Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suku Karo suka memakan Ulat, ini Faktanya !

kidu karo

Berdasarkan catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Suku Karo merupakan salah satu suku pemakan serangga dengan spesias terbanyak di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, disebutkan ada sekitar 100 jenis serangga yang teridentifikasi dikonsumsi oleh masyarakat Karo.

Selain gemar memakan beragam jenis serangga, Suku Karo juga tercatat suka memakan ulat. Berbagai macam olahan masakan khas Karo terbuat dari bahan dasar ulat.

Berdasarkan informasi yang berhasil ditelusuri, paling tidak ada 3 jenis ulat yang kerap dijadikan masyarakat Karo sebagai bahan dasar masakan, apa sajakah itu?

1. Kidu
Meski akhir-akhir ini keberadaan kidu semakin langka, namun ulat yang satu ini sudah familiar diketahui umum sebagai makanan khas bagi masyarakat Karo. Kidu merupakan ulat yang terdapat di pohon rumbia, aren, atau kadang-kadang terdapat pula di pohon kelapa.

Dari segi bentuknya, kidu ini tampak gemuk dan putih. Kidu yang sudah dewasa umumnya berukuran sekitar empat sentimeter, dengan diameter sekitar satu sentimeter. Dengan kondisi yang demikian, dapat dipastikan orang yang tidak familiar pasti akan merasa geli ketika mencoba menyantap hewan ini.

Ketika hendak memasak kidu, maka dibersihkan terlebih dahulu, kemudian digoreng agar bagian luarnya terasa renyah, dan pastikan jangan sampai pecah agar cairan di dalamnya masih utuh. Kidu goreng kemudian dimasak sebentar dalam kuah yang telah dibubuhi bumbu dapur seperti kunyit, bawah merah, bawah putih, andaliman, kecombrang, dan sebagainya.

Bagi yang suka, rasanya sangat enak dan lezat. Bagian luarnya akan terasa renyah. Ketika bagian dalam pecah, maka akan berasa mirip sumsum. Sementara bagian mata ulat justru akan menimbulkan sensasi tersendiri jika dimamakan. Carian kental dan gurih lembut akan terasa nikmat saat menyantap kidu ini.

2. Mbatar
Mbatar merupakan ulat bambu sejenis larva ngengat yang hidup di dalam ruas-ruas bambu. Secara umum, jenis ulat ini dikenal sebagai makanan burung peliharaan. Berbeda halnya di masyarakat Karo mbatar atau ulat bambu juga kerap dijadikan sebagai santapan meski tidak sefamiliar kidu.

Cara memasak mbatar sama halnya dengan memasak kidu, yakni digoreng dengan bumbu sederhana, seperti cabai, asam patikala, garam dapur, dan berbagai jenis rempah-rempah lainnya. Mbatar digoreng hingga matang dan renyah, dengan demikian ketika disantap akan terasa ‘kriyuk-kriyuk’ lezat.

Namun bagi orang yang tidak tahan, kadang-kadang memakan mbatar dapat menyebabkan rasa gatal-gatal di bagian tubuh. Sementara bagi yang tahan dan suka, maka memakan mbatar akan terasa enak dan lezat sekali.

3. Ridap
Dalam bahasa Indonesia hewan yang satu ini disebut uret, bahasa latinnya Lepidiota stigma. Namun ridap bukanlah sembarang urep. Bila kebanyakan urep hidup di sekitar sisa-sisa sampah, justru ridap hanya dapat ditemukan pada akar padi ladang kering.

Ridap juga berukuran jauh dari urep yang ditemukan di bekas sisa-sisa sampah atau di dalam batang pohon yang telah membusuk. Ukurannya hanya sepanjang setengah centimeter, dengan diameter 0,1 sentimeter.

Hewan ini memang sudah semakin jarang dikonsumsi, sehingga popularitasnya jauh sekali bila dibandingkan dengan kidu atau pun mbatar. Meski demikian, untuk kalangan tertentu di daerah-daerah yang masih menanam padi lahan kering, ridap masih kerap dikonsumsi.
 
Cara memasak ridap dilakukan dengan cara digoreng. Sebelum digoreng ridap terlebih dahulu dibersihkan. Ketika saat digoreng, dirap juga dibumbui dengan berbagai bumbu dapur, seperti garam, cabai, dan asam patikala.

Bagi orang yang suka mengkonsumsi ridap, mereka mengatakan rasanya sangat lezat. Tapi bagi yang tidak suka, tentu mengkonsumsi hewan ini akan menjadi sesuatu yang terasa menggelikan.

Dari makanan khas masyarakat Karo yang berbahan dasar ulat diatas, sudah pernahkah Anda mengkonsumsi salah satunya? Atau justru malah belum pernah mencoba salah satu diantaranya? Jangan lupa samapaikan tanggapan Anda melalui kolom komentar.