Ketegangan Dua Tokoh Karo: Djamin Ginting dan Selamat Ginting dalam Lintasan Sejarah Perang Kemerdekaan

Pada masa revolusi kemerdekaan, hubungan antara dua tokoh pejuang asal Tanah Karo, Letjen (Purn.) Djamin Ginting dan Mayor Selamat Ginting, sempat diwarnai ketegangan. Hal ini terungkap dari kesaksian Mayor (Purn.) Sumbat Sembiring, salah satu veteran perang yang pernah berada di bawah komando keduanya.
Sumbat, yang bergabung dengan Laskar Napindo di usia 15 tahun, menceritakan bagaimana ia bertugas dalam kompi perusak. “Kami bertugas membawa granat dan bom. Saat tank Belanda lewat, kami letakkan ranjau di jalan. Begitu diinjak, meledaklah,” kenangnya dalam wawancara tahun 2015, ketika menjabat sebagai Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Medan.
Dari Laskar Napindo ke Resimen Djamin Ginting
Usai tahun 1947, Sumbat pindah ke Resimen I Divisi X yang dipimpin oleh Letkol Djamin Ginting. Kemahirannya berbahasa Indonesia membuatnya dipercaya membantu di markas resimen. Namun, ia juga menyaksikan ketegangan antara Djamin dan Selamat Ginting yang sama-sama dikenal sebagai komandan kuat di Sumatra Utara.
“Aku pindah karena mereka berdua sempat berselisih,” ujar Sumbat. “Selamat Ginting kurang menyukai kepemimpinan Djamin Ginting, sebab Djamin berasal dari Gyugun, bukan dari partai politik.”
Integrasi Pasukan Rakyat ke TNI
Menurut catatan Djamin Ginting dalam bukunya Bukit Kadir, pada 31 Januari 1948 Gubernur Militer Tengku Daued Beureuh meresmikan susunan TNI hasil integrasi antara kelompok laskar dan tentara reguler. Dalam struktur tersebut, Djamin Ginting menjadi komandan, sementara Selamat Ginting ditunjuk sebagai wakil. Namun, dalam praktiknya, susunan ini tidak berjalan lancar. Napindo tetap beroperasi secara independen di wilayah Tigalingga, sedangkan pasukan lainnya menyebar ke Tapanuli.
Selamat Ginting dan Napindo Halilintar
Nama Selamat Ginting menonjol karena memimpin Laskar Napindo Halilintar, salah satu pasukan rakyat terkuat di Sumatra Utara. Ia juga tercatat sebagai Ketua Barisan Pemuda Indonesia (BPI) Tanah Karo. Djamin Ginting sendiri sempat menjadi bagian dari BPI sebelum akhirnya bergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Sejarawan Harry Poeze dan Henk Schulte Nordholt menulis bahwa Selamat Ginting menjadi pemimpin laskar paling kuat setelah berhasil merebut truk berisi senjata dari tentara Jepang. Kekuatan Napindo kemudian berkembang pesat, namun pada tahun 1947, terjadi perpecahan internal yang membuatnya terbagi menjadi delapan kesatuan berbeda.
Gesekan di Lapangan: Ancaman Perang Saudara
Setelah Perjanjian Renville (1948), Napindo Resimen Halilintar berubah menjadi Brigade Mobil TNI di bawah komando Selamat Ginting. Namun, di masa ini pula terjadi insiden serius antara pasukannya dan pasukan Djamin Ginting.
Dalam biografi Kilap Sumagan karya Tridah Bangun dan Hendri Chairudin, diceritakan bahwa pasukan Djamin Ginting sempat melucuti sekitar 200 prajurit Napindo di wilayah Rantebesi, Tigalingga. Insiden ini hampir memicu perang saudara antara dua kelompok bersenjata Karo tersebut.
Selamat Ginting mengirim ultimatum agar seluruh pasukannya dan senjatanya dikembalikan. Jika tidak, perang saudara tak terhindarkan. Beruntung, tuntutan itu akhirnya dipenuhi, dan konflik terbuka berhasil dihindari, meski menyisakan ketegangan dan kekecewaan di pihak Napindo.
Jalan Hidup yang Berbeda
Selepas perang, jalan hidup keduanya berbeda. Letjen Djamin Ginting tetap mengabdi di dunia militer hingga menjabat sebagai Panglima Kodam Bukit Barisan (1956–1961) dan wafat pada 1974. Ia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2014.
Sementara Selamat Ginting keluar dari militer pada 1950 dan terjun ke dunia politik bersama Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Daerah PNI dan anggota DPR hingga 1966. Ia wafat pada 22 April 1994, dan dikenang sebagai tokoh Karo yang dekat dengan Presiden Sukarno.
“Selamat Ginting itu sangat dekat dengan Bung Karno,” ujar Sumbat Sembiring mengenang, sambil menyilangkan jari tangannya menggambarkan keakraban keduanya.
Kisah Djamin Ginting dan Selamat Ginting mencerminkan dinamika perjuangan di masa revolusi kemerdekaan. Dua tokoh ini sama-sama berjuang untuk republik, namun berbeda pandangan dan latar belakang. Ketegangan yang pernah terjadi di antara mereka menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan rakyat Karo dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.