Kulcapi Empat Senar, Perjuangan Jacky Raju Sembiring Menghidupkan Musik Karo di Panggung Indonesia

Di sebuah sudut Berastagi, sebuah warung kopi kecil bernama Tiga Perwira menjadi saksi bisu perjalanan seorang pemuda Karo yang memilih jalan berbeda. Malam itu, denting-denting halus kulcapi terdengar, tetapi kali ini ada yang berbeda. Bukan dua senar seperti biasanya, melainkan empat. Di ujung kursi kayu sederhana, seorang anak muda memainkan nada-nada yang seolah membawa cerita pegunungan, hutan berkabut, dan doa-doa kuno masyarakat Karo.

Dialah Jacky Raju Sembiring, atau “Jack” dalam keseharian. Lahir pada 1992, ia bukan sekadar pemain musik tradisional; ia adalah penjaga kultur. Bukan karena ia diminta tapi karena ia merasa harus.

Didorong Istri, Berangkat Membawa Budaya

Menariknya, perjalanan Jack ke panggung besar Indonesia’s Got Talent (IGT) 2023 justru dimulai dari ruang yang paling sederhana ruang keluarga.

“Aku awalnya nggak mikir ikut kompetisi begitu,” ujarnya pelan. “Itu dorongan istri.”

Sang istri yang melihat bakat dan idealisme Jack tak rela musik Karo hanya berhenti di sudut-sudut kafe Berastagi. Ia memintanya mencoba mengirim video audisi online. Jack menyerah, mengirim video, dan tidak disangka executive producer IGT menyetujuinya untuk tampil.

 Ia bukan membawa ambisi pribadi. Ia membawa misi kebudayaan.

Membawa Doa untuk Gunung Sinabung

Dalam penampilannya, Jack tak hanya ingin menunjukkan teknik. Ia membawa cerita tentang tanah Karo, tentang duka, tentang Sinabung.

“Letusan Sinabung bukan hanya bencana orang Karo,” katanya sambil menatap ke kejauhan. “Ini bencana dunia. Tidak ada yang tahu kapan berhenti. Musik ini seperti doa.”

Di panggung IGT, kulcapi empat senar akan bercampur dengan ndikkar (silat tradisional) dan gundala-gundala, tarian pemanggil hujan. Bagi Jack, musik tradisi bukan benda museum. Ia hidup, bergerak, dan bisa berdiri di panggung modern tanpa kehilangan rohnya.

Pertentangan, Cacian, dan Keraguan

Namun inovasi tidak selalu disambut manis. Ketika Jack memperkenalkan kulcapi empat senar, ia dikritik bahkan dihujat.

“Katanya saya merusak budaya,” kenangnya. “Katanya kulcapi hanya dua senar, titik.”

Banyak orang lupa bahwa budaya tidak lahir untuk berhenti. Kulcapi dua senar tetap ada, namun Jack ingin musik Karo masuk ruang baru tanpa kehilangan identitasnya. Ia melihat bagaimana alat musik tradisional daerah lain bertransformasi, tanpa menghilangkan pakem dasar.

Perlahan, dukungan datang. Teman-teman, komunitas budaya, dan penonton yang mendengar langsung mulai memahami visi Jack.

“Saya bikin konten, manggung, bikin aransemen,” tuturnya. “Dari situ mulai banyak yang mengapresiasi. Itu yang membuat saya bertahan.”

Dari Yogyakarta ke Karo, dari Kulcapi ke Dunia

Kulcapi empat senar bukan muncul tiba-tiba. Akar inovasinya berawal dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tempat Jack menulis penelitian tentang patam-patam komposisi musik adat Karo. Dosen-dosennya tertarik. Mereka mendorong Jack bereksperimen.

Fret diperbanyak. Senar digandakan. Bunyi baru muncul. Lebih kaya, lebih luas, lebih ekspresif. Bahkan sempat akan dibawa ke kompetisi musik dunia di Prancis.

Sayangnya, alat rampung terlambat. Festival sudah dimulai. Jack tidak berangkat. Namun dari situlah ia sadar kulcapi empat senar bukan hanya tugas akademik. Ia adalah kisah masa depan musik Karo.

Hak cipta pun resmi ia daftarkan.

Apresiasi dari Sesama Penggerak Budaya

Dedi Sinuhaji, pegiat media sosial dan salah satu sahabat Jack, tahu benar bagaimana beratnya perjalanan itu.

“Saya tahu perangnya dia,” kata Dedi. “Inovasi memang selalu melahirkan kontroversi. Tapi Jack punya tanggung jawab besar untuk budaya Karo. Kita harus dukung.”

Menurutnya, budaya bukan patung yang diam. Ia hidup, tumbuh, dan butuh tangan-tangan baru.

Melihat Karo Lewat Senarnya

Jack tidak hanya memainkan musik Karo. Ia mengolah kulcapi menjadi jembatan mengiringi lagu tradisional etnis lain, bahkan lagu-lagu populer. Semua dimainkan dengan alat tradisional dari tanah leluhur.

Ketika ia tampil di kafe, sekolah, atau acara komunitas, selalu ada orang yang mendekat kagum, penasaran, atau sekadar ingin tahu apa itu kulcapi empat senar.

Setiap apresiasi kecil adalah bahan bakar untuk terus melanjutkan perjuangan.

“Aku pikir aku sendiri,” katanya pelan. “Ternyata banyak yang mendukung. Itu alasan aku konsisten.”

Generasi Baru, Budaya Lama yang Bertahan

Di tengah media sosial, musik digital, dan budaya pop, ada secuil kenyataan yang tidak berubah budaya mati jika tidak diperjuangkan.

Dan di tangan seorang anak muda bernama Jacky Raju Sembiring, kulcapi tidak hanya bertahan, ia bergerak maju.

Satu nada, satu keberanian, cukup untuk membuat sebuah budaya terus hidup.

Akhirnya, ini bukan hanya soal musik.

Ini soal tanah Karo yang ingin kembali berbunyi.
Dan Jack memilih menjadi suara itu.