MENJELASKAN KARO KE DUNIA LEBIH LUAS: Menghindari Kekeliruan Makna dalam Memahami Adat, Kekerabatan, dan Ritual Karo

Budaya Karo memiliki kekayaan struktur sosial, ritual adat, dan filosofi hidup yang sangat mendalam. Namun, ketika unsur-unsur budaya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa atau konsep umum di luar Karo, kerap terjadi penyempitan makna, bahkan salah tafsir total. Misalnya:

  • Penyamaan Mbesur-mbesuri dengan Upacara 7 Bulanan.

  • Penafsiran bahwa Si Dua Nahe berkaitan langsung dengan Si Empat Nahe.

  • Penyederhanaan istilah seperti Sembuyak dan Senina hanya sebagai “saudara”.

Keliru bukan sekadar salah menyebut; kekeliruan itu berpotensi mencabut nilai filosofis, spiritual, dan sejarah yang telah diwariskan leluhur Karo selama ratusan tahun.

Tulisan ini bertujuan memperjelas bagaimana seharusnya budaya Karo dijelaskan kepada dunia, tanpa mencederai keasliannya, serta mengapa interpretasi umum seperti “7 Bulanan” sangat merusak struktur makna ritual adat Karo.

1. Ketika Istilah Karo Menyempit Karena Terjemahan Populer

Masalah dimulai ketika istilah atau rangkaian adat Karo diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Indonesia tanpa memahami konteks asli. Salah satu contoh yang menjadi pemicu perdebatan ialah pertanyaan tentang hubungan Si Dua Nahe dan Si Empat Nahe.

1.1 Asumsi keliru yang sering muncul

Seseorang mempertanyakan apakah Si Empat Nahe merupakan kelanjutan dari Si Dua Nahe. Asumsinya:

  • Nangkih dianggap bukan proses perkawinan lengkap.

  • Erdemu Bayu dianggap sebagai satu-satunya bentuk perkawinan utuh.

  • Maka, Si Empat Nahe dianggap sebagai “tahap lanjut” dari Si Dua Nahe.

Padahal:
Tidak ada hubungan linear seperti itu dalam sistem kekerabatan Karo.
Sistem-sistem tersebut memiliki struktur berbeda yang berdiri sendiri.

Kesalahan ini mirip ketika orang menggunakan istilah “7 Bulanan” untuk menggambarkan Mbesur-mbesuri, padahal keduanya sangat berbeda baik dalam konsep, perhitungan waktu, maupun makna.

2. Fenomena Istilah “7 Bulanan”: Terlihat Benar, Tapi Sangat Menyesatkan

Dalam masyarakat luas, istilah 7 Bulanan telah menjadi sebutan populer untuk acara adat yang melibatkan ibu hamil beserta keluarga, terutama pihak keluarga perempuan.

Ketika seseorang menunjukkan foto dan video sebuah acara Karo dan menyebutnya “7 Bulanan”, hampir semua orang menganggap sudah paham:

“Oh, itu acara adat menyambut usia kandungan 7 bulan.”

Namun dalam adat Karo, apa yang terlihat dalam foto tersebut:

  • cimpa

  • manuk sangkepi

  • busana adat Karo

  • rangkaian ritual yang khas

Bukanlah bagian dari acara “7 Bulanan”, melainkan rangkaian ritual Mbesur-mbesuri yang memiliki makna dan waktu pelaksanaan yang sangat spesifik.

2.1 Bahaya penyamaan istilah

Jika istilah keliru terus dipakai:

  • generasi berikutnya akan kehilangan makna asli

  • ritual menjadi sekadar simbol, kehilangan akar spiritual dan filosofis

  • orang luar menganggap budaya Karo sebagai turunan budaya lain

  • identitas dan sejarah Karo terdistorsi

  • perdebatan internal muncul karena perbedaan pemahaman

Kesalahpahaman ini bukan sekadar perbedaan sebutan, tetapi ancaman hilangnya roh budaya itu sendiri.

3. Mbesur-mbesuri: Ritual Mendalam yang Tidak Bisa Disebut “7 Bulanan”

Untuk memahami mengapa penyebutan “7 Bulanan” salah total, kita perlu memahami struktur asli ritual Mbesur-mbesuri, termasuk cara perhitungan usia kandungan dalam adat Karo.

3.1 Perhitungan umur kandungan 100 berngi dan 200 berngi

Dalam adat Karo, usia jabang bayi dihitung berdasarkan berngi (hari), bukan bulan versi kalender modern.

• Pada usia 100 berngi

Anak dianggap telah utuh menjadi manusia secara adat.
Pada titik ini:

  • jika terjadi keguguran, ia berhak dikubur di Pendawanen Si Mate Sada Wari,

  • ia menjadi anak pertama selamanya bagi sang ibu,

  • status spiritual sang ibu berubah selamanya.

• Pada usia 200 berngi

Inilah saat dilaksanakan Mbesur-mbesuri.
Bukan 210 hari.
Bukan 7 bulan.
Bukan sekadar “upacara selamatan”.

Ini adalah ritual dengan makna sakral yang terikat dengan:

  • siklus pertanian

  • struktur keluarga

  • hubungan suami-istri

  • nilai spiritual leluhur

  • orientasi kosmologis masyarakat Karo

3.2 Mengapa usia 100 berngi sangat krusial?

Usia 100 berngi adalah titik perubahan dalam struktur rumah tangga Karo.

a. Perkawinan dianggap lengkap ketika bukti kehamilan muncul

Setelah 100 berngi kehamilan pertama:

  • perkawinan tidak bisa lagi diputus dengan pertendin

  • perceraian hanya mungkin jika tidak ada tanda-tanda kehamilan setelah bertahun-tahun

  • bahkan bila terjadi poligami, keberadaan anak pertama tetap memegang kedudukan khusus

b. Kehadiran anak pertama menentukan jalan spiritual ibu

Jika anak pertama meninggal (misalnya dalam usia kecil), sang ibu tidak bisa mencapai tahap Cawir Metua.

Untuk itu, roh anak pertama harus diposisikan sebagai Begu Jabu dalam ritual Petampeken Jenujung.

Dengan demikian, usia kandungan dan perhitungan berngi berhubungan langsung dengan jalur spiritual leluhur.

4. Hubungan Mbesur-mbesuri dengan Siklus Padi: Makna Filosofis yang Terlupakan

Salah satu hal yang paling jarang dijelaskan adalah hubungan erat antara:

  • kandungan 100–200 berngi,

  • Ngulihi Tudung,

  • Menaken Page,

  • orientasi ladang ke Deleng Sibuaten,

  • dan ritual Mbesur-mbesuri.

4.1 Ngulihi Tudung: Ritual pelaporan kehamilan

Setelah usia kandungan mencapai 100 berngi:

  • suami dan istri diarak oleh Senina–Anak Beru

  • menuju rumah ibu dari sang istri

  • untuk melaporkan kabar kehamilan

Sebagai respon, sang ibu memberikan bibit padi.

Ini bukan sekadar pemberian simbolik.
Bibit ini wajib ditanam melalui ritual Menaken Page.

4.2 Menaken Page: Menyambut kehidupan baru

Bibit yang diberikan saat Ngulihi Tudung ditanam pada:

  • ladang yang orientasinya ditentukan secara kosmologis,

  • terutama ke arah Deleng Sibuaten.

Menurut survei adat:

  • seluruh ladang di Karo Gugung mengarah ke Deleng Sibuaten

  • Karo Jahe lebih mengarah ke hutan terdekat

  • Peceren ke Deleng Singkut (mitos merga Purba)

Makna tersembunyi:

Bibit padi mewakili kehidupan baru.
Pertumbuhan bibit sejalan dengan pertumbuhan jabang bayi.
Keduanya mencapai fase penting pada usia 200 berngi.

Itulah mengapa Mbesur-mbesuri dilakukan pada fase yang sama.

5. Mengapa Mbesur-mbesuri Tidak Boleh Disebut 7 Bulanan?

Kesalahannya bukan sekadar waktu pelaksanaan yang beda, tetapi:

  1. Maknanya beda

  2. Struktur ritusnya beda

  3. Sistem perhitungannya beda

  4. Landasan kosmologinya beda

  5. Implikasi spiritual dan adatnya beda

Menyebut Mbesur-mbesuri sebagai “7 Bulanan” sama dengan:

  • menghapus hubungan spiritual ibu–anak–leluhur

  • menghilangkan filosofi siklus padi

  • mengabaikan sistem kekerabatan Karo

  • menyederhanakan identitas budaya hingga kehilangan jati diri

Jika penyebutan ini terus dilakukan, generasi mendatang hanya mengenal ritual versi “kulit luarnya”, tanpa memahami esensinya.

6. Ancaman Kehilangan Identitas Bila Terus Menggunakan Istilah Salah

Penulis menegaskan kekhawatiran mendalam:

• Generasi muda akan menganggap ritual ini identik dengan budaya lain.

Akhirnya muncul klaim:

“Karo itu bagian dari Jawa.”

Ini sudah sering terjadi.

• Perbedaan istilah seperti “Sembuyak” dan “Senina” akan dianggap sama saja.

Padahal:

  • Sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan (berikut adalah penjelasa detail perbedaan ; Sembuyak dan Senina)

• Ketika orang-orang yang tahu makna aslinya sudah tiada, tidak ada lagi rujukan.

Ritual berubah menjadi sekadar formalitas.

7. Mengapa Kita Harus Menjelaskan Karo Apa Adanya

Ada tiga alasan utama:

1. Demi pelestarian budaya

Hilangnya makna adalah awal hilangnya budaya.

2. Demi kejelasan identitas

Budaya Karo bukan turunan dari budaya lain.
Ia berdiri sendiri dengan struktur adat yang unik.

3. Demi penghormatan pada leluhur

Ritual adat adalah warisan spiritual; bukan sekadar seremoni.

8. Cara Menjelaskan Budaya Karo ke Dunia Luar dengan Benar

Agar keaslian makna tetap terjaga, penjelasan harus dilakukan dengan:

8.1. Menggunakan istilah asli, bukan padanan bahasa populer

Contoh benar:

  • Mbesur-mbesuri → ritual usia kandungan 200 berngi

  • Si Dua Nahe → bukan “kelanjutan” Si Empat Nahe

8.2. Menjelaskan konteks budaya dan filosofi

Setiap istilah harus diterangkan dalam sistemnya, bukan berdiri sendiri.

8.3. Menyertakan struktur kekerabatan, spiritual dan kosmologis

Agar orang luar tidak menafsirkan budaya Karo sebagai versi dari budaya lain.

Menyelamatkan Makna Adat Karo Adalah Tanggung Jawab Bersama

Dari uraian panjang ini dapat disimpulkan bahwa:

  1. Budaya Karo harus dijelaskan secara utuh, bukan dengan menyederhanakan istilah.

  2. Mbesur-mbesuri bukan 7 Bulanan, dan penyamaan ini sangat berbahaya karena menghapus makna adat.

  3. Perhitungan berngi, siklus padi, struktur perkawinan, dan hubungan spiritual adalah inti dari ritual tersebut.

  4. Generasi mendatang akan kehilangan identitas jika penjelasan yang salah terus diwariskan.

  5. Upaya menjelaskan budaya Karo ke dunia luar harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan tanggung jawab budaya.

Dengan memahami kedalaman makna ini, kita bisa menjaga agar budaya Karo tetap hidup, dihormati, dan dipahami apa adanya, bukan dalam bentuk yang telah terdistorsi.