Ornamen Rumah Tradisional Karo
Rumah tradisional Karo didesain tahan gempa. Juga memiliki makna kebahagiaan bagi penghuninya.
Ernst Cassirer menyatakan manusia
sebagai animal symbolicum. Melalui simbol-simbol itu manusia
mengungkapkan perasaan, mencari pengetahuan, dan keinginan untuk
menciptakan sesuatu seperti benda-benda yang dapat menunjang keinginan
dan kebutuhan hidupnya (Budianto, 2004). Simbol bisa berupa gambar atau
benda, yang diyakini masyarakat pendukungnya, memiliki makna tertentu,
dan diwariskan oleh nenek moyang.
Sementara itu, antropolog
Koentjaraningrat (1996) mengungkapkan bahwa hampir semua tindakan
manusia adalah kebudayaan. Adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang diperoleh sebagai hasil dari proses belajar.
Indonesia dengan pelbagai suku yang
tersebar di seluruh pelosok tanah air, memiliki kekayaan budaya,
tradisi, dan adat-istiadat yang beraneka ragam, salah satunya terkandung
dalam seni arsitektur. Dalam konteks ini rumah tradisional suku
Karo—yang secara spesifik dapat dieksplorasi dari ornamen rumah.
Ornamentasi Rumah Karo
Rumah tradisional Karo didesain tahan
terhadap gempa dengan usia bangunan mencapai ratusan tahun dan dalam
pembuatannya tidak memakai paku. Di samping itu peran guru (dukun)
sangat penting terkait letak rumah tradisional yang akan didirikan.
Masyarakat Karo percaya akan sifat tanah, bahwa ada tanah yang baik dan
tidak baik untuk bermukim di atasnya. Dapat dikatakan seluruh proses
dari awal sampai peresmian (mengket) rumah tidak lepas dari nasehat dan
peran guru.
Rumah ini kaya akan hiasan-hiasan berupa
ornamen yang terdapat pada rumah tinggal atau bangunan hunian biasa,
rumah besar yang dihuni oleh delapan keluarga (rumah waluh jabu), dan
bangunan istana (tempat tinggal para raja pada zaman dahulu). Ornamen
merupakan suatu desain tradisional yang bernilai tinggi yang berkaitan
dengan kepercayaan serta memiliki makna kebahagiaan bagi penghuninya.
Dalam pembuatannya, ada ornamen yang
dipahat maupun diukir. Pengrajinnya disebut penggerga. Seiring dengan
kemajuan zaman, para penggerga ini sudah tidak banyak lagi, karena
berkurangnya minat masyarakat Karo dalam membangun rumah tradisional.
Simbol dan Kearifan Lokal
Ornamen rumah tradisional Karo
berhubungan dengan lambang terkait dengan adat-istiadat. Sebagai suatu
produk budaya yang diciptakan nenek moyang sebagai hasil dari belajar
khususnya melalui alam yang dipercayai mengandung makna khusus. Lebih
khusus lagi, menurut Sitepu (dalam Surbakti, 2008), ornamen dipercaya
sebagai penolak bala, penangkal roh jahat, dan sebagai media pengobatan
juga memperindah bangunan. Bangunan dan ornamen menjadi suatu kesatuan
yang utuh serta memberikan kesan keagungan dan keindahan.
Keseluruhan ornamen dibuat atau
diletakkan pada ayo-ayo (bagian depan rumah), dapur-dapur (bagian
dapur), dan pada derpih (bagian dinding). Dan pada atap rumah diletakkan
dua atau empat buah kepala kerbau lengkap dengan tanduknya yang
dipercaya sebagai lambang kekuatan. Ornamen tersebut meliputi:
Pangeret-ret, Embun Sikawiten, Bindu Matoguh, Tupak Salah Silima-lima,
dan Tapak Raja Sulaiman.
Pengeret-ret. Bahan dasar ornamen ini
adalah tali ijuk yang dipilin dan diikat ke dinding rumah (derpih)
bagian depan—dimaksudkan sebagai pengganti paku. Lubang diatur terlebih
dahulu sesuai dengan gambar dan berfungsi untuk memperkuat tiap lembar
papan, sehingga dinding menjadi kuat. Motif ornamen berupa gambar seekor
cicak yang diyakini memiliki kekuatan untuk menolak bala dan ancaman
roh jahat yang mengganggu penghuni rumah. Ornamen ini melambangkan suatu
kekuatan, penangkal setan, kewaspadaan, dan kesatuan keluarga.
Embun Sikawiten. Ornamen dengan motif
alam ini merupakan tiruan dari rangkaian awan yang beriringan dibuat
menyerupai gambar bunga yang menjalar berbentuk segitiga. Fungsinya
adalah sebagai petunjuk hubungan antara kalimbubu (awan tebal bagian
atas) dan anak-beru (bayangan awan di bagian bawah). Kalimbubu adalah
pelindung anak-beru dalam sistem hubungan masyarakat Karo. Bayangan awan
di bawah akan bergerak mengikuti iringan gumpalan awal tebal di atasnya
bila awan di bagian atas bergerak, sesuai dengan fungsi kalimbubu.
Bindu Matoguh. Motif ornamen berupa
garis yang menyilang diagonal dan membentuk persegi, melambangkan
keteguhan hati masyarakat Karo untuk bertindak baik, adil, tidak
melanggar norma, dan tidak merugikan orang (encikep si mehuli). Nilai
filosofis encikep si mehuli adalah sebagai penolak bala yang tidak akan
datang melanda bila manusia berbuat baik dan jujur terhadap siapapun.
Tupak Salah Silima-lima. Motif ornamen
ini adalah alam/geometris berupa garis menyilang yang membentuk gambar
bintang di langit yang menerangi bumi di malam hari. Melambangkan
kesatuan/kekeluargaan merga silima (lima merga) sebagai sistem sosial
masyarakat Karo yang utuh, dihormati, dan disegani. Kesatuan dimaknai
sebagai kekuatan karena kekuatan masyarakat Karo pada hakikatnya
terletak pada kebersamaan yang dibangun. Kelima merga tersebut adalah
merga induk yang diikat oleh struktur sosial dan tak terpisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Fungsi ornamen tak lain sebagai penolak niat
jahat dari adanya keinginan yang hendak mengganggu keutuhan merga
silima.
Tapak Raja Sulaiman. Ornamen ini
bermotif geometris berupa garis yang menyimpul dan membentuk jalinan
motif bunga dan membentuk segi empat. Nama ornamen diambil dari nama
raja yang dianggap sakti yang ditakuti oleh makhluk jahat mulai dari
yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar. Dengan status sebagai
raja yang tinggi kedudukannya, Raja Sulaiman merupakan kekuatan yang
dihormati sekaligus ditakuti. Masyarakat Karo percaya bahwa ornamen
Tapak Raja Sulaiman akan menolong mereka agar terhindar dari ancaman
niat jahat, baik yang datang secara nyata maupun tidak nyata. Makna yang
terdapat pada ornamen ini adalah makna kekeluargaan dan makna kekuatan.
Begitulah di balik ornamen itu,
termaktub sejumlah kearifan lokal masyarakat Karo. Walau berangsur
surut, tak diminati lagi, sepatutnya generasi pelanjut, tak pongah untuk
belajar dari nenek moyang. (gong.tikar.or.id)
ditulis oleh : Asmyta Surbakti, Pengajar di Universitas Sumatera Utara.
sumber : karo.or.id