Hubungan Sembuyak dan Senina antara Munte dan Manik: Memahami Struktur Sosial Karo yang Asli

Dalam masyarakat Karo, hubungan kekerabatan tidak hanya dibangun berdasarkan merga atau garis keturunan. Ada struktur sosial yang jauh lebih kompleks dan berlapis, terutama ketika membahas hubungan Sembuyak, Senina, dan peran sosial antar kelompok dalam satu urung atau wilayah adat.
Salah satu contoh menarik dapat ditemukan pada hubungan antara Munte dan Manik di dua wilayah besar, yaitu Urung 7 Kuta Ajinembah dan Urung 7 Kuta Tengging.
Perbedaan Relasi di Dua Wilayah
Di wilayah adat Karo, posisi sosial bisa berubah tergantung konteks urung (konfederasi desa). Pada kasus Munte dan Manik, struktur hubungan berbeda tergantung wilayahnya:
| Wilayah Urung | Posisi Munte | Posisi Manik |
|---|---|---|
| 7 Kuta Ajinembah | Sembuyak | Senina |
| 7 Kuta Tengging | Sembuyak | Senina (Manik Uruk) |
Namun yang menarik, hubungan ini tidak bersifat tetap antar wilayah, misalnya:
-
Munte Ajinembah ↔ Manik Uruk Tengging → Sembuyak
-
Munte Tengging ↔ Manik Ajinembah (Manuk Mulia) → Sembuyak
-
Munte Ajinembah ↔ Munte Tengging → Senina, meskipun sama-sama bermerga Munte.
Artinya, merga tidak otomatis menjadi indikator garis keturunan atau status sosial dalam adat Karo.
Merga Bukan Penentu Garis Darah
Contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa dalam sistem sosial Karo lama:
Nama marga (family name) bukan bukti satu garis keturunan.
Yang lebih menentukan adalah:
-
Hubungan sejarah antar desa (kuta)
-
Kesepakatan nenek moyang
-
Fungsi sosial dalam struktur adat
-
Kepemilikan dan pengelolaan wilayah (management of lands)
Inilah alasan mengapa dua orang bermerga sama bisa menjadi Senina, bukan Sembuyak—dan dua orang bermerga berbeda bisa justru Sembuyak.
Kekuasaan di Urung: Contoh Unik dari Tengging
Hal yang semakin menegaskan kompleksitas ini terlihat pada struktur kepemimpinan di Tengging pada masa kolonial.
Meskipun struktur adat menunjukkan bahwa Munte dan Manik menempati posisi penting, yang menjadi Raja Urung bukan salah satu dari mereka, melainkan Girsang, yang justru berstatus Anak Beru.
Lebih menarik lagi:
-
Di Tengging, Girsang → Anak Beru
-
Di Ajinembah, Gersang → Kalimbubu
Pertanyaan pun muncul:
Apakah Girsang di Tengging dan Gersang di Ajinembah berasal dari garis yang sama?
Jawaban tradisional dari mereka yang mengusung narasi Pusuk Buhit biasanya mengklaim:
“Semua merga berasal dari satu sumber.”
Namun pandangan ini dianggap banyak pihak sebagai penyederhanaan sejarah yang justru mengaburkan identitas asli masyarakat Karo.
Bukan Sistem Tarombo, Tapi Sistem Teritorial
Dari keseluruhan hubungan adat di atas dapat ditarik satu kesimpulan besar:
Masyarakat Karo membangun struktur sosial bukan berdasarkan tarombo (genealogi), tetapi berdasarkan sistem wilayah dan fungsi sosial.
Dengan kata lain:
-
Identitas bukan soal darah.
-
Identitas adalah soal peran, posisi sosial, dan keseimbangan hubungan adat.
Inilah yang membuat sistem sosial Karo berbeda dengan sistem Batak lain yang sangat menekankan garis keturunan.
Kasus hubungan antara Munte dan Manik di Ajinembah dan Tengging memperlihatkan bahwa:
-
Sembuyak dan Senina adalah dua konsep berbeda, bukan sinonim.
-
Merga bukan jaminan garis keturunan.
-
Struktur adat Karo bersifat fungsional dan berbasis wilayah.
Memaksakan narasi genealogis tunggal justru berisiko menghapus ciri unik dan identitas asli masyarakat Karo, yaitu sistem sosial yang berlandaskan pada pengelolaan tanah, sejarah wilayah, dan relasi adat, bukan sekadar merga.