Masuknya Pasokan Cabai Merah dari Aceh Jadi Angin Segar, Namun Krisis Cabai Rawit Medan Belum Teratasi

Masuknya pasokan cabai merah dari Aceh Tengah ke Kota Medan menjelang akhir pekan ini memberi sinyal positif bagi upaya menstabilkan harga pangan. Namun di balik kabar baik tersebut, masalah utama komoditas cabai rawit masih belum tersentuh solusi konkret, sehingga tekanan harga di tingkat konsumen berpotensi bertahan.

Berdasarkan informasi pedagang besar, sekitar 12–16 ton cabai merah mulai bergerak menuju pasar-pasar di Medan. Volume ini secara teori cukup untuk meredam gejolak harga jangka pendek, terutama bila kualitas barang tetap terjaga. Meski begitu, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan pasokan belum tentu langsung diikuti penurunan harga, apalagi jika distribusi berlangsung tidak merata.

Masalah Lama Bernama Distribusi

Kendala terbesar justru terlihat pada cabai rawit, komoditas yang lebih sensitif terhadap gangguan pasokan. Hingga kini, jalur darat dari Aceh Tengah ke Sumatera Utara belum sepenuhnya pulih, menyebabkan pasokan cabai rawit belum bisa masuk ke Pasar Induk Medan secara normal.

Kondisi ini memperlihatkan ketergantungan pasar Medan pada jalur distribusi darat, yang rentan terhadap cuaca ekstrem dan bencana alam. Akibatnya, setiap gangguan logistik langsung diterjemahkan pasar menjadi lonjakan harga.

Selisih Harga yang Tak Masuk Akal

Data di lapangan menunjukkan harga cabai rawit di tingkat petani Aceh Tengah masih sekitar Rp20.000 per kilogram, sementara di pasar Medan sudah menembus Rp80.000 per kilogram lebih. Selisih lebih dari Rp60.000 per kilogram ini menandakan bahwa persoalan utama bukan produksi, melainkan efisiensi distribusi dan rantai pasok.

Dalam konteks ini, usulan pemanfaatan jalur udara antara Bandara Rembele (Bener Meriah) dan Bandara Kualanamu patut dipandang sebagai solusi logistik jangka pendek yang realistis, bukan sekadar wacana mahal.

Distribusi Udara: Mahal tapi Masuk Akal

Memang, pengangkutan bahan pangan lewat udara kerap dianggap tidak ekonomis. Namun, ketika selisih harga di pasar ritel jauh melebihi biaya logistik, pendekatan ini justru menjadi rasional secara ekonomi.

Faktanya, pedagang besar di Medan selama ini tidak ragu mendatangkan cabai dari Jawa atau Sulawesi lewat pesawat saat harga lokal melambung. Jika pola tersebut bisa diterapkan untuk Aceh Tengah—yang secara geografis lebih dekat—maka stabilisasi harga cabai rawit seharusnya lebih mudah dilakukan.

Bukan Sekadar Soal Harga

Distribusi udara juga membawa dampak lain yang kerap luput dari perhatian, yakni menjaga kualitas dan kesegaran cabai. Jalur darat yang memakan waktu panjang dan harus dilakukan secara estafet meningkatkan risiko kerusakan, yang pada akhirnya ikut mendorong harga naik di tingkat konsumen.

Dengan jalur udara, waktu tempuh bisa dipangkas drastis, sehingga efisiensi dan kualitas berjalan beriringan.

Ujian Koordinasi Antarwilayah

Masalah cabai ini sekaligus menjadi uji koordinasi antarwilayah antara pemerintah daerah, otoritas bandara, dan pelaku usaha. Tanpa intervensi kebijakan yang adaptif, harga cabai akan terus menjadi “komoditas musiman” yang mudah bergejolak.

Masuknya cabai merah dari Aceh patut diapresiasi, namun krisis cabai rawit menunjukkan bahwa stabilisasi harga tidak cukup hanya mengandalkan panen, melainkan membutuhkan terobosan distribusi.

Dalam jangka pendek, jalur udara layak dipertimbangkan sebagai instrumen stabilisasi harga, terutama saat jalur darat terganggu. Jika tidak, lonjakan harga cabai rawit akan terus berulang, membebani konsumen, dan menciptakan distorsi harga yang merugikan semua pihak.

Stabilitas pangan, pada akhirnya, bukan semata soal ketersediaan barang—melainkan seberapa cepat dan efisien barang itu sampai ke pasar.