Sejarah Desa Juhar Tanah Karo: Asal Usul, Pohon Juhar, dan Pembagian Wilayah Adat

Desa Juhar merupakan salah satu wilayah tua di Tanah Karo yang tumbuh dari proses panjang perpindahan, pembukaan hutan, dan kesepakatan adat antarklan. Sejarah awal Juhar tidak dapat dilepaskan dari merga Tarigan yang berasal dari Desa Lingga.
Perpindahan ini dilakukan untuk mencari lahan pemukiman dan pertanian baru. Kedatangan merga Tarigan berlangsung secara bertahap. Gelombang pertama hanya terdiri dari beberapa keluarga inti, kemudian disusul oleh keluarga-keluarga lain pada tahun-tahun berikutnya.
Wilayah yang mereka temukan berada di kaki perbukitan, memiliki tanah subur, hutan lebat, serta aliran sungai yang mampu mengairi seluruh kawasan. Kondisi alam inilah yang mendorong kelompok Tarigan menetap dan mulai membuka hutan untuk membangun pemukiman.
Pohon Juhar: Asal-usul Nama Desa
Pada masa awal pembukaan hutan, masyarakat menemukan pohon-pohon besar yang tidak berbuah, berbatang lurus, rimbun, dan sangat kokoh. Pohon ini kemudian dikenal dengan sebutan Pohon Juhar.
Pohon Juhar memiliki fungsi penting:
Tempat berteduh saat merambah hutan
Bahan papan berkualitas tinggi dan tahan lama
Penanda arah perjalanan di tengah hutan
Salah satu Pohon Juhar ditemukan lebih besar dan lebih rimbun dibandingkan yang lain. Lokasinya diyakini sebagai pusat dataran rendah wilayah pemukiman. Rumah-rumah awal didirikan menghadap pohon ini, agar mudah dijadikan penunjuk arah saat bepergian.
Seiring waktu, orang-orang dari daerah lain yang melintas selalu singgah dan berteduh di bawah Pohon Juhar tersebut. Dari sinilah istilah “Juhar” mulai digunakan untuk menyebut wilayah pemukiman merga Tarigan.
Awal Interaksi Sosial dan Sistem Barter
Setelah wilayah mulai terbuka, masyarakat Juhar melakukan interaksi dengan daerah lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sistem ekonomi yang berlaku saat itu adalah barter, berupa pertukaran hasil hutan, pertanian, dan ternak.
Tempat pertemuan dan persinggahan antarkelompok masyarakat selalu berpusat di bawah Pohon Juhar, sehingga kawasan ini berkembang menjadi simpul sosial dan ekonomi.
Rumah Siwaluh Jabu dan Tata Ruang Desa
Dalam tradisi Karo, pemukiman awal dibangun dalam bentuk rumah komunal yang disebut Rumah Siwaluh Jabu. Pendirian rumah ini didahului oleh ritual adat yang melibatkan seorang dukun untuk menentukan tapak (lokasi) yang tepat.
Salah satu ritual penting adalah pemilihan sebatang Pohon Juhar oleh seorang gadis dari keluarga berpengaruh. Cara tumbangnya pohon dan bunyinya dipercaya sebagai tanda restu alam semesta bagi rumah yang akan dibangun.
Proses adat ini dikenal dengan:
Ngempak (musyawarah)
Ngerintak kayu (mencari dan menebang kayu)
Kayu yang telah ditebang diangkut secara gotong royong, lalu ditutup dengan acara makan bersama sebagai bentuk syukur.
Rumah Siwaluh Jabu pertama diperkirakan berdiri pada tahun 1870, ketika Desa Juhar mulai berkembang pesat.
Masuknya Merga Lain dan Pembentukan Desa
Selain merga Tarigan, Desa Juhar juga dibangun oleh:
Merga Peranginangin (datang sekitar 1800-an)
Merga Ginting (datang dalam kurun waktu yang hampir sama)
Ketiga merga ini kemudian membuat kesepakatan adat pembagian wilayah, untuk mencegah konflik tanah dan menjaga keharmonisan antargenerasi.
Dari kesepakatan tersebut, Desa Juhar terbagi menjadi tiga wilayah adat:
Juhar Tarigan
Juhar Peranginangin
Juhar Ginting
Pembagian ini berlaku turun-temurun dan menjadi ciri khas Desa Juhar hingga kini.
Juhar Tarigan: Cikal Bakal Desa Juhar
Juhar Tarigan merupakan wilayah tertua dan pusat awal berdirinya Desa Juhar. Diperkirakan mulai berkembang sejak tahun 1700-an, dengan luas wilayah sekitar 962 hektar.
Pada tahun 1960, masyarakat Juhar Tarigan membangun sebuah Balai Adat dari batang Pohon Juhar yang telah tua. Balai ini memiliki tiga fungsi utama:
Lantai 1: Penyimpanan kayu bakar
Lantai 2: Tempat musyawarah
Lantai 3: Lumbung padi
Balai ini menjadi simbol persatuan dan kekuatan adat masyarakat Juhar Tarigan.
Tokoh-tokoh penting Juhar Tarigan antara lain:
Narum Tarigan (Raja Urung, 1920)
Padiah Tarigan (Kepala Desa, 1945–1969)
Pa Jenda Ras Tarigan (1960–1970)
Kapalen Tarigan (1970–1978)
Juhar Peranginangin
Juhar Peranginangin memiliki luas wilayah 952 hektar dan berkembang dari pemukiman merga Peranginangin yang telah lama menetap di Juhar.
Masyarakatnya mayoritas bertani dan memegang adat turun-temurun yang kuat. Beberapa tokoh pemerintahan setelah kemerdekaan antara lain:
Kopon Pinem (1969–1978)
Sudin Pinem (1978–1980)
Juhar Ginting
Juhar Ginting memiliki luas wilayah 1.352 hektar dan dikenal sebagai lumbung padi Desa Juhar karena sistem irigasi alami dari sungai pegunungan.
Wilayah ini terbagi menjadi:
Rumah Berneh
Rumah Tanduk
Rumah Gugung
Sigerat Lembu
Tokoh pemerintahan yang pernah menjabat antara lain:
Pengarapen Ginting (1945–1969)
Ngusih Ginting (1969–1991)
Juhar dan Awal Pemerintahan Republik Indonesia
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, masyarakat Juhar menyambut kemerdekaan dengan antusias. Desa Juhar kemudian ditetapkan sebagai Ibu Kota Kecamatan Juhar.
Sebagai bentuk dukungan terhadap Republik Indonesia, masyarakat Juhar Peranginangin menyerahkan lahan secara cuma-cuma untuk pembangunan:
Kantor Camat
Kantor Polisi
Fasilitas Militer
Langkah ini menandai dimulainya pemerintahan Republik Indonesia di Juhar.
Sejarah Desa Juhar adalah kisah tentang adat, gotong royong, dan kebijaksanaan leluhur. Pembagian wilayah berbasis merga, penghormatan terhadap alam, serta kesepakatan adat yang dijaga lintas generasi menjadikan Juhar sebagai salah satu desa adat penting di Tanah Karo.