Mitigasi di Atas Kertas, Bencana di Lapangan

Analisis kebijakan pemerintah Indonesia sebenarnya sudah jelas: mitigasi dan pencegahan sebelum bencana ditempatkan sebagai bagian integral dan prioritas dalam kerangka manajemen bencana nasional. Artinya, negara tidak hanya hadir setelah bencana terjadi, tetapi seharusnya bekerja jauh sebelum itu.

Masalahnya, realitas di lapangan sering berkata sebaliknya.

Bencana terjadi lebih dulu, baru penanggulangan menyusul. Pola ini berulang, dari tahun ke tahun. Banjir di berbagai wilayah Sumatera dan Aceh hanyalah contoh terbaru dari siklus lama yang tak kunjung diputus.

Ketika Pencegahan Kalah oleh Kepentingan

Secara teori, kita tahu bahwa penebangan hutan secara terus-menerus akan merusak lingkungan. Dampaknya juga bukan hal baru: banjir, longsor, kekeringan, hingga rusaknya ekosistem. Pengetahuan ini bukan rahasia, bukan pula temuan baru.

Lalu pertanyaannya sederhana:
kalau sudah tahu dampaknya, kenapa tetap dilakukan?

Jawabannya sering kali bukan soal ketidaktahuan, melainkan pilihan.

Pilihan antara:

  • Kepentingan ekonomi jangka pendek

  • Keberlanjutan lingkungan jangka panjang

Dan sayangnya, yang sering menang adalah yang pertama.

Bencana Bukan Sekadar “Takdir Alam”

Setiap kali bencana terjadi, narasi yang muncul hampir selalu sama: cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, atau fenomena alam. Padahal, dalam banyak kasus, alam hanya bereaksi terhadap apa yang manusia lakukan sebelumnya.

Hutan yang ditebang tanpa kendali, daerah resapan air yang berubah jadi permukiman, sungai yang menyempit oleh aktivitas manusia semua itu bukan kejadian alamiah. Itu adalah hasil keputusan.

Ketika banjir datang, yang terlihat hanyalah air. Tapi yang jarang dibicarakan adalah rantai sebab-akibat panjang yang mendahuluinya.

Negara Hadir Setelah Air Naik

Ironisnya, negara sering kali hadir paling cepat justru setelah bencana terjadi:

  • Bantuan darurat disalurkan

  • Tenda pengungsian didirikan

  • Dana rehabilitasi digelontorkan

Semua itu penting. Tapi tetap saja muncul pertanyaan:
kenapa energi, anggaran, dan ketegasan tidak sebesar itu saat masih ada kesempatan mencegah?

Mitigasi sering berhenti di dokumen kebijakan, seminar, dan rencana aksi. Sementara di lapangan, kerusakan terus berjalan, pelan tapi pasti.

Bencana memang tidak selalu bisa dicegah. Tapi banyak bencana yang dampaknya bisa dikurangi, bahkan dihindari, jika pencegahan benar-benar dijalankan, bukan sekadar dituliskan.

Selama penebangan hutan, eksploitasi alam, dan pembiaran tata ruang bermasalah terus dianggap “biaya pembangunan”, maka banjir dan longsor akan terus kita anggap sebagai musibah padahal sebagian adalah konsekuensi dari pilihan kita sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita tahu risikonya,
melainkan berapa lama kita mau terus berpura-pura tidak tahu.