Sejarah Tarigan Purba & Ginting Seragih: Jejak Adat, Mitologi, dan Identitas Karo–Simalungun

Dalam tradisi kuno masyarakat Karo, kisah marga Tarigan Purba dan Ginting Seragih memiliki hubungan erat dengan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Simalungun. Pada masa tertentu, wilayah tersebut mengalami vacuum of power, hingga kemudian Raja Toding Ni Purba muncul sebagai penguasa. Setelah itu, menantunya yang dikenal sebagai Raja Sori putra keempat Ajinembah mendirikan Kerajaan Saragih. Dalam catatan lisan, Saragih awalnya merupakan bagian dari Karo dengan penyebutan Ginting Seragih.

Selanjutnya, garis keturunan Purba digantikan oleh Tarigan Purba dari Pagaruyung. Ia dikenal sebagai Sibayak Silo Dunia, menantu Sibayak Pintu Benua yang memimpin Barusjahe. Tokoh Ginting Muntei van Garingging (dikenal juga sebagai Ginting Garingging) kemudian menjadi pemimpin Seragih dan dijuluki Saragih Garingging, pendiri Kerajaan Raya. Di kalangan masyarakat Simalungun, ia dikenal pula sebagai Si Pining Sori.

Persatuan Muntei dan Perlawanan terhadap Kolonial

Pada era kepemimpinan Toehan Rondaheim Saragih Garingging (Raja Raya ke-14), sebuah musyawarah penting diadakan di Kuta Bangun (Karo Highland). Para pemimpin adat dan pengulu marga Muntei dari wilayah Gayo, Alas, Bambil, dan Batu Mbulan, bersama para raja Karo lainnya, menyatukan kekuatan guna melindungi tanah adat dari intervensi perkebunan kolonial asing.

Momentum ini dikenal sebagai Persatuan Muntei Sedunia. Perlu digarisbawahi, dalam tradisi Karo tidak ditemukan keterkaitan asal-usul Muntei dengan Batak Toba maupun Munthe Tano Batak. Justru, jejak Muntei lebih kuat mengarah pada hubungan budaya dan migrasi antara Karo dan Gayo.

Fakta ini juga didukung oleh kesamaan arsitektur tradisional: Rumah Adat Karo Si Pitu Ruang dan Rumah Adat Gayo Ume Si Pitu Rue.

Mitologi Kerbau Nanggalutu: Identitas, Mobilitas, dan Penanda Wilayah

Mitologi memainkan peran penting dalam identitas marga. Dalam narasi budaya Karo, Muntei bukan sekadar keturunan pemimpin, melainkan dianggap sebagai Lord atau pemegang otoritas wilayah (penerima tamu dan pendatang).

Menurut kisah lisan, Kerbau Nanggalutu adalah kendaraan tempur sakral—sebuah simbol kekuatan mirip konsep kendaraan pahlawan dalam epik kuno. Tempat di mana kerbau ini berhenti, dianggap sebagai tanda untuk mendirikan kuta (permukiman).

Jejak mitos ini masih terlihat melalui situs budaya di Lau Baleng. Pada tahun 1910, terdapat dokumentasi ritual Ngumban untuk Rumah Kerbau salah satu rumah adat RASK (Rumah Adat Suku Karo) di wilayah tersebut.

Perdebatan: Sejarah atau Mitologi?

Kesalahan umum yang sering muncul adalah mencampuradukkan mitos dengan sejarah tertulis. Beberapa sumber, termasuk karya dari Galeri Buku Karo–Bataksche, mengklaim bahwa Pustaka Ginting dan Pustaka Kembaren merupakan naskah sejarah tertua. Namun dalam kajian antropologi, pustaka ini justru tergolong bagian narasi mitologis yang lahir belakangan.

Ironisnya, banyak pustaka tradisional yang masih tersimpan secara turun-temurun dan belum sempat diteliti, sehingga interpretasi menjadi bias.

Identitas: Bukan Soal Menolak, Tapi Memahami

Masyarakat Karo tidak menolak bahwa suku lain memiliki mitos leluhur seperti Si Raja Batak; namun tradisi Karo tidak pernah menempatkan dirinya dalam alur tersebut. Dengan kata lain:

👉 Menerima mitos orang lain bukan berarti harus mengadopsinya.

Dalam budaya lisan Karo, Muntei adalah pemilik tanah (penjaga wilayah), bukan pendatang. Narasi inilah yang menjadi fondasi sosial masyarakat Karo dalam struktur kalimbubu, puang kalimbubu, dan anak beru.

Fragmen Humor dari Tradisi

Dalam sejarah Lau Baleng, ada periode ketika peraturan kampung melarang individu bermarga Kembaren masuk wilayah tersebut. Dalam cerita turun-temurun, konflik itu berawal dari pencurian kambing. Saat ditanya siapa pelakunya, jawaban masyarakat kala itu ringan namun menyentil:

"Penggarap e... Ginting Muntei kang, Kempu."

Cerita itu kini lebih sering dianggap humor adat, namun tetap menjadi pengingat bahwa sejarah budaya penuh warna, serius, sakral, tetapi tetap manusiawi.

Kisah Tarigan Purba, Ginting Seragih, dan Muntei bukan sekadar sejarah silsilah, tetapi juga perjalanan identitas, mitologi, perlawanan kolonial, dan dinamika migrasi budaya antara Karo, Gayo, dan Simalungun.

Dalam konteks pendidikan budaya, mitologi bukan ancaman bagi sejarah mitologi adalah pintu untuk memahami bagaimana leluhur membaca alam, masa, dan jati dirinya.

*Lord Bandito