Sejarah PO. Sinabung Jaya: Dari Motor Kitik Tahun 1930-an hingga Menjadi Ikon Transportasi Karo

Foto PO. Sinabung Jaya nomor 7 trayek Kabanjahe _ Medan PP, merk Chevrolet tahun 1961 sebagai mobil pengganti dari mobil sedan Plymouth tahun 1956 ayahanda Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan, dari kiri berdiri Ibunda Goto br Sitepu yang sekarang sudah berumu

Transportasi darat di Tanah Karo memiliki jejak panjang yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan PO. Sinabung Jaya, salah satu perusahaan otobus tertua di Sumatera Utara. Nama ini bukan sekadar label komersial, ia adalah simbol perjalanan hidup, kerja keras, dan transformasi sosial masyarakat Karo selama lebih dari satu abad.

Perjalanan panjang ini dimulai dari seorang pemuda sederhana bernama Reti Sembiring Gurukinayan, yang lahir di kaki Gunung Sinabung dan tumbuh sebagai anak petani. Tidak pernah menjalani sekolah formal, tetapi bekerja dengan ketekunan dan disiplin yang pada akhirnya menjadikannya perintis transportasi antar-kota Kabanjahe–Medan.

Foto kenderaan  roda mati tahun 30 (tiga puluhan), yang pada waktu itu disebut “motor kitik” oleh masyarakat Karo di Dataran Tinggi Karo.

Artikel panjang ini menelusuri sejarah hidup Reti, perkembangan armada dari “motor kitik” hingga bus Chevrolet dan GMC, serta perjalanan generasi penerus yang membentuk merek Sinabung Jaya menjadi legenda transportasi masyarakat Karo.

Awal Cerita, Latar Keluarga dan Masa Kecil (1904–1915)

Reti Sembiring Gurukinayan lahir pada tahun 1904 di Desa Gurukinayan, sebuah kampung yang terletak persis di bawah kaki Gunung Sinabung, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya Ngupahi Sembiring adalah petani yang cukup terpandang di kampung, sedangkan ibunya Peraten br Sitepu berasal dari Berastepu, desa yang bertetangga langsung dengan Gurukinayan.

Sebagai keluarga petani, kehidupan mereka sederhana namun penuh nilai-nilai budaya Karo. Tugas anak sulung seperti Reti tidak ringan: menjaga adik-adik, membantu orang tua di ladang, dan ikut bekerja sejak kecil. Dalam masyarakat Karo, anak sulung memiliki kewajiban moral untuk menjadi panutan bagi saudaranya, sehingga keberhasilan atau kegagalannya sering dianggap representasi keluarga secara keseluruhan.

Di masa kecilnya, Reti tidak pernah mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal. Situasi politik kolonial, kondisi desa yang terpencil, dan beban ekonomi membuat sekolah menjadi kemewahan. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk bermimpi lebih besar daripada sekadar menjadi petani.

Ketertarikan pada Dunia Transportasi: Dari Ladang ke Jalan Raya

Jalan utama yang menghubungkan Berastagi—Kabanjahe—Medan pada masa itu masih berupa jalan berbatu dan tanah merah. Kendaraan bermotor adalah barang langka. Namun roda ekonomi masyarakat mulai bergerak, dan transportasi menjadi kebutuhan baru.

Saat melihat bus “roda mati” atau motor kitik yang beroperasi di dataran tinggi Karo, hati Reti terpikat. Ia belum bisa membaca, belum bisa menulis, tetapi memiliki intuisi kuat bahwa kendaraan bermotor kelak akan mengubah kehidupan masyarakat Karo.

Pada 1915, ketika usianya baru 11 tahun, Reti mengambil keputusan besar meninggalkan rumah, menuju Batukarang, dan bekerja sebagai kenek (dalam bahasa karo) (kernet) di perusahaan milik seorang toke bernama Atol Bangun.

Langkah ini menandai permulaan perjalanan panjangnya.

Masa-Masa Menjadi Kenek: Sekolah Kehidupan Sesungguhnya

Di masa itu, menjadi kenek bukan pekerjaan sembarangan.
Seorang kenek harus:

  • kuat fisik, karena menggantung di pintu bus sepanjang perjalanan

  • cepat bergerak

  • jujur dalam mengelola ongkos

  • menghormati sopir, yang pada masa itu adalah profesi bergengsi

  • mampu merawat kendaraan

Reti menjalani semua itu dengan penuh disiplin.
Ia selalu datang paling pagi ke pool, membersihkan bus, mengecek tekanan angin ban, membantu sopir mengencangkan baut, dan memastikan kendaraan layak berjalan.

Tidak berhenti sampai di sana, pada malam hari ia juga mencuci bus, mencuci pakaiannya sendiri, bahkan mencuci pakaian sopirnya bukan karena disuruh, tetapi karena ia ingin menunjukkan dedikasi total.

Tindakan kecil, tetapi itulah yang membuat para sopir mempercayainya dan melindunginya dari risiko digantikan orang lain.

Dalam masa senggang, ia belajar membaca dan berhitung secara otodidak. Ia memahami bahwa kemampuan ini sangat penting jika suatu saat ingin memiliki kendaraan sendiri.

Dari Kenek Menjadi Sopir

Di masa kolonial, profesi sopir adalah simbol status sosial.
Tidak semua kenek bisa naik kelas menjadi sopir, karena:

  • hanya sopir yang menentukan siapa keneknya

  • hanya kenek yang tekun dan setia yang mendapat kesempatan belajar menyetir

  • tidak ada sekolah mengemudi pada masa itu

Karena kedisiplinannya, Reti akhirnya diberi kesempatan belajar menyetir.
Ia menguasai cara kerja mesin, sistem pengereman, hingga teknik menghadapi jalur naik-turun di dataran tinggi Karo.

Dan pada akhirnya, ia menjadi sopir tetap di jalur Karo–Medan.
Dari sinilah ia mulai menabung sedikit demi sedikit, bermimpi memiliki bus sendiri.

Dari Pengemudi Menjadi Pemilik Bus

Dengan kerja keras bertahun-tahun, ditambah kebiasaan hidup hemat, Reti akhirnya mampu membeli kendaraan sendiri. Inilah momen yang mengubah garis hidupnya.

Pada tahun-tahun berikutnya, armada awal yang dimilikinya termasuk bus-bus yang pada masa itu disebut masyarakat sebagai motor kitik. Bentuknya sederhana, rodanya terbuat dari bahan keras tanpa ban karet seperti kendaraan modern. Namun bagi masyarakat Karo, kendaraan ini sudah merupakan inovasi besar.

Foto Bus  PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek  GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe – Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemuidan hari.

Setelah memiliki satu unit, Reti merawatnya sendiri, mengemudikannya sendiri, dan mengatur trayeknya sendiri. Pendapatan mulai meningkat. Namanya mulai dikenal sebagai salah satu pemilik bus paling ulet di kawasan Karo.

Keluarga Besar Sembiring Gurukinayan dan Nilai Kharisma

Reti menikahi Releng br Sitepu dan dianugerahi sepuluh anak. Keluarga besar ini sangat dihormati di Gurukinayan, bukan karena kekayaan, tetapi karena wibawa dan kebaikan hati.

Ketika Reti meninggal pada 23 September 1964, masyarakat memutuskan untuk menguburnya dalam posisi duduk di dalam peti khusus yang dibuat oleh anak beru. Kepercayaan masyarakat menyebutkan bahwa seseorang dengan kharisma besar akan mampu menurunkan wibawanya kepada anak-anaknya bila dikuburkan dalam posisi tersebut.

Dan kenyataannya, sebagian kharisma itu memang turun kepada anak sulungnya, Kueteh Sembiring Gurukinayan.

Lahirnya Nama “Sinabung Jaya”: Peran Kueteh Sembiring

Kueteh Sembiring Gurukinayan adalah tokoh penting dalam sejarah Sinabung Jaya.
Beliau dikenal cerdas, bertanggung jawab, dan dihormati masyarakat. Nama "Sinabung Jaya" lahir dari gagasannya.

Foto Alm.Drs.  Kueteh Sembiring Gurukinayan, Penggagas  Merk “ Sinabung Jaya”

Pemilihan nama itu bukan asal-asalan. Gunung Sinabung bukan sekadar simbol geografis—ia adalah identitas tanah kelahiran keluarga besar Sembiring Gurukinayan. Memberi nama perusahaan transportasi dengan nama gunung berarti mengangkat harkat kampung halaman, sekaligus menandai harapan agar usahanya terus “menjulang” seperti Gunung Sinabung.

Di masa kepemimpinannya (1965–awal 1970-an), armada berkembang, trayek diperluas, dan perusahaan semakin dikenal sebagai otobus andalan masyarakat Tanah Karo.

Armada Bersejarah: Chevrolet, Plymouth, hingga GMC

Sejumlah foto sejarah memperlihatkan perkembangan armada Sinabung Jaya:

1. Motor Kitik – Era 1930-an

Kendaraan ban mati yang menjadi cikal bakal transportasi komersial Karo.

2. Bus PMG GMC 150 (1957)

Salah satu unit penting yang kemudian menjadi dasar berdirinya Sinabung Jaya modern.

3. Chevrolet 1961 – Nomor 7 dan Nomor 10

Dua unit Chevrolet menjadi ikon masa transisi dari bus-bus awal ke era kendaraan modern.
Bahkan ada foto bersejarah di Parik Lau Gurukinayan—bus, sungai, dan para remaja Karo yang kini menjadi jejak sejarah tak ternilai.

2006: Modernisasi Armada

Memasuki tahun 2000-an, Sinabung Jaya memperbarui armadanya dengan bus-bus modern berpendingin udara, suspensi lebih baik, dan mesin baru. Foto armada 2006 menjadi bukti bahwa perusahaan ini tidak berhenti berkembang.

Makna Kehadiran Sinabung Jaya bagi Masyarakat Karo

Selama lebih dari satu abad, Sinabung Jaya telah memainkan peran yang sangat besar:

1. Jalur Penghubung Ekonomi

Menghubungkan Kabanjahe–Berastagi–Medan, membantu mobilitas masyarakat, perdagangan, dan pertumbuhan wisata.

2. Mobilitas Sosial

Menjadi bukti bahwa seorang pemuda desa buta huruf bisa menjadi pengusaha besar melalui disiplin dan ketekunan.

3. Warisan Budaya dan Identitas Karo

Sinabung Jaya bukan sekadar transportasi; ia adalah bagian dari sejarah masyarakat Karo sendiri.

4. Warisan Keluarga

Dari Reti → Kueteh → generasi berikutnya, perusahaan ini menjadi teladan bisnis keluarga yang bertahan lintas zaman.

Sebuah Perjalanan Panjang yang Belum Selesai

Sejarah panjang PO. Sinabung Jaya menunjukkan bahwa keberhasilan bukan datang dari pendidikan tinggi atau modal besar, tetapi dari:

  • kerja keras

  • kedisiplinan

  • hasrat untuk maju

  • kejujuran

  • rasa memiliki

  • kesetiaan pada nilai-nilai keluarga

Dari seorang kenek berusia 11 tahun di Batukarang hingga armada modern yang mengangkut ribuan penumpang setiap bulan, kisah ini menjadi inspirasi besar bagi masyarakat Karo dan Sumatera Utara.

Sinabung Jaya bukan hanya nama.
Ia adalah kisah tentang perjuangan, kesederhanaan, dan cita-cita yang melampaui batas zaman.