Meluruskan Asal-Usul Suku Karo -- Antara Fakta Kepustakaan, Fakta Sosial, dan Fakta Teritorial

Dok. Kampong Boekoem. H. Ernst, Fotograaf, Bindjeij-Langkat. unused ca.1910s. Kampung Boekoem (Bukum) berada di daerah areal Perkebunan Karet Dolok Barus Estate. Kini, Bukum berada di wilayah Karo Jahe, kampung panteken Barus mergana (Urung Senembah). (Website: Sora Sirulo)

Perdebatan mengenai asal-usul suku Karo kerap berangkat dari satu premis utama: istilah “Karo” baru muncul dalam arsip kolonial awal abad ke-19, tidak ditemukan dalam hikayat Melayu maupun pustaha Batak, sehingga sejarah Karo dianggap kabur sebelum periode tersebut. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menolak arsip kolonial, melainkan untuk meluruskan cara membacanya, dengan membedakan secara tegas antara fakta kepustakaan, fakta sosial, dan fakta teritorial.

Kesalahan mendasar dalam banyak tulisan sebelumnya adalah menyamakan ketiadaan istilah dengan ketiadaan masyarakat, serta menyamakan keterbatasan arsip tertulis dengan ketiadaan fakta sejarah.

Istilah “Karo” dan Masalah Sudut Pandang

Istilah Karo pertama kali muncul secara eksplisit dalam karya William Marsden (1811), yang menyebut “Carrow”, serta dalam laporan John Anderson (1826) yang menggunakan istilah “Karau Karau Batta”. Fakta ini sah secara kepustakaan dan tidak diperdebatkan. Namun, kemunculan istilah dalam teks tertulis tidak boleh diperlakukan sebagai penanda awal keberadaan suatu masyarakat.

Arsip kolonial mencatat momen pengamatan, bukan momen kelahiran. Dengan kata lain, yang muncul pada awal abad ke-19 bukanlah orang Karo, melainkan perhatian dan klasifikasi pihak luar terhadap mereka. Dalam konteks Sumatra Utara masa itu, istilah “Batak” digunakan sebagai kategori umum untuk masyarakat pedalaman oleh orang Aceh, Melayu, dan Eropa, tanpa pembedaan etnografis yang presisi.

Karena itu, penyebutan “Batak Karo-Karo” tidak mencerminkan identitas internal masyarakat Karo, melainkan keterbatasan kategori kolonial.

Ketiadaan Istilah dalam Teks Tradisional: Klarifikasi Penting

Benar bahwa istilah “Karo” tidak ditemukan dalam hikayat Melayu, naskah Melayu klasik, maupun pustaha Batak Toba, Pakpak, dan Simalungun. Bahkan dalam naskah berbahasa Karo sendiri, istilah ini jarang digunakan. Namun, menarik kesimpulan bahwa kesadaran identitas Karo belum kuat sebelum abad ke-19 adalah kekeliruan konseptual.

Yang belum berkembang pada masa itu bukanlah kesadaran identitas, melainkan kebutuhan untuk menamai identitas tersebut secara etnis dalam teks tertulis. Dalam masyarakat Nusantara pra-modern, identitas diwujudkan melalui wilayah, struktur kepemimpinan, relasi kekerabatan, dan batas ulayat—bukan melalui label etnis abstrak.

Dengan demikian, ketiadaan istilah “Karo” dalam teks tidak dapat dijadikan dasar untuk meniadakan eksistensi sosial dan historis masyarakat Karo.

Struktur Urung sebagai Fakta Sosial dan Politik

Pendekatan arsip-sentris sering mengabaikan fakta sosial yang tidak tercatat dalam teks. Dalam masyarakat Karo, keberadaan urung merupakan fakta fundamental. Di wilayah Deli Hulu saja, telah lama dikenal urung-urung seperti Sunggal, XII Kuta Lau Cih, Senembah, dan Sukapiring, masing-masing dengan wilayah, raja urung, dan hukum adatnya.

Struktur politik teritorial semacam ini tidak mungkin lahir dari komunitas migran sementara. Ia menunjukkan keberadaan masyarakat yang telah lama menetap, membangun sistem kepemimpinan, dan mengatur relasi internal maupun eksternal secara berkelanjutan. Urung bukan konsep simbolik, melainkan institusi sosial konkret.

Bahasa dan Toponimi sebagai Arsip Hidup

Catatan John Anderson justru memberikan bukti penting yang sering luput diperhatikan: bahasa. Dalam perjalanannya dari Kampung Ilir menuju Sunggal, ia mencatat seruan “mboah” serta banyak nama tempat yang diawali dengan kata “namo”.

Kosakata tersebut hanya dikenal dalam bahasa Karo dan tidak ditemukan dalam bahasa Melayu maupun Batak Toba. Bahasa adalah arsip hidup yang diwariskan lintas generasi. Keberadaan bahasa dengan ciri khas kuat menunjukkan kontinuitas sosial yang tidak mungkin muncul secara tiba-tiba pada abad ke-19.

Dengan demikian, laporan Anderson tidak menunjukkan absennya masyarakat Karo, melainkan sebaliknya: ia menjadi salah satu konfirmasi awal tertulis atas keberadaan mereka.

Tradisi Lisan dan Pustaka Kembaren: Penempatan yang Tepat

Karena keterbatasan sumber tertulis pra-abad ke-19, tradisi lisan sering diperlakukan secara ekstrem: diterima mentah-mentah atau ditolak sepenuhnya. Salah satu contoh adalah Pustaka Kembaren. Keraguan J.H. Neumann terhadap keaslian naskah ini adalah kehati-hatian akademik yang wajar, terutama karena ia hanya menerima salinan di atas kertas.

Namun, menolak seluruh isi tradisi lisan sebagai karangan baru juga tidak proporsional. Dalam tradisi Nusantara, penyebutan pusat-pusat prestisius seperti Pagaruyung atau bahkan Mekkah berfungsi sebagai legitimasi simbolik, bukan pernyataan migrasi biologis literal. Nilai historis tradisi lisan terletak pada pola persebaran wilayah dan relasi sosial yang direkamnya, bukan pada detail naratif yang bersifat mitologis.

Deli Hulu dan Deli Hilir: Fakta Teritorial yang Terabaikan

Salah satu kekeliruan paling serius dalam penulisan sejarah Karo adalah pengabaian terhadap perbedaan antara Deli Hulu dan Deli Hilir. Investigasi Halowijn atas perintah Residen Netzer menunjukkan bahwa Deli terbagi dua, dengan batas kira-kira berada di pusat Kota Medan saat ini.

Deli Hulu merupakan wilayah ulayat Karo, sedangkan Deli Hilir berada dalam pengaruh Melayu. Fakta ini tercermin dalam praktik sosial: orang Melayu tidak bebas memasuki Deli Hulu, sementara orang Karo dapat bergerak hingga ke pantai. Ini bukan mitos, melainkan fakta teritorial yang tercatat dalam arsip kolonial sendiri.

Kasus Sultan Ahmed (Datuk Hamparan Perak) memperjelas batas ini. Ia dapat memasuki Deli Hulu bukan semata karena status politiknya, melainkan karena ibunya adalah beru Surbakti. Dalam sistem kekerabatan Karo yang menganut garis keturunan ganda, status sebagai “orang dalam” ditentukan oleh hubungan ibu.

Perang Sunggal: Koreksi atas Teori Migrasi

Teori yang menyatakan bahwa orang Karo di Deli dan Langkat adalah pendatang dari Dataran Tinggi Karo hanya sebagian benar dan sering disalahpahami. Migrasi internal memang terjadi pada masa kolonial, tetapi teori ini gagal menjelaskan keberadaan kampung-kampung Karo di Deli Hulu dan Langkat Hulu sebelum kedatangan Eropa.

Karl J. Pelzer mencatat bahwa perlawanan baru meletus ketika perluasan perkebunan tembakau memasuki wilayah Karo. Selama ekspansi terbatas di wilayah Melayu, konflik besar tidak terjadi. Fakta ini menunjukkan bahwa Perang Sunggal adalah konflik wilayah dan kedaulatan ulayat, bukan akibat migrasi atau persoalan ekonomi semata.

Dari keseluruhan uraian ini dapat ditegaskan bahwa ketiadaan istilah “Karo” dalam teks pra-abad ke-19 adalah persoalan sudut pandang dan tradisi tulis, bukan persoalan keberadaan masyarakat. Karo tampak “sulit dipahami” bukan karena sejarahnya kabur, melainkan karena terlalu lama dibaca dengan pendekatan yang sempit dan arsip-sentris.

Struktur urung, bahasa, toponimi, batas frontier, dan konflik wilayah adalah fakta sejarah yang sah. Setiap teori mengenai asal-usul Karo yang mengabaikan fakta-fakta ini tidak dapat dipertahankan secara ilmiah.

Dengan reposisi ini, sejarah Karo tidak lagi berdiri sebagai catatan pinggiran yang baru “muncul” ketika kolonialisme datang, melainkan sebagai sejarah masyarakat yang telah lama membentuk ruang, bahasa, dan struktur sosialnya sendiri jauh sebelum ia dinamai dalam arsip kolonial.