Papua dan Janji Kemandirian Energi: Antara Transisi Hijau dan Ancaman Lama

Target pemerintah untuk menghentikan impor solar mulai tahun depan menandai babak baru dalam wacana kemandirian energi nasional. Presiden Prabowo Subianto menempatkan Papua sebagai salah satu kawasan strategis dalam agenda besar ini, dengan menonjolkan potensi energi terbarukan seperti tenaga surya dan tenaga air. Di atas kertas, kebijakan tersebut tampak progresif dan sejalan dengan semangat transisi energi global. Namun, di balik narasi optimisme negara, terdapat pertanyaan mendasar yang patut diajukan secara kritis apakah Papua benar-benar disiapkan untuk mandiri energi, atau kembali diposisikan sebagai lumbung sumber daya demi ambisi nasional?

Papua bukan wilayah tanpa sejarah. Selama puluhan tahun, tanah ini telah menjadi arena eksploitasi sumber daya alam, dari tambang hingga hutan, dengan dalih pembangunan dan kepentingan nasional. Pola yang berulang selalu sama--> janji kesejahteraan, masuknya investasi besar, dan pada akhirnya marginalisasi masyarakat adat serta kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, setiap kebijakan berskala nasional yang menempatkan Papua sebagai “kawasan strategis” patut diuji dengan kehati-hatian ekstra.

Pernyataan Presiden mengenai pengembangan energi berbasis sumber daya lokal melalui bahan bakar nabati menjadi titik krusial dalam analisis ini. Dalam konteks kebijakan energi Indonesia hari ini, bahan bakar nabati hampir tidak pernah dilepaskan dari biodiesel berbasis kelapa sawit. Dominasi sawit dalam bauran energi bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga struktural—ia ditopang oleh modal besar, regulasi yang mapan, serta jaringan industri yang kuat. Ketika target penghentian impor solar dikejar dalam waktu singkat, logika kebijakan cenderung memilih jalan yang paling siap secara industri, bukan yang paling adil secara ekologis.

Di sinilah kekhawatiran mengenai masa depan hutan Papua menemukan relevansinya. Papua masih menyimpan salah satu kawasan hutan tropis terbesar dan paling utuh di Indonesia. Hutan ini bukan sekadar aset lingkungan, melainkan ruang hidup, identitas, dan sistem pengetahuan masyarakat adat. Jika ekspansi bahan bakar nabati dilakukan melalui pembukaan perkebunan skala besar, maka yang terjadi bukan transisi energi, melainkan alih bentuk eksploitasi—dari ekstraktif fosil ke ekstraktif berbasis lahan.

Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa energi terbarukan seperti surya dan tenaga air justru ramah lingkungan dan relevan bagi Papua. Argumen ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, persoalannya terletak pada apa yang tidak ditegaskan dalam kebijakan batasan yang jelas. Hingga kini, belum ada pernyataan eksplisit yang memastikan bahwa agenda swasembada energi tidak akan membuka ruang bagi perluasan sawit di Papua, atau bahwa hutan adat akan dilindungi secara tegas dari logika pasar energi.

Kemandirian energi, jika dipahami semata-mata sebagai pengurangan impor dan penghematan fiskal, berisiko kehilangan dimensi keadilan. Negara mungkin berhasil menekan angka impor BBM, tetapi jika keberhasilan itu dibayar dengan rusaknya hutan Papua dan terpinggirkannya masyarakat adat, maka harga yang harus dibayar terlalu mahal. Dalam konteks ini, kemandirian energi justru dapat menjelma menjadi kolonialisme energi modern, di mana pusat menikmati manfaat, sementara daerah menanggung dampak.

Papua seharusnya tidak hanya diposisikan sebagai pemasok energi bagi Indonesia, melainkan sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Energi terbarukan di Papua semestinya dikembangkan berbasis komunitas, skala lokal, dan selaras dengan ekologi setempat. Tanpa paradigma tersebut, janji transisi hijau berpotensi menjadi sekadar retorika, sementara praktik di lapangan mengulang pola lama dengan wajah kebijakan yang baru.

Pada akhirnya, esensi kemandirian energi bukan hanya soal sumber daya dan teknologi, melainkan soal pilihan moral dan politik. Apakah negara memilih jalan cepat yang berisiko merusak, atau jalan berkelanjutan yang menghormati manusia dan alam? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Papua benar-benar menjadi simbol masa depan energi Indonesia, atau kembali menjadi korban dari ambisi yang tidak belajar dari sejarah.