Apakah TEBA sama dengan TOBA?
Misteri Rumah Umang Taneh Karo Foto oleh : (Khairul Ikhwan Damanik) |
Sebenarnya saya pernah menulis tentang hal ini dengan menyimpulkan bahwa Teba tidak sama dengan Toba. Saya mengingat kembali diskusi itu setelah barusan membaca sebuah komen di grup ini 👉 "Suku Karo Bukan Batak (SKBB)"
"Politisi Kedai Kopi"
Dari beberapa mangmang yg pernah saya baca, kata TEBA tidak pernah merujuk ke orang/ kelompok orang. Lebih ke menunjukkan arah "ku teba"
Mangmangnya sering diucapkan:
👉Ku Barat ku Timur
👉Ku Jawi ku Teba,
Kalau datanya kita analisis lebih lanjut, kiranya Jawi dan Teba masing-masing menggantikan Utara dan Selatan. 👉 Jawi adalah sebuah istilah untuk Islam yang dalam banyak hal maksudnya Melayu.
Menarik bagi saya, mengapa istilah Teba dipilih sebagai pengganti Selatan. Menurut saya, ini tidak sekedar kebetulan Jawi berada di sebelah Utara Karo dan Teba di sebelah Selatannya. Lebih dari itu, Jawi dan Teba adalah sebuah kontras lain.
Kontras itu sehubungan dengan letak sosio-gegorafis Melayu berada di posisi terbuka dengan dunia luar, sebaliknya Teba berada di, menurut Karo pada masa itu, ketertutupan dan keterasingan.
Semua kelompok masyarakat yang dipandang kolot disebut Teba dan yang kasarnya adalah Teba-teba.
Hingga sebelum tahun 1980an, orang-orang Karo jarang sekali menyebut [kalak] Batak maupun [kalak] Toba kecuali [kalak] Teba.
Generasi muda sekarang ini sering menyamakan Teba dengan Toba sebagai nama sebuah kelompok masyarakat maupun sebagai nama sebuah danau. Tapi, bila kita berpikir mengapa orang-orang Karo menyebut Paribun Teba untuk kampung Karo yang ada di Kabupaten Simalungun?
Alasan pertama adalah 👉untuk membedakannya dengan Paribun yang ada di Kecamatan Barusjahe (Kabupaten Karo). Tapi, mengapa tidak dibilang saja Paribun Simalungun? Kok Teba?
Padahal jaraknya jauh sekali ke Danau Toba dan jelas-jelas tidak berdekatan dengan satupun kampung orang [Batak] Toba. Malahan di sekitarnya adalah kampung-kampung Karo. Kalau kita melintasi jalan Kabanjahe--Siantar, Danau Toba harus masuk belok kanan dan masih jauh lagi sedangkan Paribun Teba masuk belok kiri dan masih jauh lagi ke dalam.
Bisa kita pahami bahwa Paribun Teba artinya adalah Paribun Pelosok. Dulu memang itu daerah sangat terpelosok. Dari Seribudolok masuk Paribun Teba dan kampung-kampung Karo lainnya di Silima Kuta seperti halnya Cingkes adalah dengan menunggang kuda boban karena belum ada jalan batu (hingga tahun 1970an).
Makanya hati-hati menafsir Uis Teba adalah kain tenun Toba. Menurut analisis saya, istilah-istilah Uis Julu dan Uis Teba adalah terkait fase waktu. Dalam pemakaiannya untuk orang hidup, Uis Julu adalah abit (membalut badan) sementara Uis Teba adalah Tudung [tua-tua].
Dalam pedalen utang adat cawir metua, bila pria yang meninggal maka hanya Uis Julu (maneh-maneh) diberikan kepada Mamana (turang nandena) alias Kalimbubu Simada Dareh. Lain halnya kalau perempuan yang meninggal, Uis Julu (maneh-maneh) diberikan kepada Turangna dan Uis Teba (morah-morah) diberikan kepada Turang Nandena atau keturunan patrilinealnya yang menjadi Puang Kalimbubunya.
Ringkasnya, Uis Julu adalah sesuatu yang duluan daripada orang yang bersangkutan atau disebut saja Pendahulu (presedent) sementara Uis Teba diberikan kepada orang yang lebih mendahului lagi.
Itulah sistim kekerabatan Austronesia yang menurut antropolog Jame J. Fox dari Australia adalah the theory of presedence. Bila Levi-Strauss melihat hanya sebagai asymmetric marriage-alliance dimana Kalimbubu (Wife Giver) lebih superior daripada Anak Beru (Wife Taker) dan Wife Giver of Wife Giver lebih superior dari Wife Giver, James Fox melihatnya sebagai warisan Budaya Austronesia, bahwa sesuatu yang mendahulu superior terhadap pendatang belakangan.
Di situlah kelebihan Umang yang sebenarnya mendahului semua manusia-manusia Karo mendiami Taneh Karo, tapi perkawinannya dengan Putri Sibayak Ajinembah (sehingga menjadi Wife Taker) membuatnya sebagai "superior yang inferior" atau "inferior yang superior". Itulah Anak Beru Tua[h].
Tak heran kalau kita para manusia Karo menyebutnya punya telapak kaki terbalik. Ketika dia berjalan ke [masa] depan, itu artinya dia berjalan ke [masa] lalu. Ketika dia mundur itu artinya dia maju. Maka orang-orang Karo pun selalu bingung "jenda nari ku lebe" atau "jenda nari ku pudi".
Ngeri kebudayaan Karo e, ningku kang, lang nindu lalap. Batak ndai nge maka malemna nindu rusur.
"Politisi Kedai Kopi"
Dari beberapa mangmang yg pernah saya baca, kata TEBA tidak pernah merujuk ke orang/ kelompok orang. Lebih ke menunjukkan arah "ku teba"
Mangmangnya sering diucapkan:
👉Ku Barat ku Timur
👉Ku Jawi ku Teba,
Kalau datanya kita analisis lebih lanjut, kiranya Jawi dan Teba masing-masing menggantikan Utara dan Selatan. 👉 Jawi adalah sebuah istilah untuk Islam yang dalam banyak hal maksudnya Melayu.
Menarik bagi saya, mengapa istilah Teba dipilih sebagai pengganti Selatan. Menurut saya, ini tidak sekedar kebetulan Jawi berada di sebelah Utara Karo dan Teba di sebelah Selatannya. Lebih dari itu, Jawi dan Teba adalah sebuah kontras lain.
Kontras itu sehubungan dengan letak sosio-gegorafis Melayu berada di posisi terbuka dengan dunia luar, sebaliknya Teba berada di, menurut Karo pada masa itu, ketertutupan dan keterasingan.
Semua kelompok masyarakat yang dipandang kolot disebut Teba dan yang kasarnya adalah Teba-teba.
Hingga sebelum tahun 1980an, orang-orang Karo jarang sekali menyebut [kalak] Batak maupun [kalak] Toba kecuali [kalak] Teba.
Generasi muda sekarang ini sering menyamakan Teba dengan Toba sebagai nama sebuah kelompok masyarakat maupun sebagai nama sebuah danau. Tapi, bila kita berpikir mengapa orang-orang Karo menyebut Paribun Teba untuk kampung Karo yang ada di Kabupaten Simalungun?
Alasan pertama adalah 👉untuk membedakannya dengan Paribun yang ada di Kecamatan Barusjahe (Kabupaten Karo). Tapi, mengapa tidak dibilang saja Paribun Simalungun? Kok Teba?
Padahal jaraknya jauh sekali ke Danau Toba dan jelas-jelas tidak berdekatan dengan satupun kampung orang [Batak] Toba. Malahan di sekitarnya adalah kampung-kampung Karo. Kalau kita melintasi jalan Kabanjahe--Siantar, Danau Toba harus masuk belok kanan dan masih jauh lagi sedangkan Paribun Teba masuk belok kiri dan masih jauh lagi ke dalam.
Bisa kita pahami bahwa Paribun Teba artinya adalah Paribun Pelosok. Dulu memang itu daerah sangat terpelosok. Dari Seribudolok masuk Paribun Teba dan kampung-kampung Karo lainnya di Silima Kuta seperti halnya Cingkes adalah dengan menunggang kuda boban karena belum ada jalan batu (hingga tahun 1970an).
Makanya hati-hati menafsir Uis Teba adalah kain tenun Toba. Menurut analisis saya, istilah-istilah Uis Julu dan Uis Teba adalah terkait fase waktu. Dalam pemakaiannya untuk orang hidup, Uis Julu adalah abit (membalut badan) sementara Uis Teba adalah Tudung [tua-tua].
Dalam pedalen utang adat cawir metua, bila pria yang meninggal maka hanya Uis Julu (maneh-maneh) diberikan kepada Mamana (turang nandena) alias Kalimbubu Simada Dareh. Lain halnya kalau perempuan yang meninggal, Uis Julu (maneh-maneh) diberikan kepada Turangna dan Uis Teba (morah-morah) diberikan kepada Turang Nandena atau keturunan patrilinealnya yang menjadi Puang Kalimbubunya.
Ringkasnya, Uis Julu adalah sesuatu yang duluan daripada orang yang bersangkutan atau disebut saja Pendahulu (presedent) sementara Uis Teba diberikan kepada orang yang lebih mendahului lagi.
Itulah sistim kekerabatan Austronesia yang menurut antropolog Jame J. Fox dari Australia adalah the theory of presedence. Bila Levi-Strauss melihat hanya sebagai asymmetric marriage-alliance dimana Kalimbubu (Wife Giver) lebih superior daripada Anak Beru (Wife Taker) dan Wife Giver of Wife Giver lebih superior dari Wife Giver, James Fox melihatnya sebagai warisan Budaya Austronesia, bahwa sesuatu yang mendahulu superior terhadap pendatang belakangan.
Di situlah kelebihan Umang yang sebenarnya mendahului semua manusia-manusia Karo mendiami Taneh Karo, tapi perkawinannya dengan Putri Sibayak Ajinembah (sehingga menjadi Wife Taker) membuatnya sebagai "superior yang inferior" atau "inferior yang superior". Itulah Anak Beru Tua[h].
Tak heran kalau kita para manusia Karo menyebutnya punya telapak kaki terbalik. Ketika dia berjalan ke [masa] depan, itu artinya dia berjalan ke [masa] lalu. Ketika dia mundur itu artinya dia maju. Maka orang-orang Karo pun selalu bingung "jenda nari ku lebe" atau "jenda nari ku pudi".
Ngeri kebudayaan Karo e, ningku kang, lang nindu lalap. Batak ndai nge maka malemna nindu rusur.