteks Historis Wilayah Deli dan Karo
Karl J. Pelzer dalam karyanya Planter and Peasant: Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra (1863–1947) menjelaskan bahwa pembangunan Istana Maimoon oleh Sultan Deli tidak hanya bermakna simbol kemegahan, tetapi juga merupakan pernyataan kekuasaan atas wilayah Karo. Lokasi Istana Maimoon berada di wilayah Urung Sukapiring, yang secara tradisional merupakan bagian dari tanah adat Karo, khususnya dari merga Karo Sekali dan Meliala.
Pelzer juga mencatat bahwa Sultan Deli membuka kawasan pemukiman baru bagi keluarganya yang dipindahkan dari Kampung Ilir di wilayah Kejuruan Deli. Kawasan ini kemudian dikenal sebagai Kampung Baru. Pada periode tersebut, Kebun Binatang Medan berlokasi di Kampung Baru, sehingga secara geografis dan historis berada di wilayah tradisional Karo.
Dalam konteks ini, penggunaan gaya arsitektur Karo pada gapura Kebun Binatang Medan sekitar tahun 1970 dapat dipahami sebagai sesuatu yang kontekstual dan logis, mengingat lokasinya berada di wilayah adat Karo.
Perpindahan Lokasi Kebun Binatang dan Wilayah Adat
Berbeda dengan kondisi tahun 1970, Kebun Binatang Medan pada tahun 2024 telah berpindah lokasi ke wilayah bekas Perkebunan Muller (Bekala Estate), yang kemudian diambil alih oleh PTPN II. Wilayah ini secara historis merupakan bagian dari Urung Dua Belas Kuta Lau Cih, yang didirikan oleh merga Karo-karo Purba.
Dengan demikian, secara spasial, lokasi Kebun Binatang Medan saat ini justru berada lebih jauh ke dalam wilayah perkampungan Karo tradisional dibandingkan lokasi sebelumnya di Kampung Baru. Fakta ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan perubahan gaya arsitektur gapura yang kini mengadopsi identitas Melayu.
Batas Wilayah Melayu dan Karo dalam Peta Kolonial
Untuk memahami dinamika ini secara lebih menyeluruh, penting meninjau peta Deli yang disusun oleh E.A. Halewijn pada tahun 1876 dan diterbitkan dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Peta tersebut secara jelas menggambarkan batas antara kejuruan-kejuruan Melayu dan urung-urung Karo di wilayah Deli.
Dalam peta tersebut, pusat awal Kota Medan terletak di wilayah Urung Sukapiring, tidak jauh dari pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa wilayah inti Medan berkembang di atas ruang hidup masyarakat Karo.

Konteks penyusunan peta ini sendiri berkaitan dengan konflik agraria. Residen Netscher dari Siak mencatat adanya perlawanan yang konsisten dari Datuk Sunggal terhadap ekspansi perkebunan asing ke wilayah yang lebih tinggi. Penyelidikan yang dilakukan Halewijn dan C. Westenberg menemukan bahwa setiap kali perkebunan melewati garis batas wilayah Melayu menuju wilayah Karo, terjadi perlawanan berupa pembakaran fasilitas perkebunan.
Implikasi terhadap Narasi Sejarah dan Identitas
Dari uraian historis tersebut, tampak bahwa anggapan yang menyederhanakan Deli sebagai tanah ulayat Melayu secara menyeluruh tidak sepenuhnya sejalan dengan data sejarah kolonial dan peta administratif abad ke-19. Wilayah Karo memiliki posisi historis yang jelas dan terdokumentasi dalam pembentukan ruang Medan dan Deli.
Dalam konteks ini, perubahan simbol arsitektur seperti gapura Kebun Binatang Medan dapat dibaca sebagai bagian dari pergeseran narasi identitas di ruang publik, bukan sekadar renovasi fisik. Perubahan tersebut mengundang diskusi lebih luas tentang bagaimana sejarah lokal direpresentasikan, diakui, atau justru diabaikan dalam kebijakan simbolik perkotaan.
Perbandingan gapura Kebun Binatang Medan antara tahun 1970 dan 2024 membuka ruang refleksi tentang hubungan antara arsitektur, sejarah, dan identitas wilayah. Data historis menunjukkan bahwa baik lokasi lama maupun lokasi baru kebun binatang tersebut berada di wilayah adat Karo, sehingga perubahan gaya arsitektur menjadi isu yang layak dikaji secara kritis dan objektif.
Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menegasikan identitas kelompok lain, melainkan untuk menghadirkan pembacaan sejarah yang lebih berimbang dan berbasis sumber. Dengan demikian, diskursus publik mengenai identitas Medan dapat bergerak dari polemik emosional menuju pemahaman historis yang lebih matang dan inklusif.
