Diplomasi di Ambang Batas: Indonesia dan Korea Utara Menapaki Jalan Sunyi Menuju Persahabatan Baru

Apakah ini kebetulan sejarah atau strategi yang telah lama dirancang? Bulan Oktober 2025 menghadirkan momen simbolik yang menarik perhatian dunia diplomasi. Di saat Pyongyang merayakan ulang tahun ke-80 Partai Pekerja Korea, Jakarta juga memperingati 80 tahun berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di tengah peristiwa bersejarah itu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, melakukan kunjungan langka ke Korea Utara — yang menjadi lawatan pertama oleh pejabat tinggi Indonesia dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Secara resmi, kedua negara hanya menyinggung soal “persahabatan”. Namun, waktu kunjungan yang begitu strategis serta geliat modernisasi pertahanan Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo Subianto menimbulkan spekulasi baru: apakah hubungan Jakarta–Pyongyang mulai bergerak menuju bentuk kerja sama yang lebih dalam, bahkan di ranah keamanan?
Jejak Panjang Persahabatan Jakarta–Pyongyang
Hubungan antara Indonesia dan Korea Utara sebenarnya telah mengakar sejak era Perang Dingin. Kedua negara menjalin hubungan diplomatik pada tahun 1964 sebagai bagian dari politik luar negeri bebas aktif Indonesia di bawah Presiden Sukarno. Kala itu, Sukarno bahkan menerima langsung kunjungan Kim Il-sung — pendiri Korea Utara.
Meski sempat renggang pada akhir 1960-an ketika pemerintahan beralih ke era Soeharto yang lebih pro-Barat, hubungan diplomatik tetap terjaga. Megawati Soekarnoputri, putri Sukarno yang kemudian menjabat sebagai Presiden RI, melanjutkan hubungan personal dengan keluarga Kim melalui pertemuan bersejarah dengan Kim Jong-il pada tahun 2002 — mempertegas hubungan simbolik yang diwariskan antargenerasi.
Selama puluhan tahun, interaksi kedua negara tetap bersifat hangat namun terbatas. Pyongyang tetap mempertahankan kedutaannya di Jakarta, sementara Indonesia kembali membuka kedutaannya di Pyongyang pada Juli 2025 setelah sempat ditutup akibat pandemi COVID-19. Bahkan sebelumnya, Menteri Pertahanan Prabowo sempat bertemu Kim Jong-un di Beijing pada acara parade Hari Kemenangan.
Namun secara ekonomi, hubungan kedua negara masih tergolong kecil. Data perdagangan menunjukkan nilai ekspor-impor antara keduanya turun dari USD 2,3 juta pada delapan bulan pertama 2024 menjadi USD 2,1 juta pada periode yang sama tahun berikutnya.
Kunjungan yang Sarat Makna Diplomatik
Dalam kunjungan Oktober itu, kedua menteri luar negeri menandatangani nota kesepahaman untuk membentuk mekanisme konsultasi bilateral baru. Kerja sama tersebut meliputi bidang politik, sosial-budaya, teknis, hingga olahraga — tanpa menyebut aspek militer secara eksplisit. Namun, para pengamat menilai, kanal diplomasi sekecil apa pun tetap membawa implikasi strategis tersendiri.
Langkah ini sejalan dengan doktrin politik luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif”: menjalin hubungan seimbang dengan semua kekuatan dunia tanpa harus berpihak pada blok tertentu.
Menariknya, kebangkitan hubungan ini berlangsung di tengah ambisi besar Indonesia untuk memperkuat pertahanannya. Dalam parade HUT TNI ke-80, Indonesia memperlihatkan berbagai inovasi baru, termasuk kapal selam otonom tanpa awak KSOT-008 buatan dalam negeri — simbol komitmen Jakarta menuju modernisasi militer.
Selain memperkuat industri pertahanan nasional, Indonesia kini memperluas mitra kerjasamanya ke berbagai negara seperti Turki, Prancis, Rusia, India, Inggris, Italia, Tiongkok, hingga Korea Selatan. Dalam konteks itu, membangun komunikasi teknis dengan Korea Utara — meskipun terbatas — bisa saja menjadi bagian dari strategi diversifikasi mitra pertahanan.
Dilema Diplomatik: Antara Strategi dan Risiko
Keterlibatan kembali dengan Pyongyang tentu tidak bebas risiko. Sebagai anggota PBB, Indonesia terikat dengan resolusi Dewan Keamanan yang melarang segala bentuk kerja sama militer dengan Korea Utara. Selain itu, opini publik dalam negeri yang sensitif terhadap isu hak asasi manusia dan proliferasi senjata juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.
Negara-negara ASEAN pun bisa memandang langkah Indonesia ini dengan hati-hati. Prinsip konsensus dan kehati-hatian dalam ASEAN berpotensi menciptakan tekanan diplomatik apabila hubungan Jakarta–Pyongyang dianggap terlalu dekat.
Meski demikian, hubungan ini sebenarnya tidak bertentangan dengan pola politik luar negeri Indonesia yang konsisten menjaga otonomi strategis. Presiden Prabowo telah menunjukkan keberanian untuk berdialog dengan semua pihak, tanpa harus tunduk pada tekanan dari blok tertentu. Pendekatan semacam ini tidak hanya menjaga keseimbangan diplomatik, tetapi juga menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang independen di kawasan Asia Tenggara.
ASEAN dan Bayangan Harapan Baru di Semenanjung Korea
Kawasan Asia Tenggara, pada dasarnya, menyambut positif setiap upaya yang mendorong keterlibatan Korea Utara ke jalur diplomasi. Dalam KTT ASEAN 2024, negara-negara anggota menegaskan keprihatinan atas uji coba rudal Pyongyang, tetapi tetap mendorong penyelesaian damai dan dialog multilateral.
Langkah Indonesia yang membuka ruang komunikasi formal dengan Korea Utara dianggap dapat menjadi jembatan baru bagi ASEAN. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan sering dipandang sebagai pemimpin de facto kawasan, Indonesia memiliki posisi strategis untuk menyalurkan kembali Korea Utara ke dalam forum-forum regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF).
Pyongyang sendiri tampaknya menyadari pentingnya hal ini. Upaya mereka menjalin kembali kontak dengan Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir menandakan keinginan untuk keluar dari isolasi internasional. Jika dikelola dengan hati-hati, diplomasi Indonesia bisa menjadi jalan damai baru yang memperkuat stabilitas kawasan.
Tiga Arah Kemungkinan: Antara Simbolisme dan Strategi
Melihat perkembangan ini, para analis menilai masa depan hubungan Jakarta–Pyongyang dapat dibagi dalam tiga kemungkinan besar:
-
Kemungkinan kecil tapi berisiko tinggi, yaitu Indonesia terlibat dalam kerja sama militer atau transfer teknologi dengan Korea Utara. Hal ini jelas melanggar sanksi PBB dan akan memicu reaksi keras dari komunitas internasional.
-
Kemungkinan menengah, berupa kerja sama “abu-abu” di bidang non-tradisional seperti keamanan siber, pelatihan teknis, atau kesadaran maritim. Skema ini lebih realistis, mirip dengan pola hubungan Vietnam–Korea Utara yang terbatas namun berkelanjutan.
-
Kemungkinan paling aman, yaitu hubungan tetap bersifat simbolis. Indonesia menjaga persahabatan diplomatik tanpa terlibat dalam proyek strategis apa pun — cukup untuk menegaskan kemandirian tanpa menimbulkan gesekan global.
Kalkulasi Jakarta Menuju Keseimbangan Baru
Jika tujuan utama Indonesia adalah menjaga kemandirian strategis dan stabilitas kawasan, maka langkah terbaik adalah tetap transparan. Pemerintah dapat menjelaskan batasan hubungan dengan Korea Utara secara terbuka, memastikan semua bentuk kerja sama hanya menyentuh bidang sipil dan non-dual-use, serta tetap melapor ke komite sanksi PBB.
Di sisi lain, mitra Barat dan negara tetangga perlu memahami konteks diplomasi Indonesia. Tekanan yang terlalu keras justru dapat mendorong Jakarta mengambil jalur alternatif yang lebih tertutup. Pendekatan yang proporsional dan pragmatis akan membantu menjaga keseimbangan kawasan tanpa memicu ketegangan baru.
Pada akhirnya, Indonesia dan Korea Utara kini sedang membangun jembatan diplomasi yang tenang namun bermakna. Entah hubungan ini kelak berkembang menjadi kemitraan strategis atau sekadar simbol politik, semuanya akan bergantung pada bagaimana Jakarta mengatur langkahnya.
Sejarah menunjukkan, kebijakan luar negeri Indonesia selalu mampu menghadirkan kejutan. Di bawah kepemimpinan Prabowo yang tegas dan aktif, Indonesia tampaknya siap memainkan peran lebih besar dalam membentuk lanskap keamanan Asia yang baru — menjembatani batas antara idealisme diplomasi dan realitas geopolitik dunia.