Ia Menulis untuk Bertahan: Kisah Hidup Sitor Situmorang, Penyair dari Tanah Batak

Nama Sitor Situmorang adalah salah satu yang paling kuat melekat dalam sejarah sastra Indonesia modern. Ia bukan hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga sebagai wartawan, penulis esai, penerjemah, intelektual publik, hingga pengembara budaya yang menjejakkan hidupnya di banyak kota dunia. Kehadirannya mewarnai masa Angkatan '50, sebuah periode penting setelah wafatnya Chairil Anwar, ketika arah sastra Indonesia mencari bentuk baru dan suara baru.

Lahir dengan nama Raja Usu Sitor Situmorang pada 2 Oktober 1924 di Harian Boho, Samosir, Sitor berasal dari keluarga Batak Toba terpandang. Ayahnya seorang kepala adat dari marga Situmorang, sedangkan ibunya berasal dari marga Simbolon. Lingkungan adat dan budaya Batak inilah yang kelak menjadi salah satu sumber inspirasi terkuat dalam karya-karyanya.

Dari Max Havelaar hingga Paris

Minat Sitor terhadap dunia sastra mulai tumbuh saat masih bersekolah. Kisah yang paling dikenang adalah ketika ia menemukan buku Max Havelaar karya Multatuli saat masih duduk di bangku SMP. Walau belum sepenuhnya mahir berbahasa Belanda, ia menyelesaikan buku itu hanya dalam beberapa hari. Dari sanalah kesadaran kritis dan rasa ingin menulis lahir.

Setelah menempuh pendidikan di HIS, MULO, dan AMS di Batavia, Sitor kemudian berkelana. Ia pernah tinggal di Singapura, Amsterdam, hingga Paris kota yang kelak sering muncul sebagai latar puisi-puisinya.

Perjalanannya ke luar negeri memperluas cakupan pandangan, mempertemukannya dengan gerakan seni modern, eksistensialisme, dan gelombang baru pemikiran pasca-kolonial.

Jatuh-Bangun dalam Politik dan Kebudayaan

Selain sebagai penulis, Sitor aktif dalam kerja-kerja kebudayaan dan jurnalistik. Ia pernah menjadi wartawan di Suara Nasional, Waspada, hingga Berita Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin, ia berada dekat dengan lingkaran kebijakan kebudayaan negara dan menjadi salah satu tokoh yang berpihak pada gagasan revolusi dan kebudayaan nasional.

Namun perjalanan itu tidak tanpa konsekuensi. Pada masa Orde Baru, Sitor dianggap dekat dengan barisan pemikiran kiri dan sempat dipenjara selama hampir tujuh tahun tanpa proses pengadilan. Walau begitu, masa tahanan tidak memadamkan daya kreatifnya. Justru setelah bebas, karya-karyanya berkembang semakin matang dan kontemplatif.

Jejak Karya: Antara Danau Toba, Paris, dan Pencarian Eksistensi

Sitor dikenal sebagai penulis serba bisa. Ia menulis:

  • Puisi

  • Cerpen

  • Drama

  • Esai sastra dan budaya

  • Sejarah lokal Batak

  • Terjemahan karya dunia

  • Naskah film dan kritik sinema

Kumpulan puisinya seperti "Surat Kertas Hijau" (1954), "Dalam Sajak" (1955), hingga "Peta Perjalanan" (1977) menjadi tonggak penting sastra Indonesia. Ia juga ikut terlibat dalam film klasik Indonesia "Darah dan Doa" (1950) bersama Usmar Ismail.

Tema-tema dalam karyanya bergerak luwes: cinta, sejarah, pengalaman politik, identitas budaya Batak, hingga kesunyian kota-kota dunia yang pernah ia singgahi.

Penghargaan dan Warisan Pemikiran

Kontribusi panjangnya dibalas dengan berbagai penghargaan, di antaranya:

  • Hadiah Sastra Nasional

  • SEA Write Award (2006)

  • Francophonie Award (2003)

  • Lifetime Achievement Award – Ubud Writers and Readers Festival (2010)

Menariknya, meski pernah mengalami penolakan politik, karya-karyanya justru semakin dihargai di kancah sastra internasional.

Akhir Hidup dan Pulang ke Danau Toba

Sitor wafat pada 21 Desember 2014 di Apeldoorn, Belanda, pada usia 90 tahun. Namun sesuai keinginan terakhirnya, jenazahnya akhirnya dibawa pulang dan dimakamkan di kampung kelahirannya di Harian Boho, Samosir, kembali ke tempat di mana puisinya pertama kali bertumbuh.

Sitor Situmorang bukan hanya penyair, ia adalah suara zaman. Hidupnya memantulkan perjalanan bangsa Indonesia: dari kolonialisme, revolusi, pergulatan ideologi, hingga dialog budaya global.

Namanya akan tetap dikenang sebagai salah satu penyair paling berpengaruh dalam sastra Indonesia—seorang perantau yang akhirnya kembali ke tanah yang selalu menjadi pusat puisinya Danau Toba.