Benarkah Adat Karo Tak Pernah Berubah? Fakta Lapangan yang Mengguncang Keyakinan Lama

Perdebatan mengenai adat dan kebudayaan Karo kembali mengemuka, khususnya terkait aturan perkawinan antarmerga. Sejumlah temuan lapangan dan kajian akademik yang disampaikan dalam ruang publik justru memantik reaksi keras dari sebagian masyarakat, alih-alih menjadi ruang dialog dan pembelajaran bersama.

Fenomena tersebut mencerminkan persoalan yang lebih mendasar, yakni sikap merasa sudah selesai dan tahu semua, sebuah mentalitas yang kerap berujung pada penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan temuan baru.

Fakta Lapangan yang Ditolak

Salah satu polemik muncul ketika disampaikan bahwa Perangin-angin Sebayang dapat saling kawin dengan Perangin-angin Kutabuluh. Informasi tersebut bersumber dari kajian akademik antropolog Masri Singarimbun yang selama ini justru banyak dijadikan rujukan.

Alih-alih diuji secara kritis, pernyataan tersebut langsung menuai penolakan. Hal serupa terjadi saat beredar dokumentasi video pesta adat perkawinan antara Perangin-angin Sebayang dan Perangin-angin Bangun. Video tersebut secara jelas memperlihatkan berlangsungnya upacara adat yang lengkap dan meriah, bertentangan dengan anggapan bahwa perkawinan tersebut melanggar adat dan tidak mungkin disertai prosesi adat.

Perdebatan Sembiring Kembaren

Kontroversi berlanjut ketika diungkap fakta bahwa di wilayah Karo Barat, khususnya Berneh, Sembiring Kembaren dapat kawin dengan Sembiring lain, kecuali sesama Kembaren. Pandangan ini berbeda dengan pemahaman umum yang selama ini merujuk pada buku Adat Istiadat Karo karya P. Tamboen (1952).

Dalam buku tersebut, Sembiring dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan pantangan makan daging anjing, dengan aturan bahwa Sembiring satu kelompok tidak dapat kawin dengan kelompok yang sama. Sembiring Kembaren bahkan disebut tidak dapat kawin dengan Sembiring manapun karena dianggap “kembaran” dari kedua kelompok tersebut.

Pandangan ini kemudian dikritisi dari dua sisi. Pertama, secara linguistik, istilah “kembar” dalam bahasa Karo adalah rindu, bukan kembaren, sehingga alasan tersebut dinilai tidak relevan. Kedua, pola larangan kawin yang ditulis P. Tamboen dinilai berlaku terbatas di wilayah Karo Timur dan tidak dapat digeneralisasi ke seluruh Tanah Karo.

Sebagai bukti, ditunjukkan sejarah desa-desa di Karo Barat seperti Kuta Pengkih di Liang Melas Gugung dan Desa Limang, yang sejak ratusan tahun lalu telah mencatat perkawinan antara Sembiring Kembaren dengan Sembiring Gurukinayan maupun Sembiring Berahmana.

Ketika Fakta Membungkam Perdebatan

Fakta-fakta historis dan empiris tersebut pada akhirnya membuat perdebatan mereda. Namun, yang tampak bukanlah munculnya pengakuan atas pengetahuan baru, melainkan keengganan untuk merespons lebih lanjut.

Diskusi mengenai kebudayaan Karo kerap diperlakukan sebagai arena pertarungan, bukan ruang ilmiah. Mengakui adanya temuan baru sering kali dipersepsikan sebagai kekalahan, bukan sebagai proses belajar.

Larangan Kawin: Bukan Sekadar Keturunan

Pola serupa juga terlihat dalam pembahasan perkawinan antara Karo-karo Barus dan Karo-karo Surbakti di wilayah Karo Jahe, sebagaimana tercatat dalam buku Urung Senembah karya Wan Chaidir Barus.

Temuan ini sekaligus membantu menjelaskan sistem four–five folds structure di wilayah Deli, yang melibatkan empat urung Karo dan satu pendatang, yakni Sultan Deli. Dalam konteks ini, larangan atau izin kawin tidak selalu berkaitan dengan garis keturunan semata, melainkan dapat menjadi bagian dari tuntutan struktur sosial dan politik.

Struktur serupa juga tampak di Karo Barat, di mana Sembiring Kembaren berperan sebagai anak beru tua Sibayak Kutabuluh, sebagaimana Sultan Deli berperan sebagai anak beru tua Datuk Sunggal di wilayah Deli.

Kritik terhadap Mentalitas Dogmatis

Persoalan utama yang mengemuka adalah cara berpikir yang membekukan adat sebagai kebenaran mutlak. Apa yang telah ditulis dalam buku-buku lama diulang tanpa kritik, sementara temuan lapangan dan kajian baru dianggap sebagai gangguan terhadap keyakinan yang sudah mapan.

Dalam kerangka berpikir seperti ini, larangan kawin hampir selalu dipahami semata-mata sebagai persoalan satu keturunan, tanpa mempertimbangkan kemungkinan bahwa aturan tersebut lahir dari kebutuhan struktur sosial.

Sikap tersebut melahirkan mentalitas yang takut pada pembaruan pengetahuan, bergantung pada otoritas lama, dan pada akhirnya bersifat anti-ilmu pengetahuan.