“Suku Tertua di Sumatera”: Ketika Netralitas Ilmiah Menjadi Kedok Bias Sejarah

Membaca Ulang Posisi Karo dalam Sejarah, Linguistik, dan Arkeologi

Perdebatan tentang “suku mana yang tertua di Sumatera” kerap dikemas sebagai upaya melawan sukuisme. Namun ironisnya, tidak jarang tulisan yang mengklaim netral dan ilmiah justru mereproduksi bias lama menolak klaim usia satu kelompok, sambil diam-diam menormalisasi narasi dominan kelompok lain. Dalam konteks Sumatera Utara, bias itu sering tampil dalam bentuk Batak-sentrisme, khususnya Batak Toba, yang diposisikan sebagai poros genealogis, linguistik, dan kultural bagi kelompok lain termasuk Karo.

Tulisan ini bukan hendak mengganti satu klaim keunggulan dengan klaim tandingan. Yang dipersoalkan adalah kerangka berpikirnya ketika “suku tertua” dinyatakan tidak sah secara ilmiah, tetapi asumsi tentang pusat asal, bahasa induk, dan kronologi tetap menguntungkan satu pihak, maka yang bekerja bukan ilmu pengetahuan, melainkan ideologi.

Karo dan Sejarah Politik: Bukan Entitas Pinggiran

Salah satu kelemahan mendasar dalam banyak diskusi adalah pengabaian sejarah politik Karo. Keberadaan Kerajaan Haru/Aru sejak sekitar abad ke-12–13 Masehi bukan mitos, bukan pula dongeng lokal. Ia tercatat dalam sumber-sumber regional sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan, dengan jaringan perdagangan dan relasi antarkerajaan di Sumatera dan sekitarnya.

Keberadaan Haru/Aru menunjukkan bahwa masyarakat Karo telah membangun organisasi sosial dan politik yang mapan jauh sebelum masa kolonial. Fakta ini penting, karena menegaskan bahwa Karo bukan “cabang” atau “turunan belakangan” dari satu kelompok pedalaman lain, melainkan subjek sejarah dengan lintasan sendiri.

Linguistik: Kesalahan Fatal Menyamakan Bahasa dengan Usia Suku

Argumen linguistik sering dipakai secara keliru. Ketika dikatakan bahwa bahasa Karo “lebih konservatif” dibanding bahasa Toba, lalu buru-buru disimpulkan bahwa Karo “lebih tua”, Uli kozok memang benar saat menolak kesimpulan itu. Namun persoalan muncul ketika solusi yang diajukan adalah konsep Proto-Batak yang secara implisit kembali menempatkan Batak (khususnya Toba) sebagai pusat.

Di sinilah kritik dari H.G. Tarigan yang diangkat kembali oleh Juara R. Ginting menjadi krusial. Secara linguistik, bahasa Karo dan bahasa-bahasa yang disebut “Batak” sama-sama merupakan turunan dari Bahasa Melayu, yang pada gilirannya bagian dari rumpun Austronesia. Bentuk-bentuk seperti:

  • kitahita

  • pucukpussuk

  • bukitbuhit

menunjukkan arah inovasi bunyi, bukan hierarki usia etnis. Dalam linguistik modern, tidak ada dasar ilmiah untuk mengatakan bahwa bahasa dengan bunyi tertentu otomatis lebih tua, apalagi untuk mengklaim superioritas genealogis satu suku atas yang lain.

Dengan demikian, konsep “Proto-Batak” sebagai entitas yang sudah berbahasa dan berbudaya Batak tertentu adalah konstruksi teoritis yang terlalu disederhanakan, dan sering kali dipakai untuk mengukuhkan mitos asal-usul, bukan untuk menjelaskan realitas sejarah.

Pusuk Buhit: Dari Pusat Asal ke Pusat Ideologi

Pusuk Buhit kerap diperlakukan sebagai titik nol sejarah Batak. Namun secara etimologis, istilah-istilah kunci yang melekat padanya buhit, pussuk, aek jelas berakar dari Bahasa Melayu (bukit, pucuk, air). Penolakan terhadap fakta etimologis ini bukan persoalan ilmiah, melainkan resistensi ideologis.

Masalahnya bukan apakah Pusuk Buhit penting bagi tradisi Toba, melainkan ketika simbol tersebut dipaksakan menjadi pusat asal semua kelompok, termasuk Karo. Pada titik ini, yang terjadi bukan lagi kajian sejarah, melainkan ekspansi mitos menjadi kebenaran umum.

Arkeologi: Data yang Tidak Netral Jika Dibaca Sepihak

Argumen bahwa “tidak ditemukannya situs Neolitik di pedalaman Sumatra Utara” menandakan kedatangan manusia yang relatif baru adalah contoh reduksionisme arkeologis. Kondisi geografis, material organik, dan pola permukiman tropis sangat memengaruhi jejak arkeologi.

Lebih penting lagi, temuan Loyang Mandale (Aceh Tengah) oleh Balai Arkeologi menunjukkan keberadaan manusia dengan usia lebih dari 5.000 tahun, dengan kedekatan DNA terhadap masyarakat Gayo dan Karo masa kini, dan tidak menunjukkan kedekatan dengan Batak Toba. Sebaliknya, pemukiman tertua Batak Toba di Sianjur Mula-mula justru diperkirakan tidak lebih tua dari sekitar 1.000 tahun.

Jika arkeologi benar-benar dipakai secara konsisten, maka narasi “kedatangan relatif baru” tidak bisa diarahkan sepihak kepada Karo, sementara kelompok lain lolos dari sorotan yang sama.

Karo dan Identitas: Bukan “Batak yang Kurang Lengkap”

Karo memiliki sistem sosial merga silima, adat, bahasa, dan struktur kekerabatan yang berbeda secara mendasar dari Toba. Menyebut Karo sebagai “bagian dari Batak” sering kali bukan hasil kajian etnografi, melainkan penyederhanaan administratif dan kolonial yang diwarisi tanpa kritik.

Mengakui perbedaan ini bukan berarti menolak kemungkinan nenek moyang bersama di masa sangat lampau. Tetapi menyamakan nenek moyang bersama dengan identitas Toba adalah lompatan logika yang tidak sah secara ilmiah.

Masalahnya Bukan “Siapa Tertua”, tetapi Siapa yang Dianggap Pusat

Benar bahwa pertanyaan “suku mana yang tertua” bukan pertanyaan ilmiah yang valid. Namun menolak pertanyaan itu tidak otomatis membuat sebuah tulisan bebas dari bias. Ketika satu kelompok terus-menerus diposisikan sebagai pusat asal, rujukan linguistik, dan tolok ukur sejarah, maka yang bekerja adalah hegemoni narasi, bukan ilmu pengetahuan.

Suku Karo tidak perlu diklaim sebagai yang “paling tua” untuk sah secara historis. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa Karo bukan derivatif, bukan turunan belaka, dan bukan subkategori dari identitas lain. Karo adalah entitas etnis dengan lintasan sejarah, bahasa, dan budaya sendiri, yang harus dibaca sejajar, bukan di bawah bayang-bayang mitos asal-usul pihak lain.

Jika diskusi ini benar-benar ingin keluar dari sukuisme, maka langkah pertama bukan menertawakan klaim usia, melainkan membongkar asumsi pusat dan pinggiran yang selama ini diterima tanpa kritik.

Mejuah-juah . . .