Averiana Barus: Ketika Uis Karo Menemukan Rumah Baru di Dunia Modern

Di balik setiap helai uis Karo, ada sejarah, identitas, dan kebanggaan. Namun bagi banyak anak muda, kain itu perlahan kehilangan tempatnya. Sampai akhirnya, seorang perempuan bernama Averiana Barus memutuskan untuk melawan arus dan membawa uis ke dunia yang lebih modern, tanpa menghilangkan sakralnya nilai budaya.
Uis, Jantung Hati Seorang Perempuan Mengakar Karo
Bagi si beru karo ini, uis bukan sekadar kain. Ia adalah identitas, kenangan, dan jantung budaya. Ia tumbuh di Tanah Karo, lalu merantau ke Bandung sejak SMP. Menyesuaikan diri bukan hal mudah bahasa, lingkungan, hingga kultur baru. Namun lewat musik, teater, kegiatan rohani, hingga kumpul-kumpul bersama komunitas Karo, Ave merasa kekaroannya tetap hidup.
Saat kuliah di Universitas Padjadjaran, rasa cintanya pada budaya Karo makin kuat. Bahkan skripsinya pun meneliti cerita rakyat Karo. Semua proses itu, tanpa ia sadari, menjadi pondasi dari perjalanan besarnya kelak.
Dari Meja Redaksi ke Mesin Jahit
Selepas kuliah, Averiana Barus pindah ke Medan. Ia bekerja sebagai jurnalis—pekerjaan yang terasa keren, tetapi hatinya tidak akan menetap di sana selamanya. Suatu hari, ketika meliput pameran UMKM, ia merasa ada yang mengganggu: produk Karo hampir tidak pernah tampil.
Sesekali hanya terlihat kopi atau minyak karo. Sementara di pameran kain Nusantara, ulos selalu tampil megah di depan. “Di mana uis?”, pikirnya. Kenapa kain budaya Karo selalu berada di belakang?
Sebuah tugas kuliah pemasaran mengubah segalanya. Ia mencoba membuat tas dan aksesori berbahan uis Karo, kemudian memasarkan lewat media sosial. Ternyata, responsnya mengejutkan. Banyak yang tertarik, terutama orang Karo yang bangga melihat identitasnya dihadirkan secara modern.
Tetapi perjalanan itu tidak manis. Averiana Barus belajar otodidak lewat YouTube, lalu menumpuk kegagalan: potongan kain salah, lem berantakan, sobek, mati ide di tengah jalan. Padahal, selembar uis bisa mencapai Rp 600.000. Ia bahkan pernah kehilangan tabungan, berhenti kerja, dan hanya punya uang Rp 900.000—uang yang kemudian ia gunakan untuk membeli mesin jahit bekas.
Namun justru dari keterdesakan itulah semangatnya tumbuh.
Panggung Besar Bernama Festival Karo
Akhir 2014, pesanan naik drastis. Produk yang tak laku, tiba-tiba dicari. Pada Festival Karo 2015, Averiana Barus mendapat lapak untuk memamerkan karyanya. Di situlah nama Uwish Details mulai dikenal.
Uis Karo muncul sebagai tas, dompet, gaun, aksesori—lebih modern, lebih dekat dengan kehidupan masa kini. Bukan untuk menghilangkan sakralnya kain, tetapi agar budaya ini hidup dan dipakai, bukan hanya disimpan.
Rumah Uis: Ketika Tradisi Punya Tempat Baru
Tahun 2017, Averian Barus mengambil langkah besar: membuka galeri yang ia beri nama Rumah Uis. Tempat di mana orang bisa melihat, menyentuh, dan merasakan uis sebagai bagian dari gaya hidup.
Ia mempelajari dunia digital, merangkul jejaring, mengajak musisi dan influencer Karo untuk memakai produknya. Tak berhenti di situ Ave membuat video musik modern bertema luxury dengan gaun uis, lalu mengunggahnya ke YouTube.
Hasilnya luar biasa: 1 juta penonton dalam tiga bulan, kini tembus 9,2 juta tayangan—rekor baru dalam musik Karo.
Pengakuan dan Penghargaan
Karyanya menggerakkan banyak orang. Tahun 2018, ia dinobatkan sebagai Perempuan Inspiratif Tabloid Nova. Disusul Medan Most Inspiring Award dan Best Designer Ethnic Ready to Wear.
Namun bagi Averiana Barus, semua penghargaan itu bukan pujian, melainkan pengingat untuk tetap rendah hati, konsisten, dan beretika.
Untuk Karo, Untuk Bangsa, Untuk Mamak
Di balik keberhasilannya, ada kisah keluarga yang tak semua orang tahu. Orangtuanya kehilangan tiga anak. Kini hanya Ave yang tersisa.
“Mungkin apa pun kebaikan yang kulakukan, akarnya dari ibuku,” begitu kata Averiana Barus kalimat yang menandakan bahwa setiap langkahnya punya alasan yang dalam.
Averiana Barus menunjukkan bahwa tradisi tidak harus diam di masa lalu. Uis Karo, di tangannya, bangkit menjadi simbol identitas yang indah, modern, dan penuh kebanggaan.
Ia adalah bukti bahwa pelestarian budaya bukan hanya soal menjaga, tetapi menghidupkannya kembali di tengah dunia yang berubah.