Batak: Antara Identitas Etnis, Wilayah, dan Politik Kolonial

Perdebatan tentang siapa yang disebut Batak hingga hari ini masih menjadi isu sensitif dan kompleks, baik di ruang akademik, media sosial, maupun percakapan sehari-hari. Polemik ini tidak hanya menyangkut sejarah dan antropologi, tetapi juga identitas, politik kolonial, hingga relasi kekuasaan antarkelompok etnis di Sumatera Utara.
Batak dalam Persepsi Internal
Menurut pengakuan sebagian sarjana Batak, Batak sejatinya hanya merujuk pada empat wilayah dan komunitas utama, yakni Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Di luar itu, kelompok lain dianggap sebagai BukBak (Bukan Batak). Persepsi ini terasa kuat ketika kelompok tersebut berkumpul tanpa kehadiran Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, maupun Mandailing. Dalam konteks itu, istilah “Hita Batak” tidak mencakup kelompok-kelompok tersebut.
Namun, dalam konteks urban dan akademik, istilah Batak mengalami perluasan makna. Muncullah terminologi seperti Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Mandailing, yang kini dianggap lumrah dalam dunia tulis-menulis.
Batak: Ciptaan Belanda atau Fakta Pra-Kolonial?
Di sisi lain, ada pandangan yang menyebut bahwa Batak adalah ciptaan Belanda, sebuah kategori buatan untuk mengelompokkan masyarakat pedalaman Sumatra yang belum memeluk agama-agama besar seperti Islam atau Kristen. Berbeda dengan Melayu, Aceh, dan Minangkabau yang lebih dahulu teridentifikasi melalui agama dan struktur politik.
Pandangan ini sendiri terbelah dua:
Kelompok pertama menggunakan argumen tersebut untuk menyatakan bahwa Batak sebenarnya tidak pernah ada, melainkan konstruksi politik kolonial.
Kelompok kedua justru memanfaatkannya untuk menegaskan bahwa Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing adalah Batak serumpun.
Masalah muncul ketika istilah serumpun disalahpahami sebagai sekadar cluster berdasarkan kemiripan. Padahal, secara definisi, serumpun berarti berasal dari nenek moyang yang sama, yang secara implisit berarti menerima konsep Tarombo Siraja Batak.
Jika kemiripan menjadi satu-satunya ukuran, maka muncul pertanyaan kritis: banyak persamaan Karo dengan Sunda, apakah berarti Karo serumpun dengan Sunda? Mengapa Karo dianggap tidak serumpun dengan Melayu Pantai Timur, tetapi serumpun dengan kelompok Batak lain?
Bukti Pra-Kolonial dan Masalah Definisi
Argumen bahwa Batak adalah ciptaan Belanda sering kali mudah dipatahkan dengan menunjukkan bukti tertulis pra-kolonial. Dalam berbagai literatur lama, istilah Batak atau Batech sudah dikenal sebagai sebutan bagi masyarakat pedalaman Sumatra, bahkan sering dilekatkan dengan stereotip sebagai kanibal.
Namun, literatur tersebut tidak pernah secara jelas mendefinisikan siapa dan kelompok mana yang dimaksud sebagai Batak. Ketidakjelasan ini justru memberi ruang bagi kolonial Belanda untuk membangun definisinya sendiri, dengan kepentingan politik yang jelas.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa:
Istilah Batak sudah ada sebelum Belanda.
Namun, definisi siapa itu Batak dikonstruksi dan ditegaskan ulang oleh Belanda.
Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung: Satu atau Berbeda?
Kelompok yang sering disebut Batak Toba sendiri sebenarnya terdiri dari komunitas yang berbeda. Orang Silindung tidak mau disebut Toba, demikian pula Samosir dan Humbang. Namun, tanpa kesatuan keempat wilayah ini, masyarakat Toba tidak akan terbentuk secara sosial, terutama karena aturan perkawinan antarmarga.
Sesama marga asal Toba sering kali tidak bisa saling menikah, sehingga harus mencari pasangan dari Samosir, Humbang, atau Silindung. Dalam perspektif antropologi, sebuah society adalah kelompok yang memungkinkan perkawinan internal. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Toba berdiri sendiri sebagai satu society?
Makna Ganda Batak
Di sinilah tampak bahwa kata Batak memiliki makna ganda:
Internal: Batak sebagai identitas pemersatu Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung.
Eksternal/akademik: Batak sebagai kategori besar yang mencakup Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, dan Mandailing.
Sebagian orang bahkan berpendapat bahwa Batak tidak pernah ada sebagai entitas etnis, melainkan hanya identitas yang diambil alih oleh orang Toba. Namun, jika demikian, muncul pertanyaan: bahasa apa yang digunakan bersama oleh Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung? Mereka sendiri menyebutnya Bahasa Batak, atau dalam kompromi akademik, Bahasa Batak Toba.
Istilah Batak dalam Tradisi Lisan
Dalam percakapan sehari-hari hingga sekitar tahun 1980-an, masyarakat Sumatra Utara jarang menggunakan istilah akademik seperti Batak Toba atau Batak Karo. Yang lazim terdengar adalah:
“Kami orang Batak”
“Kami orang Karo”
“Kami orang Pakpak”
“Kami orang Simalungun”
“Kami orang Mandailing”
“Kami orang Angkola”
“Kami orang Sipirok”
Istilah seperti Pakpak-Dairi atau Angkola-Mandailing hampir tidak pernah digunakan dalam lisan, meski lazim dalam buku.
Tebba dalam Perspektif Karo
Dalam Bahasa Karo, istilah Tebba digunakan untuk menyebut orang-orang yang kini sering disebut Batak. Kata ini tidak identik dengan Toba, meskipun berhubungan secara historis.
Contohnya adalah:
Paribun Tebba (Simalungun), yang oleh penduduk setempat disebut Paribuan atau Paribuan Toba.
Tebba Silaki, yang kini dikenal sebagai Silalahi di Dairi.
Ini menunjukkan bahwa Tebba lebih menunjuk pada arah atau wilayah, bukan semata-mata identitas etnis Batak Toba.
Batak sebagai Wilayah Kolonial
Awalnya, Batak hanya merujuk pada Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung. Belanda kemudian membentuk Residentie Bataklanden, yang mencakup:
Toba, Samosir, Humbang, Silindung
Angkola, Sipirok
Pakpak dan Dairi
Sebagian kecil Taneh Karo (Taneh Pinem)
Mandailing saat itu masih dimasukkan ke Residen Sumatera Barat. Simalungun dan Karo bahkan disebut sebagai Zelfstandige Bataklanden (Tanah Batak Merdeka), sebelum akhirnya dimasukkan ke Residen Sumatera Timur.
Perubahan wilayah ini berlanjut hingga terbentuknya Provinsi Sumatera Utara, yang menggabungkan Residen Sumatera Timur dan Residen Tapanuli.
Legitimasi Akademik dan Politik Identitas
Klasifikasi Batak juga dilegitimasi melalui karya Van der Tuuk tentang Bahasa Batak, yang membagi dialek menjadi Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, dan Mandailing. Meski secara linguistik kini dianggap usang, konsep ini dijadikan dasar administrasi kolonial dan pendidikan.
Dalam perkembangannya, istilah Rumpun Batak dipromosikan untuk mengimbangi Rumpun Melayu, yang secara implisit juga mengandung dimensi agama (Kristen dengan Islam).
Tarombo Siraja Batak dan Konflik Identitas
Konsep Batak sebagai keturunan Siraja Batak banyak bersumber dari mitos dan tarombo yang disusun ulang dalam literatur modern. Melalui penafsiran hubungan marga lintas etnis, Karo, Pakpak, dan kelompok lain kemudian dihubungkan secara genealogis.
Hal ini sering memicu konflik, terutama ketika masyarakat Karo menolak klaim tersebut dengan menyebutkan keberadaan mereka yang jauh lebih tua secara arkeologis. Sayangnya, pembelaan diri ini kerap dianggap sebagai pelecehan terhadap identitas Batak Toba.
Perdebatan tentang Batak menunjukkan bahwa identitas etnis bukanlah sesuatu yang tunggal dan statis. Batak bisa berarti etnis, wilayah, bahasa, bahkan proyek politik kolonial. Tanpa membedakan konteks-konteks ini, perdebatan akan terus berulang dan berujung pada konflik emosional.
Mungkin sudah saatnya diskusi tentang Batak dilakukan dengan lebih jujur secara historis dan lebih adil secara sosial, tanpa memaksakan satu definisi tunggal atas realitas yang majemuk.