Muhammadiyah Kaji Blockchain dan Kripto: Upaya Merespons Inovasi Finansial dalam Perspektif Syariah

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia menghadapi peluang sekaligus tantangan besar dalam perkembangan teknologi finansial digital. Inovasi seperti blockchain dan aset kripto terus berkembang, sehingga umat Islam membutuhkan panduan yang jelas agar teknologi tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan sesuai prinsip syariah.

Menjawab kebutuhan tersebut, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (MTT PP) mulai melakukan kajian mendalam terkait teknologi blockchain dan kripto. Langkah ini mencerminkan sikap Muhammadiyah yang berupaya merespons inovasi secara kritis, ilmiah, dan bertanggung jawab, tanpa bersikap reaktif.

Memahami Blockchain: Bukan Sekadar Bitcoin

Kajian tersebut digelar di Yogyakarta, Minggu (14/12/2025), dan dimoderatori oleh Mohammad Bekti Hendrie Anto, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Dalam pengantarnya, Bekti menegaskan bahwa pemahaman terhadap blockchain dan kripto merupakan bagian dari tuntutan zaman.

“Blockchain dan kripto bukan sekadar tren sesaat, melainkan keniscayaan sejarah. Muhammadiyah perlu hadir memberikan pandangan yang tepat, tidak tergesa-gesa mengharamkan, tetapi juga tidak latah membenarkan,” ujarnya.

Salah satu narasumber, Dr. Noor Akhmad Setiawan, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Advisory Board Asosiasi Blockchain Syariah Indonesia, menjelaskan bahwa blockchain adalah teknologi pencatatan data (ledger) yang menjamin transparansi, keamanan, dan integritas informasi.

Menurutnya, blockchain tidak terbatas pada aset kripto semata. Teknologi ini dapat diterapkan di berbagai sektor strategis, seperti pendidikan, sertifikasi tanah, audit pemerintahan, hingga dokumentasi aset, sehingga memiliki potensi besar untuk kemaslahatan publik.

“Blockchain bersifat netral. Ia bisa menjadi baik atau buruk tergantung siapa yang menggunakan dan untuk tujuan apa. Muhammadiyah seharusnya dapat menjadi pelopor pemanfaatan blockchain untuk tujuan-tujuan yang membawa maslahat,” tegas Noor.

Sementara itu, Bitcoin dipandang lebih tepat sebagai penyimpan nilai (store of value) dibandingkan alat tukar harian, mengingat volatilitas harga dan keterbatasan kapasitas transaksi—mirip dengan konsep emas digital.

Tantangan dan Peluang Kripto dalam Perspektif Syariah

Sesi berikutnya menghadirkan Mochammad Tanzil Multazam, dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Ia menekankan bahwa kajian kripto tidak boleh hanya berfokus pada fluktuasi harga, melainkan harus melihat proses, manfaat, serta implikasi hukum dan etikanya.

Tanzil menjelaskan perbedaan antara blockchain publik seperti Bitcoin dan Ethereum, dengan blockchain privat yang banyak digunakan oleh korporasi. Ia juga menyoroti perkembangan smart contract, yakni sistem perjanjian digital yang dapat dieksekusi secara otomatis tanpa perantara.

Selain itu, ia mengulas potensi Decentralized Finance (DeFi) sebagai sistem keuangan tanpa lembaga perantara yang, dalam batas tertentu, dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Namun, Tanzil mengingatkan bahwa risiko terbesar sering kali berasal dari kelalaian pengguna, sehingga literasi keamanan digital menjadi aspek yang sangat penting.

Diskursus Ilmiah, Bukan Sekadar Halal–Haram

Kajian ini menegaskan bahwa blockchain dan kripto tidak dapat disederhanakan hanya sebagai persoalan halal atau haram. Muhammadiyah berupaya menghadirkan pendekatan yang kritis, kontekstual, dan berbasis ilmu, agar umat Islam mampu bersikap bijak dalam menghadapi teknologi finansial di era digital.

Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah diharapkan dapat berperan aktif dalam membentuk pemahaman keislaman yang relevan dengan perkembangan teknologi, sekaligus mendorong pemanfaatan inovasi digital untuk kemaslahatan umat.nya siapa.