Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Highlands School Kabanjahe, Sekolah Internasional Pertama di Indonesia

Higlands School Kabanjahe
Foto bangunan komplek  Highlands School di Kaban Djahé dengan jelas menunjukkan karakter bangunan Inggris.

Berastagi dan Kabanjahe, Kabupaten Karo, di jaman  masa kolonial Belanda menjadi tujuan berlibur dengan ditandai banyaknya hotel dan penginapan yang ada kala itu. Semua ini terjadi berkat dibukanya jalan ke dataran tinggi Taneh Karo hingga dibukanya lapangan udara di Berastagi (16 September 1934).

Dalam perkembangan yang pesat terjadi di Sumatera Timur di mana dibukanya ratusan perkebunan tembakau, teh, kelapa sawit, karet, industri minyak dan lainnya menyebabkan banyak masuknya tenaga-tenaga kerja dari Eropah. Dan kota-kota di Sumatera Timur juga ikut bekembang seiring dengan  perputaran ekonomi yang terjadi dan kebutuhan para pekerja asing itu untuk kelangsungan hidupnya.

Salah satunya kota Kabanjahe, kota yang berjarak 75 Km dari Medan. Kabanjahe pernah menjadi kota yang memiliki sekolah internasional berasrama (international boarding school). Mungkin ini sekolah internasional pertama di Indonesia.

Sekolah ini bernama Highlands School Kabanjahe. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 oleh pasangan suami istri William Stanley Cookson dan Bernice. Keduanya berkebangsaan Inggris. Yang bersekolah di sini adalah anak-anak ekspatriat (pekerja asing) yang bekerja di Sumatera, Singapura, dan Semenanjung Malaysia. Para pengajarnya juga berkulit putih semua. Mereka berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.

Cookson awalnya bekerja di perkebunan karet ”Selama Dindings” Butterworth, Negara Bagian Perak, Malaysia. Setelah pensiun, ia memutuskan hidup di tempat yang lebih sehat, jauh dari hawa panas perkebunan karet Malaysia. Cookson akhirnya memilih dataran tinggi Taneh Karo atau Karolanden. Ia memilih tinggal di kota Kaban Djahe (Kabanjahe) sebagai tempat tinggal karena udaranya sejuk.

 

Bagaimana pendidikan anak-anak jika tinggal di Kabanjahe?

Ini pertanyaan Cookson yang juga terbersit pada semua pekerja-pekerja asing di Sumatera Timur. Untuk mendapatkan sekolah yang berstandar sama dengan sekolah-sekolah di Eropah tentu sulit di dapat di Hindia Belanda. Sementara mereka tidak ingin jauh berpisah dari keluarganya.

Dengan dana pensiunnya,  Cookson mulai membangun sekolah lengkap dengan tenaga pendidik mereka. Saat itu di Kabanjahe ada dokter Paneth yang juga ingin menyekolahkan anaknya. Paneth adalah dokter yang mengelola sanatorium untuk rehabilitasi penyandang tuberklosis (TBC). Dengan kerja sama Cookson dan Paneth, berdirilah Highlands School itu.

Berita dibukanya sekolah ini sampai kepada para ekspatriat asing yang menjadi kenalan Cookson dan Paneth. Lalu menjadi daya tarik bagi pekerja-pekerja asing lainnya di Sumatera, Singapura, hingga Semenanjung Malaysia.. Mereka tertarik pula menyekolahkan anaknya di Highlands School dengan alasan : lebih baik menyekolahkan anak-anak mereka di sini daripada di negara asal masing-masing karena akan terpisah dalam jarak sangat jauh.

Sekolah ini berkembang hingga dapat menampung 100 siswa-siswi di kelas berikut asramanya. Asrama murid laki-laki dan perempuan dibuat terpisah dan masing-masing diawasi oleh seorang kepala. Para pengajar berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Sejumlah orang Karo bekerja pula di sekolah ini sebagai tenaga non-kependidikan. Kebanyakan mereka bekerja sejak sekolah ini memulai pembangunannya.

Sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Emm House (di seberang sekolah) disewa dan didiami oleh siswa perempuan senior. Tapi, semua akomodasi dan fasilitas lainnya berada di kompleks sekolah, termasuk tempat tinggal pelayan yang dibuat terpisah. Ketertiban serta disiplin di Highlands School terkenal ketat. “Trust and responsibility” (kepercayaan dan tanggung jawab) adalah landasan pendidikan di sekolah ini.

Highlands School Kabanjahe berlokasi tak jauh dari kantor pos dan gereja. Di dekatnya juga ada berdiri hotel, sehingga orang tua yang datang mengunjungi anaknya tak khawatir mencari penginapan. Sekolah ini berdiri di atas lahan seluas 15 acre (enam hektare).

De Indische Courant, 27-02-1936
De Indische Courant, 27-02-1936

 

Surat kabar De Indische Courant pada tanggal 27 Febuari 1936 menuliskan :

Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak keluarga Inggris yang menjaga anak-anak mereka bersama mereka. Di pantai timur Sumatera, banyak orang tua Eropah mengirim anak-anak mereka ke Highlands School di Kaban Djahé, di sekolah yang dipimpin oleh Mr. Cookson. Tidak diragukan lagi  peran Belanda di pesisir timur Sumatera, yang mampu memenuhi tuntutan sebelumnya. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa keluarga Inggris di Malaka akan semakin menjaga anak-anak mereka sampai mereka menyelesaikan pendidikan dasar dan kemudian mengikuti pendidikan menengah di Inggris.

Iklan di harian De Sumatra Post pada tanggal 27-11-1939 menuliskan, bahwa Highlands School Kaban Djahe memiliki tenaga pengajar berasal dari negara : Belanda, Denmark, Swiss, Prancis dan Inggris. Dan sekolah ini juga mengajarkan keahlian berolahraga, musik, piano, biola dan  tarik suara. Dan memiliki tim pengawasan medis. Menerima murid dari usia 5 sampai 18 tahun.

 

Iklan Highlands School Kabanjahe
Iklan Highlands School Kabanjahe

 

Berdiri di iklim yang ideal

Seorang penulis dengan nama pena “Anak Deli” menuliskan di Harian “ Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië “ bertanggal 30 Juni 1939. Ia membuat tulisan panjang bagaimana awal sekolah ini terbangun :

“Highlands School” di Hindia Belanda

Kaban Djahé diberkahi dengan iklim ideal, telah berdiri lima belas tahun Higlands School di sini. Highlands School bukan lagi sekolah dengan dua murid. Jumlah murid pada akhir 15 Juni telah melampaui 100 murid, dengan kapasitas hingga 125 murid.

Highlands School  murid-muridnya adalah bahagian besar dari keluarga Inggris di Sumatra dan Jawa. Sebagian besar lagi datang dari Malaka, Bangkok, Rangoon. Mereka datang dengan kapal milik KLM ke Medan untuk dibawa ke Kaban Djahé. Penutupan beberapa sekolah bagi anak-anak Inggris di China juga mengakibatkan kedatangan anak-anak Inggris dari Shanghai. Orang tua tampaknya merasa lebih aman untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Kaban Djahé daripada di negeri China yang ribut.

Tapi tidak hanya anak-anak Inggris yang pergi ke Highlands School. Ada juga orang Amerika. Dan juga anak-anak yang orang tuanya berasal dari Skandinavia. Ada juga anak-anak Swiss di sekolah ini. Dan lainnya.

Juga anak-anak Belanda ikut di sekolah ini hingga diperlukan membuat penunjukan seorang guru Belanda. Lebih jauh lagi, sebagian besar staf rumah tangga dan tenaga keuangan terdiri dari beberapa pria dan wanita Belanda. Sementara beberapa wanita muda Belanda, yang telah menyelesaikan pendidikan di H.B S. atau Mulo, dan ingin belajar bahasa Inggris mereka dengan sempurna, terlibat sebagai tenaga magang di Highlands School.

Sekolah ini tetap mempertahankan kontak dengan Inggris, karena sekolah tersebut berafiliasi dengan Parents National Education Union. Karena pengajaran dan tenaga pengajarnya adalah adalah berbasis Inggris.

Highlands School ini sangat unik di seantero Hindia Belanda. Sekolah ini kian dikenal di seluruh “Timur Jauh,” di mana orang tua Inggris yang bekerja, bisa mengirim anak-anak mereka ke pantai timur Sumatra untuk bersekolah. Dan mereka dapat pulang kembali ke tempat orang tuanya 2 kali setahun : pada libur dari 15 Desember – 15 Januari dan pada libur dari 15 Juni – 15 Juli. Mereka pulang ke rumah, sebagian besar dengan pesawat terbang, dan sebagian kecil dengan kapal laut.

Awal Highlands School

Mr. Cookson memulai sekolah ini dengan ibu mertuanya dan istrinya. Pada kala itu, muncul banyak kontroversi orang tua Inggris dengan anak-anak yang tumbuh dan merasa jauh dari perpisahan yang sulit antara orang tua di “Timur Jauh” dan anak-anak yang dipaksa dikirim ke Inggris. Mereka membayangkan untuk memulai mendirikan sekolah di tempat yang menyenangkan di Timur Jauh untuk anak-anak Inggris, di mana mereka akan menerima pendidikan Sekolah Dasar berbahasa Inggris hingga Sekolah Menengah .

Awalnya kehidupan perkebunan membawa Mr. Cookson ke Manila dan tempat lain di Filipina. Dari sana dia tiba di Malaka dengan tongkang karet. Hingga akhirnya berkenalan dengan Sumatera dan menuju Berastagi.

Klinik kesehatan di Berastagi memberi banyak informasi. Mr. Cookson memutuskan untuk mulai dari sana untuk mendirikan sebuah sekolah asrama. Itu terjadi pada tahun 1924, di sebuah rumah, yang disewa dari Dr. Schuefner. Sekolah ini dimulai dengan dua siswa.

Tapi dalam perjalanan tahun pertama, terlihat bahwa iklim di Berastagi, tidak cukup teratur.  Berastagi memiliki suhu yang sangat berubah. Perbedaan suhu yang jauh berubah antara pukul dua dan empat sore. Terlebih lagi, ada hari-hari yang sangat berat dengan hujan dan angin kencang, semua konsekuensi ini karena terlalu dekat dengan kaki Gunung Sibajak.

Ini menjadi pemikiran untuk jangka panjang. Dr. Paneth menarik perhatian Mr. Cookson. Dr. Paneth menetap di Kaban Djahé, dua belas kilometer jauhnya dari Berastagi..

Ada laporan tentang iklim Kaban Djahé dari Dr. Paneth, di mana daerah ini sangat dipuji dan sangat cocok untuk kesehatan anak-anak. Iklim di Kaban Djahe tidak pernah sangat dingin; tidak pernah pula luar biasa hangat. Justru iklim ideal itu sangat bermanfaat dan bagus untuk anak yang terlahir di daerah tropis.

Untungnya, Dr. Paneth tidak berbicara dengan orang yang bebal. Mr. Cookson mengikuti saran dan dipindahkannyalah sekolah ke Kaban Djahé. Sekolah dimulai di sebuah bungalow sewaan dengan nama Kismet. Dan setelah beberapa bulan, pria dan wanita Eropah di Sumatera Timur akhirnya tahu, di Sumatera Timur ada Highlands School bagi keluarga mereka.

Setelah sekali lagi bertambah dengan sebuah rumah sewa yang lebih besar dengan area yang lebih luas (sangat diperlukan dalam sistem sekolah bahasa Inggris), akhirnya sekolah berakhir di lokasi di mana berbagai bangunan bagus sekarang berdiri dan tempat para siswa menemukan tempat untuk berbagai olahraga mereka. Area sekolah ini sekarang luasnya 6 Ha dan termasuk areal olahraga berkuda. Mr. Cookson merasa ini sudah cukup dan tidak merasa perlu mencari lebih banyak lagi tempat.

Orang Karo bernama Aris

Aktifitas kegiatan harian di Highlands School Kabanjahe ini berakhir di penghujung Desember 1941. Tak ada lagi siswa-siswinya yang kerap terlihat berolah raga seperti menunggang kuda di akhir pekan. Kegiatan di sekolah ini berakhir dengan pecahnya Perang Dunia II yang diawali Perang Pasifik pada 7 Desember 1941.

Liburan Natal sekolah di Desember itu dibatalkan. Siswa-siswi tidak pulang ke negara asalnya. Mereka menghabiskan masa liburan dengan kegiatan olah raga santai dan hiburan.

Perang kian meluas, dan Jepang akhirnya masuk ke Sumatera pada tahun 1942. Jepang masuk ke dataran tinggi Taneh Karo. Kabanjahe diduduki. Lalu kompleks sekolah Highlands School dijadikan pangkalan militer oleh tentara Jepang. Beruntung seluruh siswa sudah dievakuasi ke Australia sebelum Jepang mencapai Taneh Karo.

Cookson dijadikan tahanan oleh tentara Jepang. Begitu juga ibu mertua dan anak laki-lakinya bernama Lynn Cookson yang berusia belasan tahun. Mereka ditahan di Sanatorium Kabanjahe. Mereka mengalami berbagai penderitaan berat. Mereka mampu bertahan hidup dan hingga akhirnya bebas setelah Jepang menyerah kalah pada 1945.

Namun Highlands School tidak dapat lagi difungsikan kegiatannya karena karena telah rusak total. Dengan berat hati keluarga Cookson hijrah ke Australia. Mereka memulai hidup baru di Melbourne. Seorang warga Karo yang setia pada keluarga Cookson, Aris, mendapat kepercayaan dan izin untuk mengurus aset yang harus ditinggalkan oleh tuannya itu.

Susan Cookson
Susan Cookson

Susan Melengkapi Impian

Konfigurasi.com pada tanggal 31 Januari 2009 menuliskan kisah kunjungan dari keluarga Cookson ke Kabanjahe. Berikut penuturannya :

Pada 5 Januari 2009 lalu, aku, Susan Cookson, anak bungsu Mr. Cookson membuat suatu kunjungan singkat ke Kabanjahe. Dengan bantuan beberapa teman, kami menemukan keturunan Aris. Mereka menyambut kedatangan kami dengan sangat gembira dan menceritakan kembali apa yang telah diutarakan oleh ayah mereka mengenai keluarga Cookson dan juga rumah yang mereka tempati saat ini sebagai suatu hal penting dan tak terlupakan.

Area sekolah yang luas itu telah dibagi-bagi dan dijadikan rumah penduduk sehingga sulit untuk dikenali. Tetapi berdasarkan petunjuk yang tersedia, aku merasa sudah mencapai tujuan dan harapanku, juga telah membuat hubungan kekeluargaan di Kabanjahe. Kunjunganku tersebut melengkapi impian masa kecilku untuk kembali ke tempat yang bahagia ini, dengan niat baik dan satu rasa atas pencapaian impian yang telah lama terpendam.

Highlands School Kabanjahe
Highlands School Kabanjahe

Foto-foto tersisa ini diambil dari album keluarga Cookson, terdiri dari foto asli (jepretan fotografer Jepang bernama Horikawa) sebelum pecah perang. Saat itu Horikawa adalah fotografer resmi untuk setiap acara khusus di Highlands School.

 

Sumber bacaan :

Konfigurasi.com

De Indische Courant, 27 Febuari 1936

De Sumatra Post, 27-11-1939

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30 Juni 1939

Link : Karo Siadi