Gunung Sibuaten: Simbol Identitas Karo yang Terlupakan

Banyak orang Karo hari ini mungkin mengenal nama Pusuk Buhit jauh lebih dulu dibanding Gunung Sibuaten. Padahal, Sibuaten bukan hanya gunung tertinggi di Sumatera Utara, tetapi juga memiliki nilai kosmologi dan sejarah penting bagi budaya Karo sejak masa leluhur. Fenomena ini mencerminkan persoalan lebih besar, minimnya pengetahuan orang Karo terhadap simbol identitas mereka sendiri.

Ketika wacana identitas seperti Karo Bukan Batak bmencuat, Gunung Sibuaten menjadi salah satu simbol penting untuk menunjukkan akar budaya yang berbeda. Namun, jika masyarakatnya sendiri tidak mengenal simbolnya, gerakan identitas ini tentu sulit memiliki fondasi kuat.

Gunung Tertinggi Sumatera Utara, Tapi Banyak yang Tidak Tahu

Gunung Sibuaten berada di kawasan pegunungan Karo dan telah dikenal dalam komunitas pendaki nasional sebagai salah satu destinasi trekking menantang. Namun ironisnya, dalam komunitas Karo sendiri, gunung ini belum sepopuler statusnya.

Sementara itu, gunung seperti Pusuk Buhit — yang menjadi pusat kosmologi Batak Toba justru lebih akrab di telinga sebagian besar masyarakat Karo.

Penyebabnya bukan sekadar kurangnya promosi wisata, tetapi karena kurang terawatnya narasi sejarah Karo itu sendiri.

Peran Sibuaten dalam Tradisi dan Kosmologi Karo

Berdasarkan tradisi agrikultur Karo, Sibuaten memiliki posisi penting dalam ritual merdang, yaitu upacara sebelum menanam padi ladang. Pada tradisi ini, petani Karo menanam bulung simalem-malem (daun ritual) dan meletakkan sirih (suruh) di pusat lahan.

Yang menarik, arah sirih tersebut selalu menunjuk ke Gunung Sibuaten  meski arah lipatan berbeda antara daerah Karo Timur dan Karo Barat:

  • Karo Timur: tangkai sirih mengarah ke Sibuaten

  • Karo Barat: ujung daun mengarah ke Sibuaten

Meski berbeda detail teknis, simbol utamanya sama:

Sibuaten adalah pusat spiritual pertanian dan rumah adat Si Pitu Ruang.

Bahkan, gambaran arsitektur rumah adat Karo kuno diyakini merujuk pada bentuk morfologi gunung ini.

Mengapa Identitas Karo Mudah Tergeser?

Fenomena hilangnya ingatan kolektif ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada beberapa faktor historis yang memengaruhinya:

Faktor Dampak
Minimnya dokumentasi sejarah Budaya Karo banyak tersampaikan melalui lisan, bukan manuskrip
Penetrasi budaya luar lebih cepat Simbol suku lain lebih sering muncul di media dan pendidikan
Modernisasi tanpa pelestarian Generasi muda kehilangan referensi budaya
Fragmentasi identitas Perdebatan etnis sering tak berdasarkan literasi sejarah

Karena itu, bukan hal mengejutkan ketika generasi Karo lebih mengenal budaya lain dibanding budayanya sendiri.

Saat diskusi identitas semakin berkembang. baik melalui media sosial, riset sejarah, hingga gerakan budaya, Gunung Sibuaten mulai kembali disebut.

Simbol ini tidak sekadar bagian dari geografi. Ia mewakili:

  • spiritualitas agraris Karo,

  • sistem rumah adat tradisional,

  • pola kesadaran leluhur,

  • dan fondasi kosmologi suku Karo.

Jika ini terus diperkenalkan dalam ruang publik, maka kesadaran budaya Karo tidak hanya kembali hidup, tetapi juga menjadi bagian penting dalam ilmu antropologi Nusantara.

Apa yang Bisa Dilakukan Generasi Karo Hari Ini?

Untuk memastikan Gunung Sibuaten tidak kembali hilang dari memori kolektif, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:

✔ Dokumentasi digital budaya Karo melalui video, blog, dan kampanye edukasi
✔ Pengembangan wisata sejarah dan ekowisata berbasis identitas lokal
✔ Pengenalan simbol budaya Karo dalam sekolah dan kurikulum lokal
✔ Penguatan literasi sejarah melalui organisasi budaya, komunitas, dan perantau

Identitas bukan hanya soal siapa kita, tetapi juga apa yang kita jaga.

Gunung Sibuaten bukan sekadar bagian dari bentang alam Sumatera Utara. Ia adalah bukti bahwa masyarakat Karo memiliki sejarah dan kosmologi sendiri, yang selama ini kurang disuarakan.

Jika generasi Karo ingin mempertahankan identitas, maka mengenali simbol-simbol budaya seperti Gunung Sibuaten adalah langkah awal yang penting.

Karena sebuah suku tidak akan hilang karena punah, tetapi karena melupakan dirinya sendiri.