Henry Guntur Tarigan: Mengarang Puluhan Judul Buku Dengan Tulisan Tangan

Henry Guntur Tarigan lahir di Linggajulu, Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara, pada 23 September 1933. Ia berasal dari keluarga sederhana dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, sejak kecil ia sudah menyadari tanggung jawab besar untuk mengangkat derajat sosial keluarganya.
Pesan orang tuanya selalu terpatri dalam benaknya:
“Anak orang miskin tidak harus jadi orang bodoh.”
Kalimat itu menjadi pegangan hidup yang menuntunnya sepanjang perjalanan.
Merantau dengan Tekad Kuat
Tahun 1954, Henry memutuskan untuk merantau ke Bandung. Dengan bekal pesan dari orangtuanya — “Jangan pulang sebelum jadi orang” — ia menempuh perjalanan panjang untuk menimba ilmu.
Kerja keras dan tekad kuatnya membuahkan hasil. Tahun 1962, ia berhasil meraih gelar sarjana Bahasa Indonesia dari FKIP Universitas Padjadjaran (Unpad). Semangat belajarnya tak berhenti di situ. Ia melanjutkan studi ke Universitas Leiden (1971–1973), dan akhirnya meraih gelar doktor dalam bidang linguistik dari Universitas Indonesia (1975) dengan disertasi berjudul “Morfologi Bahasa Simalungun”.
Menjadi Guru Besar dan Sosok Inspiratif
Sepanjang kariernya, Henry Guntur Tarigan tercatat sebagai pengajar tetap di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni serta Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Pada 20 Juli 1985, ia resmi dikukuhkan sebagai guru besar.
Ada kisah yang sangat menyentuh saat pengukuhan tersebut. Ibunya datang khusus dari kampung dan bertanya dengan polos,
“Kamu sudah jadi profesor. Apakah kamu tidak malu punya ibu yang tidak bisa membaca?”
Henry menjawab dengan penuh hormat:
“Apa ada bupati di kampung kita yang bergelar profesor? Tidak ada. Di mata saya, Ibu lebih tinggi dari profesor. Saat saya dilantik, Ibulah yang sebenarnya dilantik menjadi profesor.”
Sebuah jawaban yang menunjukkan kerendahan hati dan penghormatan mendalam pada sosok ibu.
Karya dan Falsafah Hidup
Prof. Henry dikenal sebagai penulis produktif dengan lebih dari 50 judul buku. Menariknya, ia selalu menulis dengan tangan, bukan mesin ketik atau komputer. Tulisan tangannya sangat rapi dan mudah dibaca, sehingga penerbit tidak pernah menolak naskahnya.
Baginya, menulis adalah bentuk pengabdian kepada bangsa. Ia pernah berkata bahwa:
“Ciri kesarjanaan adalah karya tertulis. Sarjana mati harus meninggalkan karya.”
Henry percaya, menulis bukan untuk mencari uang, melainkan untuk memberi manfaat.
“Kalau menulis demi uang, lebih baik jadi kontraktor atau pedagang. Kalau cari uang lewat menulis, bisa frustasi,” ujarnya.
Falsafah hidupnya sederhana namun bermakna:
“Otak adalah tempat proses berpikir, bacaan adalah input, dan tulisan adalah outputnya.”
Warisan untuk Dunia Pendidikan
Melalui dedikasi dan karya-karyanya, Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan telah meninggalkan jejak yang dalam di dunia pendidikan Indonesia, terutama dalam bidang linguistik dan pembelajaran bahasa Indonesia. Ia membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih mimpi dan berkontribusi bagi bangsa.
Kisah hidup Henry Guntur Tarigan mengajarkan kita bahwa pendidikan dan ketekunan dapat mengubah nasib seseorang. Ia bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga teladan tentang bagaimana ilmu, kerja keras, dan kasih kepada orang tua dapat membawa seseorang menuju puncak kesuksesan.
Dari Linggajulu ke ruang akademik bergengsi,
Henry Guntur Tarigan telah menunjukkan arti sejati dari perjuangan dan pengabdian.