Siapa Itu Perangin-angin dalam Struktur Merga Karo?
![]() |
| Perayaan penobatan Raja Sibajak Koetaboeloeh. Sumber foto: Collectie: KITLV, Netherlands. Provenance: Voorhoeve, Dr P. / Barchem Datum/Date: 1945. |
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo, Perangin-angin adalah salah satu kelompok merga yang memiliki posisi penting. Namun penyebutannya tidak berdiri sendiri, karena dalam tradisi lama, Perangin-angin terbagi dalam dua bagian besar atau Belahan (Moiety).
Pembagian Perangin-angin
-
Belahan Pertama:
Sebayang – Pinem -
Belahan Kedua:
Kutabuluh – Bangun
Secara umum, sebutan Perangin-angin paling sering ditujukan khusus kepada kelompok Kutabuluh, meskipun secara sistem kekerabatan keempat merga tersebut termasuk dalam payung yang sama.
Merga yang Di-Embedded
Dalam perkembangan sejarah dan penyebaran masyarakat Karo, beberapa merga kemudian di-embedded atau disatukan ke dalam empat kelompok utama tersebut, meskipun asal usul awalnya berbeda. Contohnya:
-
Sinurat → Di-embed ke Sebayang
(rurun: Ngemban untuk beru Sinurat) -
Pencawan → Di-embed ke Sebayang
(anak laki-laki disebut Jambor, sama seperti pada merga Purba) -
Beliter → Di-embed ke Kutabuluh
(anak laki-laki disebut Ganding, sama seperti pada Sitepu) -
Sukatendel → Di-embed ke Kutabuluh
Dan masih ada beberapa lainnya sesuai wilayah dan garis keturunan.
Aturan Perkawinan dalam Perangin-angin
Dalam struktur adat lama, hanya Raja Berempat yang memiliki hak istimewa untuk menikah sesama Perangin-angin. Hal ini karena mereka dianggap sebagai penjaga struktur sosial dan spiritual dalam tradisi masyarakat Karo.
Penyebutan Nenek (Rurun) dalam Tiap Belahan
Masing-masing kelompok Perangin-angin memiliki cara berbeda dalam memanggil nenek dari pihak ibu. Misalnya:
-
Nenek Beru Bangun → disebut Okup
-
Nenek Beru Sebayang → disebut Kayuh
-
Nenek Beru Brahmana di Limang → disebut Magar
-
Nenek Beru Tarigan Rumah Jahe di Juhar → disebut Dombat
-
Nenek Beru Sibero → disebut Pagit
Namun dalam perkembangan zaman, sebagian penyebutan mulai jarang digunakan dan digantikan dengan penyebutan umum karena percampuran wilayah dan garis keturunan.
Petunjuk Identitas Melalui Penyebutan Nenek
Penyebutan nenek juga dapat menunjukkan posisi moiety seseorang. Misalnya:
-
Sukatendel dan Kutabuluh memanggil nenek mereka dengan sebutan Ribu, sama dengan Bangun.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka berada dalam moiety yang sama yang merujuk pada wilayah Nagasaribu (wilayah Tarigan lama yang kini masuk Simalungun).
Namun, penyebutan ini bisa berbeda tergantung wilayah, misalnya di Taneh Lau Baleng atau Gugung.
Secara umum, anak laki-laki yang masih kecil (belum tumbuh gigi) dipanggil Ucuk. Namun untuk Sebayang, panggilannya berbeda, yaitu Balandua.
Makna Filosofis Perangin-angin
Jika Karo-Karo diartikan sebagai riak air, maka Perangin-angin secara kiasan berarti:
“Pengendali roh.”
Dua nama ini memiliki bentuk kata ulang, yang dalam tradisi Karo menunjukkan identitas garis keturunan dan kedalaman makna spiritual.
Wilayah Tradisi Perangin-angin
Secara historis, wilayah Gunung Sinabung merupakan pusat keberadaan dua kelompok besar ini:
➡ Karo-Karo
➡ Perangin-angin
Perangin-angin bukan hanya sebuah merga, tetapi sebuah struktur sosial yang memiliki aturan genealogis, spiritual, dan adat istiadat yang sangat kompleks. Pembagian moiety, aturan perkawinan, sistem penyebutan nenek, hingga identitas ritual menunjukkan bahwa merga ini merupakan salah satu fondasi penting dalam budaya masyarakat Karo.
