Kisah Edy Suranta Ginting - Tak Dihargai Karena Lukisan Sampah Plastik, Kini Karyanya Diburu Dunia

Tak banyak seniman Indonesia yang memilih hidup berpindah-pindah hanya untuk berbagi ilmu. Namun itulah jalan yang ditempuh Edy Suranta Ginting, pelukis surealisme asal Karo yang mengubah limbah plastik menjadi lukisan artistik bernilai tinggi. Karyanya bukan sekadar seni visual, tapi juga bentuk kampanye lingkungan dan kepedulian sosial.

Ketika dihubungi Kompas.com, Edy sedang berada di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di sana ia tengah merampungkan lukisan pesanan korporasi sekaligus karya idealis untuk sebuah galeri di Yogyakarta yang mengontraknya selama dua tahun. Edy menjelaskan, ia hanya memproduksi dua jenis karya: lukisan pesanan dan lukisan idealis. Namun karya terbaiknya justru jarang dinikmati publik Indonesia.

Menurutnya, pasar seni dalam negeri belum banyak yang memahami aliran dan pesan yang ia bawa. Ratusan lukisannya justru terjual ke luar negeri, terutama Jerman—negara yang juga menjadi sponsor utamanya. Karya tersebut bisa dihargai Rp 20 juta hingga Rp 35 juta, namun tak satu pun dipublikasikan karena terikat kontrak dengan galeri.

"Di Indonesia, lukisan idealis saya sama sekali belum pernah laku sampai sekarang. Orang Indonesia tidak pernah memesan lukisan yang benar-benar dari saya."

Edy mengaku lebih leluasa berkarya untuk pasar luar. Pembeli dari negara lain hanya bertanya alirannya, kemudian memberi kebebasan penuh untuk berkreasi. Sebaliknya, pesanan dari dalam negeri sering datang dengan permintaan yang tak masuk akal.

"Kalau diberi kebebasan, pasti 400 kali lebih bagus daripada didiktekan," ujarnya.

Hasil Penjualan untuk Sosial dan Pendidikan Anak Pedalaman

Seniman ini lahir di Ajijahe, Kecamatan Tigapanah, Karo. Namun setelah tahun 2000 ia meninggalkan kampung dan menjalani hidup nomaden. Tiga tahun terakhir ia aktif di Desa Taat, Buol (Sulawesi Tengah), kemudian Palangkaraya, hingga kini di Jakarta.

Perjalanannya bukan tanpa tujuan. Uang dari lukisan pesanan digunakan untuk membeli buku, tas sekolah, sepatu, dan perlengkapan belajar untuk anak-anak di pelosok. Di Karo pun ia menyisihkan pendapatan untuk korban erupsi Gunung Sinabung dan mendukung “jungle class” di Singalor Lau.

“Kalau dibilang ingin nggak punya mobil mewah? Ingin… Tapi kenyataannya, ketika pergi ke suatu daerah, ada orang yang beli pensil saja tidak bisa.”

Pengalamannya sekolah di pedalaman membuatnya paham betapa mahalnya akses pendidikan. Ia menempuh jalan kaki puluhan kilometer setiap hari, dan sistem pendidikan yang memaksa anak menelan semua pelajaran sekaligus membuatnya semakin yakin bahwa talenta seharusnya diberi ruang fokus.

Melukis dari Limbah: Dari Rumah Sampah Hingga Viral di TikTok

Sejak awal 2000-an, Edy aktif dalam gerakan penyelamatan lingkungan. Ia membangun rumah dari sampah non-medis di berbagai daerah dan menjadikan limbah plastik sebagai medium melukis. Kresek menjadi pilihan utamanya karena transparansi warna yang mudah digradasi.

Prosesnya panjang: ia sendiri mengumpulkan sampah dari parit, sungai, hingga tempat pembuangan, lalu mencuci, mensterilkan, dan mengeringkannya. Setiap potongan plastik disusun satu per satu di atas kanvas yang sudah ia sketsa.

Popularitasnya meningkat setelah mengikuti kompetisi lingkungan di TikTok pada 2020. Beberapa videonya viral hingga jutaan penonton, dan dari sanalah undangan televisi dan pesanan lukisan berdatangan.

Pernah, dua penggemar BTS memesan lukisan Suga dan Jin menggunakan sampah plastik. Videonya mencapai jutaan penonton, tetapi di sisi lain ia terkena hujatan dari netizen yang menuduhnya menghina idola. Edy pun membuat klarifikasi dan videonya justru ditonton 10 juta kali dalam sehari.

“Pertama karena aku suka. Kedua, ini tugas ku. Tapi kalau di Indonesia, lebih keren yang membuang sampah sembarang ketimbang yang mengumpulkan sampah.”

Rindu untuk Berkarya di Karo, Tapi Tak Pernah Ada Ruang

Saat ditanya mengapa tidak kembali berkarya di tanah kelahiran, Edy hanya tertawa pahit. Ia pernah mencoba, bahkan menghubungi kepala desanya untuk menawarkan kontribusi. Pesannya hanya dibaca tanpa balasan.

Ia pernah menangani SAR Karo Highland, namun tetap merasa “tidak laku” di tempatnya sendiri. Bahkan ketika mengajak komunitas Karo berkolaborasi setelah bertemu Menteri Pariwisata Sandiaga Uno, tak satu pun merespons.

“Entah kapanlah bisa membuat sesuatu di kampung sendiri.”

Edy menyebut permasalahan lain: wisata Karo penuh sampah, kreativitas tanpa dukungan mustahil berjalan, dan bencana lingkungan semakin nyata.

“Bencana ini tidak semakin kecil. Jangan sampai alam yang menegur, baru kita sadar.”

Kisah Hidup yang Penuh Risiko

Dalam perjuangannya, Edy pernah dicap teroris, ISIS, dan dibawa ke kantor polisi hingga 11 kali. Ketika mengkampanyekan larangan cantrang dan kerusakan terumbu karang di Sulawesi, ia bahkan hampir dibunuh setelah diincar oleh pihak yang merasa terganggu aktivitasnya.

Ia hanya selamat karena berhasil mengirim sinyal darurat dan diselamatkan kapal patroli TNI AL.

“Membuat perbaikan di Indonesia tidak mudah,” tuturnya.

Masih Menunggu Kepulangan

Saat ditanya kapan pulang ke Karo, Edy diam lama. Ia sempat ingin menetap di Medan, namun tak lagi memiliki tanah di kampung. Kini rumahnya justru di Stabat, Langkat—tempat ia membangun kolam ikan dan beternak.

“Sudah 20 tahun aku di luar, masih bertanya apa kontribusi ku untuk kampung sendiri.”

Baginya, perjalanan belum selesai. Selama masih ada daerah yang membutuhkan edukasi, ia akan terus melangkah—meski harus berjalan sendirian, membawa kuas, sampah plastik, dan hati yang tidak pernah berhenti percaya bahwa seni bisa mengubah kehidupan.