Sistem Sosial Karo dalam Struktur Raja Berempat dan Anak Beru Tua

Masyarakat Karo memiliki sistem sosial yang sangat kompleks, teratur, dan sarat filosofi. Banyak orang hanya memahami Merga sebagai identitas keluarga, tetapi dalam budaya Karo, konsep merga jauh melampaui hubungan darah: ia berkaitan dengan tanah, perkawinan, rumah adat, struktur urung, sampai hubungan spiritual dengan nenek moyang.

Merga Bukan Sekedar Keturunan

Pada banyak suku di Nusantara, marga diartikan sebagai garis keturunan biologis. Namun di Karo, merga adalah Marriage Class – kelas perkawinan – bukan “keturunan langsung dari satu ayah leluhur”.

Oleh karena itu, dua orang yang memiliki merga yang sama belum tentu satu garis darah, karena merga Karo lahir dari:

✅ proses perkawinan
✅ integrasi ke tanah (locality)
✅ penyatuan urung
✅ keberlangsungan generasi

Sebelum ada Merga Silima, komunitas Karo tidak didefinisikan oleh “nama marga”, melainkan oleh ikatan sembuyak – saudara yang berasal dari satu perempuan, satu kandungan, satu mbuyak. Merga baru muncul ketika sembuyak itu menyatu dengan tanah, membangun rumah adat, dan melahirkan generasi yang bertahan.

Sembuyak dan Senina: Konsep Kekerabatan Unik

  • Sembuyak → hubungan dari satu perempuan, satu kandungan, satu ladang. Dasarnya: garis ibu.

  • Senina → hubungan antar-perempuan dari urung berbeda, tetapi masih satu kelas perkawinan.

Karena itu:

  • Dua orang bermerga sama bisa tidak sembuyak

  • Dua orang bermerga berbeda bisa berasal dari perempuan yang sama

  • Sembuyak tidak pernah lebih luas dari wilayah satu urung

Inilah alasan mengapa “tarombo besar” seperti tradisi Batak tidak berlaku dalam sistem Karo. Silsilah hanya bermakna sampai batas urung, bukan seluruh merga Silima.

Rumah Adat Karo: Bukan Tempat Tinggal, Tapi Institusi Sosial

Rumah adat Karo bukan sekadar tempat tinggal. Fungsinya utama:

✅ pusat rapat
✅ ruang ritual
✅ identitas suatu sembuyak
✅ bukti bahwa sembuyak sudah menyatu dengan tanah

Rumah adat hanya dapat berdiri jika diisi 4 urung berbeda dengan posisi:

  1. Sembuyak

  2. Anak Beru

  3. Kalimbubu

  4. Senina

Inilah yang disebut Raja Berempat, dan pemegang struktur kelima disebut Anak Beru Tua.

Rumah adat adalah bukti bahwa sebuah sembuyak telah menjadi anak taneh – menyatu dengan tanah leluhur. Karena itu, rumah adat hanya bisa dibangun setelah perjalanan generasi panjang, bahkan ratusan tahun.

Perempuan: Fondasi Locality Karo

Walau urung adalah “dunia laki-laki”, dasar locality justru datang dari perempuan.

  • Sembuyak dimulai saat seorang perempuan hamil 100 berngi

  • Ladang pertama ditandai dengan tanaman pemenan (nderasi, sangke, dll)

  • Dari sinilah tumbuh tanah waris, embung, dan basis kampung

  • Ketika keturunannya berkembang dan membangun kuta baru, perempuan itu menjadi cikal bakal locality

Karena itu dalam mitologi Karo:

✅ Putri Hijau yang menjadi pemimpin Haru
✅ Beru Ginting Pase menjadi pemimpin Pasai
✅ Nang Baluan beru Surbakti mengangkat Sultan Deli melalui perkawinan impal

Perempuan adalah sumber legitimasi tanah, bukan pendatang pria.

Raja Berempat + Anak Beru Tua

Struktur ini menunjukkan bahwa sebuah kampung atau kuta bukan berdiri oleh satu marga, tetapi oleh persekutuan 4 urung yang berbeda.

  • Raja Berempat → Sembuyak, Senina, Kalimbubu, Anak Beru

  • Anak Beru Tua → “lipatan kelima”, pendatang yang diberi legitimasi oleh 4 urung

Model ini tidak hanya ada di Karo, tetapi merupakan pola Asia Tenggara:

Daerah Struktur 4+1
Aceh Si 4 Sagi
Alas Si 4 Dewal
Minangkabau Suku nan Ampek
Karo Raja Berempat + Anak Beru Tua
Batak Oppat Fuak
Papua Raja Ampat
Maluku Pata Siwa
Jawa Wali Songo (9 berlapis 4+1 pola)
Negeri Sembilan Luhak & Undang

Karo bagian dari struktur kosmologi regional yang sama.

Mengapa Tarombo Tidak Dibutuhkan

Tarombo atau silsilah panjang tidak relevan dalam budaya Karo karena:

  • Identitas sosial bukan berdasarkan garis darah ayah → tetapi sistem perkawinan dan locality

  • Merga tidak melampaui batas urung

  • Keturunan tidak mengarah ke satu nenek moyang laki-laki

  • Jalur struktur sosial bukan patriarkal murni, tetapi kombinasi:
    ✅ patrilokal (urung)
    ✅ matrilokal (sibayak)

Maka benar ungkapan Karo:

“Kapan pula suku Karo membutuhkan silsilah besar?
Sembuyak cukup sampai urung.”

Kesimpulan

Budaya Karo bukan budaya migran yang “datang belakangan”.
Orang Karo adalah anak taneh, yaitu mereka yang menyatu dengan tanah melalui proses panjang:

  1. perempuan hamil 100 berngi

  2. ladang pertama (pemenan)

  3. tumbuh sembuyak

  4. menjadi urung

  5. menjadi kuta

  6. membangun rumah adat

  7. menjadi merga

Jadi:

✅ Merga adalah pencapaian, bukan warisan
✅ Rumah adat adalah institusi sosial, bukan sekadar tempat tinggal
✅ Perkawinan adalah fondasi politik, tanah, dan kekuasaan
✅ Karo berdiri dalam sistem kosmologi Asia Tenggara yang luas

Inilah mengapa Raja Berempat + Anak Beru Tua adalah kunci memahami masyarakat Karo – lebih dalam dari sekadar marga.