Mengapa Bukan Keloko, Bukan Benjerang? Ketika Tarombo Kebablasan dan Sejarah Karo Dipaksakan

Dalam beberapa tahun terakhir, diskusi mengenai asal-usul beberapa merga di Karo kembali ramai. Salah satu topik yang sering dibahas adalah klaim bahwa merga Keloko berasal dari Haloho, atau bahwa Perangin-angin Simanjorang berasal dari Benjerang. Bahkan ada pula yang menyimpulkan Perangin-angin Kacinambun berasal dari marga Sinaga. Namun ketika ditelusuri dengan serius, banyak asumsi ini justru tidak didukung fakta adat, sejarah, maupun tradisi lisan masyarakat Karo sendiri.
Ada beberapa orang merga Kembaren yang mengaku bahwa kakek mereka adalah seorang Haloho. Jika benar mereka keturunan Haloho, mengapa mereka tidak mengubah merganya menjadi Keloko, yang sering diasosiasikan sebagai “Haloho versi Karo”? Mengapa justru memilih memakai Kembaren?
Pertanyaan serupa muncul pada Perangin-angin Simanjorang. Jika benar mereka berasal dari merga Manjorang, mengapa mereka tidak berganti nama menjadi Benjerang, yang sering dikaitkan dengan Manjorang? Mengapa merga Simanjorang tetap dipakai dan dipertahankan sampai turun-temurun?
Jawabannya sederhana:
👉 karena orang-orang itu tidak merasa berasal dari sana.
👉 karena secara adat, mereka tidak punya kewajiban mengganti identitasnya.
👉 dan karena sejarah tidak boleh dipaksakan hanya demi memuaskan teori tarombo tertentu.
Kasus Kacinambun dan Sinaga: Contoh “kreativitas berlebihan” tarombo
Ada pula opini yang menyatakan bahwa Perangin-angin Kacinambun berasal dari Sinaga. Informasi ini menyebar sehingga sebagian orang mulai percaya. Padahal, sepanjang tradisi lisan dan sejarah keluarga di Kacinambun, tidak pernah ada cerita seperti itu.
Justru yang dikenal:
✅ Guru Penawar Reme adalah Perangin-angin Kacinambun, bukan Karo-karo Kaban
✅ Ia mendapat “pupuk” dari Dibata di barungnya
✅ Dari barung itulah muncul kampung Kandibata (Kandi Dibata) yang terkenal hingga sekarang
✅ Dan kisah ini hidup di tengah masyarakat, bukan hasil rekaan sejarawan dadakan
Jika benar Kacinambun berasal dari Sinaga, mengapa tidak pernah muncul tradisi silang adat?
Mengapa tidak ada pengakuan adat antar-merga?
Mengapa tidak ada jejak perpindahan identitas?
Jawabannya lagi-lagi sama: karena tidak ada bukti.
Kesalahan paling umum: menafsirkan “gelar rurun” sebagai bukti asal-usul
Banyak kekeliruan muncul hanya karena di Karo Barat, beberapa merga memiliki gelar rurun. Misalnya, merga Kacinambun di Karo Barat memakai gelar Jorang, yang kemudian dikaitkan dengan Simanjorang, lalu diseret menjadi Manjorang, lalu ditarik ke Sinaga. Ini seperti rumus:
Jorang → Simanjorang → Manjorang → Sinaga → maka Kacinambun = Sinaga
Padahal:
❌ di Kacinambun sendiri, gelar rurun tidak dikenal
❌ gelar rurun bukan identitas merga
❌ gelar rurun banyak yang bersifat lucu (ludic), sindiran, atau panggilan sosial, bukan fakta genealogis
Ini seperti memaksa sejarah berjalan “langkah kuda” dalam catur: melompat sana-sini tanpa jalur logis.
Simanjorang: Bukan Simalungun, bukan Sinaga
Fakta lapangan sangat jelas:
✅ Panteken Simanjorang di Taneh Karo adalah Sikodon-kodon, Urung Pitu Kuta Tengging, Kecamatan Merek
✅ Tidak ada satu pun kampung Simanjorang sebagai panteken di Simalungun
✅ Banyak keturunan Simanjorang hidup sepenuhnya sebagai orang Karo sejak kakek-buyutnya
Lalu dari mana asal klaim “Simanjorang itu Sinaga”?
Jawabannya: di Simalungun, beberapa kelompok menyatukan Manjorang ke dalam hubungan Sinaga dalam struktur sosial mereka, tapi ini hanya berlaku di sana — bukan di Tanah Karo. Itu hubungan sosial, bukan sejarah genealogis.
Jadi mengapa Kacinambun harus ditarik-tarik ke Sinaga?
Tidak ada dasar adat.
Tidak ada tradisi.
Tidak ada bukti sejarah.
Secara ilmiah, ini masuk kategori hoax tarombo.
Sejarah Adat Tidak Bisa Dipaksa
-
Tidak semua persamaan gelar rurun berarti satu asal-usul
-
Tidak semua kedekatan geografis berarti satu merga
-
Tidak semua hubungan sosial di daerah lain berlaku di Karo
-
Kreativitas tanpa sumber justru merusak sejarah
Tarombo adalah ilmu, bukan sekadar dongeng.
Jika sejarah dipaksakan, lama-lama kita tidak beda jauh dengan “cocokologi”.
Seperti kata orang tua-tua Karo:
“Bagi ate seh ukur nari, bagi runggu seh ngelawan.”
(Kebenaran tidak butuh dijadikan-jadikan, cukup dibuktikan.)