Melayu dan Batak dalam strategi kolonial
Dr.Perret dari Paris mencatat;
orang Melayu di pesisir Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya
(civilized), sedang semua non Melayu dipandang sebagai orang yang tidak
berpengetahuan, berperilaku kasar bahkan kanibal, diberi label Batak
Label
Melayu dan Batak
Melayu
bukan label etnis, dia adalah label budaya. Siapa saja dapat menjadi Melayu,
asal dia beragama Islam, beradat istiadat Melayu berbahasa Melayu dan mengaku
Melayu. Label Melayu dan Batak menurut Dr.Perret muncul bersamaan pada abad 16.
Label Batak ini muncul sebagai pelengkap label Melayu. Orang Melayu di pesisir
Sumatera Timur menganggap dirinya berbudaya (civilized), sedang semua orang
yang non Melayu yang berada di pedalaman dan di lembah pegunungan Bukit Barisan
dipandang sebagai orang yang tidak berpengetahuan, berperilaku kasar dan bahkan
kanibal, diberi label Batak.
Baca Juga : Daftar Panggilan Kerabat Dalam Bahasa Karo
Istilah
Batak ini disebutkan dengan konotasi merendahkan (seakan memiliki stigma/cacat
sosial). Khusus mengenai istilah Batak, Daniel Perret menjelaskan bahwa istilah
itu bukan berasal orang-orang Toba, Simalungun, Fak-Fak Bharat, Karo atau
Mandailing/Sipirok. Label itu datang dari luar khasanah budaya mereka.
Daniel
mencatat dari beberapa dokumen bahwa sebutan Batak tidak terdapat dalam sastra
pra-kolonial. Bahkan dalam Hikayat Deli (1825) istilah Batak hanya sekali
digunakan, sedang dalam Syair Putri Hijau (1924) sama sekali tidak menyinggung
Batak atau Melayu. Baik dalam Pustaka Kembaren (1927) maupun Pustaka Ginting
(1930) tidak dijumpai kata-kata Batak. Selain itu BS. Simanjuntak mencacat
bahwa kata-kata Batak tidak dijumpai dalam Pustaha Toba. Memang dalam stempel
Singamangaraja, yang tertera hanya kalimat ”Ahu Raja Toba”, bukan ”Ahu Raja
Batak.”
Akan
tetapi, kehidupan orang Melayu banyak tergantung pada orang-orang di kawasan
dataran dan pegunungan itu, seperti tenaga pekerja untuk mengelola perkebunan,
hasil hutan dan istri-istri. Karena label Batak dibawa dari luar, maka dia
menjadi sebuah label yang kabur dan menyesatkan (evasive identity). Ketika
seorang menganggap orang lain Batak, maka dia merasa lebih tinggi dari orang
lain itu.
Perobahan-perobahan
sosial ekonomi yang kurang kondusif di Aceh pada permulaan abad XX, menyebabkan
kesultanan-kesultanan Melayu Sumatera Timur mengembangkan ruang budi daya
pertanian lada, kopi, gambir dan kapas kedaerah dataran tinggi/pegunungan, maka
ruang antara Melayu dan Batak berobah menjadi produksi pertanian yang
produktif. Kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman
(panglima-panglima) ditumbuhkan dalam kelembagaan-kelembagaan ”Datuk Empat
Suku.” Proses Melayunisasi dari kelembagaan ini sejalan dengan Islamisasi,
sehingga ruang kehidupan orang-orang Batak (uncivilized/tidak berbudaya)
menjadi semakin sempit. Akhirnya kelompok-kelompok baru (yang disebut Melayu
Dusun) ini, menjadi otonom. Waktu pihak asing datang mereka telah dapat
menjalin hubungan langsung tanpa meminta persetujuan Sultan-Sultan Melayu.
Dalam
kesempatan berhubungan langsung dengan elit pedalaman ini para kontrolir
Belanda yang ditempatkan di dusun-dusun (Simalungun, Karo dan Toba) memperkuat
keterpisahan mereka dengan Sultan-Sultan Melayu Pesisir, dan mendorong
tumbuhnya perasaan komunitas dan kesadaran etnis sendiri, sebagai orang Batak.
Mulai tahun 1888 kontrolir-kontrolir yang ditempatkan di dusun-dusun ditugaskan
untuk menangani urusan Batak yaitu membela kepentingan orang Batak berhadapan
dengan orang Melayu.
Di
samping itu, pemerintah kolonial menciptakan ruang hukum untuk Dusun dan
Dataran sebagai ”ruang hukum” Batak, sedang untuk daerah pesisir dimasukkan
dalam ruang hukum Melayu. Dengan keterpisahan ini Belanda dapat lebih mudah
memancing konflik antara Melayu dan Batak seperti pecahnya perang Sunggal
(1872). Di satu sisi perkebunan asing/Belanda menerima konsesi tanah dari
Sultan Melayu dengan sukacita, di sisi lain pemerintah kolonial merangang
timbulnya protes dari pemilik tanah penduduk asli setempat.
Demikianlah
pemerintah Belanda menggunakan label Batak untuk mempersatukan seluruh
suku-suku non-Melayu sebagai sebuah identitas etnik. Pemerintah Belanda terus
menerus memompakan label Batak dengan penguatan sosio-geografis tertentu,
nilai-nilai adat budaya dan kemudian agama Kristen. Sehingga keterpisahan
kawasan Batak dengan Melayu menjadi lebih nyata dan kontras, tidak dalam
pengertian budaya (civilized and uncivilized). Tetapi dalam pengertian kelompok
etnik Melayu versus Batak.
Untuk
mengukuhkan gerakan ini secara akademis, pemerintah Belanda di Universitas
Leiden mendirikan Bataksch Institut. Beberapa cabangnya Bataksch Vereeniging
didirikan pada lokasi-lokasi tertentu seperti di Tapanuli dengan berbagai
kegiatan termasuk melaksanakan pertemuan-pertemuan, mendirikan museum, opera
Batak (Tilhang) yang adopsi dari teater Bangsawan Melayu, menulis adat Batak
(yang disusun oleh seorang kontrolir, 1909).
Sementara
itu, dibagian Selatan Tapanuli telah berdiri kelompok (Bangsa) Mandailing yang
berseberangan dengan kelompok Batak di Utara. Sebagai migran di kota Medan,
mereka saling berhadapan pula dalam berbagai polemik wacana mengenai Batak
bahkan konflik terbuka (peristiwa Sungai Mati 1920). Orang Mandailing tidak mau
disebut Batak karena mereka merasa sudah berbudaya tinggi (civilized), jadi
bukan melulu karena masalah geneologis.
Desertasi
Daniel Perret ini menyimpulkan bahwa baik istilah Batak maupun Melayu bukanlah
label etnik, tetapi label budaya (civilized and uncivilized). Tetapi untuk
kepentingan strategi kolonial, pemerintah Belanda telah mampu ”memaksakan”
orang-orang Simalungun, Karo, Fak-Fak Bharat dan Toba menerima Label Batak
sebagai label kesatuan etnik dan mematahkan jalinan sosial-tradisional antara
kawasan pesisir dan pegunungan (Melayu dan non-Melayu).
Bahkan menyediakan
fasilitas unsur-unsur pembentukan dan penegasan identitas etnis baru itu
sebagai orang Batak. Semua itu untuk kepentingan strategi (divide et empera)
Kolonial Belanda. Kesimpulan ini disampaikan Daniel Perret dalam bedah buku
itu, tanpa keraguan lagi. ( Prof Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog
Unimed )