Si Radjanta Menggugat Raja Kelelong: Perebutan Kepemimpinan di Kesibayaken Lingga

Intrik Politik Belanda di Tanah Karo: Akar Konflik Si Radjanta dan Raja Kelelong
Konflik antara Si Radjanta dan Raja Kelelong di Kesibayakan Lingga bukan sekadar perebutan tahta. Di balik peristiwa itu, tersimpan jejak politik pecah-belah (divide et impera) yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda di Tanah Karo. Melalui strategi adu domba antarpemimpin lokal, Belanda secara perlahan memperkuat kendalinya atas wilayah-wilayah strategis di dataran tinggi Sumatera Utara.
Politik Adu Domba Belanda di Tanah Karo
Penetrasi Belanda ke Tanah Karo dimulai setelah Perang Lingga Julu dan Perang Sunggal, dua peristiwa besar yang melemahkan perlawanan rakyat Karo. Setelah menewaskan lebih dari dua puluh dua orang di Lingga Julu, Belanda memanfaatkan kekosongan kekuasaan dengan menerapkan politik tingkat tinggi yang memecah kesatuan masyarakat adat.
Tokoh seperti Pa Kerung (Laksa Sinulingga) dan Pa Mbelgah Purba dari Rumah Kabanjahe diadu dengan kerabat sendiri, Pa Pelita Purba dan Kiras Bangun.
Sementara itu, Datuk Djalil Surbakti, tokoh berpengaruh dalam Perang Sunggal, dilemahkan secara politik melalui aturan “kerajaan berlumba”—yaitu sistem yang memungkinkan Belanda memilih siapa yang akan diangkat menjadi Sibayak (raja lokal).
Dalam sistem itu, Pa Terang, saudara termuda dari Pa Kerung, ditunjuk menjadi Sibayak Lingga dengan besluit (surat keputusan resmi) dari pemerintah Belanda. Setelahnya, Pa Sendi, saudara Pa Terang, juga diangkat menjadi Sibayak. Langkah ini menandai awal campur tangan kolonial dalam struktur kekuasaan tradisional Karo.
Ketegangan Sosial dan Perlawanan Rakyat
Masyarakat Lingga saat itu menolak membayar pajak (belasting) kepada Belanda sebagai bentuk perlawanan halus terhadap kekuasaan kolonial. Meski demikian, Belanda tetap mendirikan kantor Sibayak Lingga di Kabanjahe, menjadikan wilayah itu pusat administrasi kolonial sekaligus simbol pengawasan politik terhadap kerajaan-kerajaan Karo.
Sementara itu, istana kerajaan tetap berada di Rumah Gerga, menunjukkan dualitas antara kekuasaan adat dan kekuasaan kolonial. Banyak catatan menyebut masa itu sebagai periode penuh intrik, bahkan mistik, karena muncul keyakinan bahwa para pemimpin lama seperti Pa Kerung (Sibayak Simedem) “tidak mati”, melainkan “sedang tidur”, simbol penolakan rakyat terhadap legitimasi penguasa baru yang diangkat Belanda.
Dari Pa Sendi ke Raja Kelelong: Lahirnya Gugatan Si Radjanta
Pada tahun 1934, Pa Sendi meninggal dunia dan tahta Sibayak Lingga diteruskan kepada anaknya, Raja Kelelong. Namun keputusan ini segera digugat oleh Si Radjanta, putra almarhum Pa Terang, yang merasa berhak karena merupakan keturunan tertua dari Sibayak Lingga.
Si Radjanta menilai pengangkatan Raja Kelelong tidak sah dan merupakan hasil dari manipulasi politik kolonial Belanda, yang sejak lama memihak kepada garis keturunan Pa Sendi. Ia pun mengajukan permohonan resmi kepada Gubernur Pantai Timur Sumatera agar keputusan itu ditinjau kembali.
Sementara itu, pemerintah kolonial menegaskan bahwa keputusan tahun 1926 yang mengatur pewarisan kepemimpinan di Barus Jahe, Lingga, dan Sarinembah tetap berlaku: jabatan Sibayak hanya bisa dialihkan jika tidak ada keturunan langsung dari pemimpin sebelumnya. Keputusan itu menjadi dasar hukum bagi Belanda untuk melegitimasi Raja Kelelong.
Dampak Sosial dan Warisan Trauma
Konflik internal Kesibayakan Lingga ini memperlihatkan betapa efektifnya politik adu domba Belanda dalam memecah belah masyarakat Karo. Perebutan kekuasaan antar keluarga bangsawan menjadi alat kontrol politik yang membuat rakyat kehilangan kepercayaan pada adat, dan para keturunan Sibayak pun terpecah-belah.
Pasca masa kolonial, seluruh keturunan Sibayak Lingga bahkan sempat dicap sebagai feodal dan menjadi korban revolusi sosial, meninggalkan trauma yang mendalam bagi banyak keluarga di Tanah Karo.
Seruan untuk Rekonsiliasi
Kini, para keturunan Sibayak Lingga diharapkan dapat melihat sejarah ini dengan jernih. Seperti dikatakan oleh salah satu narasumber sejarah, mengungkap peristiwa pahit ini bukan untuk membuka luka lama, tetapi sebagai langkah menuju rekonsiliasi dan pemulihan jati diri masyarakat Karo.
Memahami sejarah ini berarti memahami bagaimana kolonialisme memengaruhi tatanan sosial, politik, dan spiritual masyarakat Karo, serta pentingnya persatuan di tengah perbedaan garis keturunan.
Kisah Si Radjanta menggugat Raja Kelelong bukan hanya tentang perebutan tahta Sibayak Lingga, tetapi juga tentang bagaimana Belanda mengatur strategi pecah-belah untuk menguasai Tanah Karo. Intrik, manipulasi, dan politik kolonial membuat rakyat kehilangan arah dan menjauh dari nilai adat yang sebenarnya.
Kini saatnya generasi penerus Karo menelusuri kembali sejarah ini, bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk memahami akar perpecahan dan membangun rekonsiliasi demi menjaga warisan budaya dan kehormatan leluhur.