Ada Riwayat Apa antara Deli, Karo dan Medan?

Karogaul.com - Tulisan ini terinspirasi
oleh artikel Juara R. Ginting berjudul “Inter-group Relations in North Sumatra”
dalam Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social
Perspectives (2002) terbitan bersama oleh IIAS-Belanda dan ISEAS-Singapor (Halaman
384-400) Buku yang diedit oleh G. Benjamin dan C. Chou ini berisikan
makalah-makalah yang diseminarkan di Singapore pada tahun 1997 atas kerjasama
beberapa universitas di Eropah dan Asia.
Setelah
menghidangkan banyak data sejarah, artikel itu menggugat keras anggapan bahwa
Karo adalah penduduk pendatang di Deli. Sekalian dia menggugat wilayah Deli
yang mengacu pada defenisi kolonial. Lebih jauh dari itu, dia membongkar
kelemahan teori-teori ilmiah tentang migrasi yang, menurutnya, tidak memperhitungkan
jalan pikiran orang-orang yang ditelitinya itu sendiri. Lebih gawat lagi,
katanya, generasi muda dari masyarakat yang diteliti itu kemudian menggunakan
teori-teori ilmiah itu untuk mengartikan gejala-gejala budayanya sendiri.
Contoh
paling telak dia tampilkan adalah pembagian Taneh Karo ke Karo Gugung dan Karo
Jahe. Gugung (dataran tinggi) dan jahe (hilir) bukanlah bandingan sepadan,
katanya. Bandingan sepadan seharusnya antara gugung dengan berneh (dataran
rendah) atau antara jahe dengan julu (hulu).
Bukannya
tertarik mendalami mengapa orang-orang Karo membandingkan yang tidak sepadan
itu, para ilmuwan dan pemerintah kolonial langsung menterjemahkan Karo Gugung
sebagai Dataran Tinggi Karo dan Karo Jahe sebagai Dataran Rendah Karo (yang
seharusnya Karo Hilir). Apa pula terjemahannya Karo Berneh kalau Karo Jahe
sudah diterjemahkan dengan Dataran Rendah Karo (?), gugatnya.
Kasus
yang lebih parah lagi terjadi pada pengertian taneh kemulihen dan taneh
perlajangen. Tulisan-tulisan masa kolonialmenterjemahkan taneh kemulihen
sebagai tanah asal, dan taneh perlajangen sebagai tempat tinggal baru di luar
tanah asal. Terjemahan seperti ini memaksa orang-orang Karo sendiri percaya
bahwa keberadaan mereka di Karo Jahe adalah sebagai pendatang. Padahal, kata
Ginting, klasifikasi kemulihen dan lajang berlaku tidak hanya antara Karo
Gugung dan tempat-tempat di luarnya, tapi juga antara rumah kuta dengan
barung-barung yang berada di wilayah satu kampung yang sama, baik di Karo
Gugung maupun di Karo Jahe. Dengan kata lain, baik di Karo Gugung sendiri
maupun di Karo Jahe sendiri sebuah kampung dapat dibagi menjadi ingan kemulihen
dengan ingan lajang.
Apa
artinya ini semua (?), seru Ginting dalam menyimpulkan tulisannya itu. Lalu
lanjutnya: “Migrasi tidak harus selalu menunjukan adanya gejala perpindahan
sekelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain. Bisa juga terjadi
sebaliknya, bahwa satu tempat bergerak dari satu kelompok masyarakat ke
kelompok masyarakat lainnya.” (halaman 397)
Ginting
tidak menjelaskan bagaimana kita bisa melihat adanya perpindahan suatu tempat
dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain. Tapi dari
keseluruhan artikelnya itu dapat jelas dimengerti bahwa perpindahan yang
dimaksud ada di kepala manusia pendukung kebudayaan itu sendiri. Dengan ini dia
membuat kejutan kecil di kalangan ilmuwan sosial internasional. Saya katakan
kejutan kecil karena pendekatan yang dia lakukan bukanlah barang baru di
kalangan strukturalis yang lebih mengutamakan pikiran-pikiran dari dalam
masyarakat itu sendiri dari pada melemparkan konsep-konsep luar ke dalam
masyarakat yang diteliti.
Dengan
pendekatan seperti itu, Ginting menjelaskan sebab-musabab terjadinya Perang
Sunggal yang kesohor itu. Menurut dia, Deli dapat dipandang sebagai sebuah
perserikatan antara 4 kejuruan Melayu (Denai, Percut, Deli, Sepulu Dua Kuta
Hamparan Perak) dan 4 urung Karo (Senembah, Suka Piring, Sepulu Dua Kuta Lau
Cih, Sabernaman). Untuk urusan-urusan dagang lewat laut, Sultan Deli adalah
pemimpin tertinggi dari perserikatan ini. Tapi untuk urusan-urusan perbatasan
wilayah, Datuk Sunggal dari Urung Sabernaman adalah pemimpin tertinggi dengan
gelar ulun jandi (hulu perjanjian).
Kepemimpinan
ganda seperti ini diwujudkan dengan kewajiban bahwa permaisuri Deli adalah beru
Surbakti dari Sunggal, dengan mana Sunggal tetap menjadi kalimbubu Deli.
Kepemimpinan ganda terdapat di banyak tempat di Indonesia. Di artikelnya itu,
Ginting mengajak pembaca untuk membandingkannya dengan hasil penelitian Barbara
W. Andaya berjudul “Upstream and Downstreams in Early Modern Sumatra” di The
Historian 57, 1995 (no.3: 537-52) Namun, Ginting sendiri di beberapa ceramahnya
di Belanda dan Jerman telah berkali-kali menunjukan bahwa kepemimpinan ganda
seperti itu bisa didapati di dalam setiap kampung Karo. Salah satu contohnya
dapat dilihat di kolomnya berjudul “Rumah dan Tanah: Kepemimpinan Ganda” di
Sora Mido edisi 3 (2004). Di situ dia menjelaskan bahwa setiap kampung Karo
punya dua pengulu bergelar Pengulu Rumah dan Pengulu Si Lebé Merdang (atau Ulun
Jandi). Untuk hubungan dengan dunia luar, Pengulu Rumah sebagai pemimpin
tertinggi, tapi untuk urusan intern kampung, Pengulu Si Lebé Merdang menjadi
pemimpin tertinggi.
Perang
saudara banyak terjadi di Karo ketika pemerintah kolonial menerapkan sistim
pemimpin tunggal. Umumnya Pengulu Rumah yang terangkat menjadi pemimpin
tunggal, sedangkan Si Lebé Merdang dianggap tidak ada. Lihat saja perselisihan
antara Sibayak Pa Pelita dengan Sibayak Pa Mbelgah serta antara Raja Urung Lima
Senina dengan Pa Garamata. Revolusi Sosial di Sumatra Timur pada 1950an tak
terlepas dari masalah struktural ini, meskipun para sejarawan sering
menyebutnya sebagai konflik antara feodalis/kolonialis dengan nasionalis/
sosialis/ komunis.
Baca juga : Lakukan hal ini untuk mendapatkan uang dari jualan online via internet, Mulai bisnis dari #dirumahaja !
Masalah
antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal sendiri mulai terjadi ketika
perusahaan-perusahaan asing memperluas perkebunan mereka dengan melakukan
perambahan hutan di wilayah keempat urung Karo itu. Ada dua masalah utama atas
perluasan perkebunan ini, kata K. Pelzer dalam tulisannya berjudul Planters
against Peasants (1982). Pertama, bukan hanya secara ekonomis, juga secara
sosial budaya orang-orang Karo Jahe sangat tergantung pada hutan. Ke dua,
perusahaan-perusahaan asing itu hanya membayar sewa tanah kepada Sultan Deli.
Dengan
mengutip ulasan Pelzer itu, J.R. Ginting mengungkapkan kemarahan orang-orang
Karo Jahe sebagai berikut: “Kai ka dalenna Sultan Deli ngaku raja ku kutanta
énda. Tapak rumahna ah pé ajangta denga. Rettap ngaténa ras si gedang igungna
ah kerina!” Amukan yang dahsyat sekali, tulis Pelzer berkenaan dengan Perang
Sunggal. Ginting sendiri lebih menekankan adanya ajukan orang-orang Karo
terhadap Datuk Sunggal untuk mengorganisir penyerangan terhadap bangsal-bangsal
tembakau asing, karena kedudukannya sebagai ulun jandi Deli.
Perang
Sunggal hanya dapat dipadamkan setelah Deli Maschapij mendatangkan bala tentara
kolonial dari Riau. Itupun memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Datuk Sunggal
tertangkap di tempat persembunyiannya di sebuah hutan dekat Nangbelawan (Karo
Gugung) pada tahun 1902. Separoh penduduk Lingga berpihak pada Belanda dan
menunjukan dimana tempat persembunyian Datuk Sunggal. Separoh lainnya marah
sekali atas tertangkapnya Datuk Sunggal. Mereka membumihanguskan rumah mereka
sendiri dan mengungsi meninggalkan Lingga.
Baca Juga : Daftar Panggilan Kerabat Dalam Bahasa Karo
Di
pihak lain, kekuasaan Sultan Deli semakin besar atas dukungan keuangan dari
Deli Maschapij dan militer dari pemerintah kolonial. Ketika Deli Maschapij
menghadiahkan sebuah istana kepadanya, dia menunjuk lokasi Istana Maimoon
sekarang sebagai tempatnya. Mengapa di sana, dari dulu dia kan tinggal di
Labuhan Deli?
Menurut
Pelzer, Sultan Deli melakukan itu untuk membangun image bahwa dia berkuasa
tidak hanya terhadap orang-orang Melayu tapi juga terhadap orang-orang Karo.
Lokasi Istana Maimoon itu adalah bagian dari wilayah Urung Suka Piring, taneh
Sembiring Milala ras Karo Sekali! Tak heran kalau di masa Revolusi Sosial
keluarga Sultan Deli mengaku Sembiring Milala.
Di
bawah ini saya sertakan sebuah peta yang dibuat oleh E.A. Halewijn (Assistent
Resident van Deli) yang menggambarkan batas- batas wilayah Kejuruan Melayu dan
Urung Karo di Deli (diterbitkan dalam Tijdscrift voor Indische Taal- Land- en
Volkenkunde no. 23, 1876) Pada peta terlihat jelas bahwa pusat kota Medan
terletak di wilayah Urung Suka Piring, tak jauh dari pertemuan antara Sungai
Deli dengan Sungai Baburah. Pertemuan kedua sungai ini sekaligus menjadi tapal
batas antara Urung Suka Piring dengan Urung Sepulu Dua Kuta Lau Cih.
Oleh Loreta Karo Sekali
--------------------------------------
Tempah Kesing KARO & BATAK
Pakai Nama, Gambar & Motif
Pakai Nama, Gambar & Motif