Atas dasar apa orang Karo disebut pendatang di Deli?

 

Selama ini kita dipaksa percaya satu hal:
orang Karo adalah pendatang di Deli.

Tapi mari kita jujur secara data.
Kalau orang Karo pendatang, datangnya dari mana? Kapan? Lewat jalur apa?
Tidak pernah ada jawaban yang jelas.
Yang ada hanya terjemahan kolonial yang diulang-ulang.

Fakta pertama.
Wilayah Deli tidak pernah berdiri sebagai kekuasaan tunggal.
Ia adalah perserikatan antara kejuruan Melayu dan urung Karo.
Ini bukan opini. Ini struktur politik adat.

Kalau Karo pendatang, mengapa urung Karo menjadi bagian pembentuk wilayah Deli sejak awal?

Fakta kedua.
Istilah Karo Gugung dan Karo Jahe sengaja disederhanakan.
Gugung = dataran tinggi.
Jahe = hilir.

Ini bukan pasangan sepadan.

Pasangan Gugung adalah Berneh.
Pasangan Jahe adalah Julu.

Namun kolonial mengubahnya jadi “dataran tinggi” dan “dataran rendah”.
Lalu kesimpulan dibuat sepihak:
yang di hilir dianggap datang belakangan.

Ini kesalahan logika, bukan sejarah.

Fakta ketiga.
Taneh kemulihen dan taneh perlajangen diterjemahkan sebagai tanah asal dan tanah pendatang.
Padahal dalam adat Karo,
kemulihen dan perlajang bisa ada dalam satu kampung yang sama.
Bahkan dalam satu kuta.

Tidak ada migrasi.
Tidak ada perpindahan etnis.
Yang ada hanyalah struktur sosial internal.

Tapi terjemahan salah itu dipakai untuk satu tujuan:
menciptakan narasi bahwa sebagian wilayah adalah “tanah baru”.

Fakta keempat.
Jika migrasi memang terjadi, seharusnya manusianya yang berpindah.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya:
makna wilayahnya yang digeser.

Wilayah yang sudah dihuni lama tiba-tiba disebut wilayah baru.
Masyarakat lama perlahan disebut pendatang.

Ini bukan kebetulan.
Ini strategi pengetahuan kolonial.

Fakta kelima.
Pusat kota Medan berdiri di wilayah urung Karo.
Ini tercatat dalam peta administratif kolonial abad ke-19.
Bukan cerita lisan.
Bukan klaim emosional.

Bahkan simbol kekuasaan, istana, dibangun di tanah adat Karo.

Pertanyaannya sederhana tapi mematikan:
kalau Karo pendatang, mengapa pusat kekuasaan berdiri di urung Karo?

Fakta keenam.
Ketika hutan dirambah dan tanah disewakan ke perusahaan asing,
uang sewa hanya dibayarkan ke satu pihak.
Struktur adat Karo diabaikan.

Konflik pun pecah.
Bukan karena Karo “liar” atau “memberontak”,
tetapi karena hak adatnya dilanggar secara sistematis.

Lalu sejarah resmi datang dengan satu kalimat aman:
“kerusuhan”.

Padahal itu adalah krisis struktur kekuasaan.

Sekarang kita sampai di pertanyaan terakhir.
Jika:
– tidak ada data migrasi jelas
– wilayah dibentuk bersama
– pusat kota berdiri di urung Karo
– istilah adat diterjemahkan keliru

lalu atas dasar apa orang Karo disebut pendatang di Deli?

Jawabannya tidak nyaman:
karena sejarah ditulis tanpa mendengarkan adat dan cara berpikir lokal.

Maka kalimat yang harus kita berani ucapkan adalah ini:
orang Karo bukan pendatang di Deli.

Yang “datang” adalah kekuasaan.
Yang berpindah adalah definisi.
Yang disingkirkan adalah makna adat.

Kalau narasi ini membuat tidak nyaman,
itu pertanda kita sedang menyentuh kebenaran yang lama ditutupi.