Prof. Dr. Masri Singarimbun (1931–1997) Pakar Antropologi, Pelopor Studi Kependudukan Indonesia, dan Putra Karo yang Mendunia

Di antara nama-nama besar dalam dunia antropologi dan studi kependudukan Indonesia, sosok Prof. Dr. Masri Singarimbun menempati posisi penting. Ia bukan hanya akademisi yang produktif, tetapi juga tokoh yang membuka jalan bagi penelitian populasi dan kebijakan publik berbasis ilmiah di Indonesia. Keilmuan, integritas, dan pengabdiannya menjadikan namanya dikenang dalam dunia pendidikan dan ilmu sosial hingga kini.

Masa Kecil dan Latar Belakang

Masri Singarimbun lahir pada 18 Juni 1931 di Temburun, Tiganderket, sebuah desa di wilayah Karo, Sumatera Utara. Ia berasal dari kelompok etnis Karo, dan sebagaimana tradisi masyarakatnya, nama marganya menunjukkan identitas sosial serta garis keturunan  dalam hal ini marga Singarimbun.

Di masa kecil, ia dikenal dengan nama Matah Ari, sebuah nama Karo yang kemudian dipahami orang luar sebagai "Matahari." Nama itu kelak menjadi gambaran metaforis bagi perjalanan intelektualnya — seorang yang bersinar melalui ilmu pengetahuan.

Benih Ketertarikan pada Penelitian

Bakat akademik dan rasa ingin tahu Masri sudah tampak sejak sekolah menengah. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Medan pada tahun 1954, ia mulai melakukan observasi sosial dan pengumpulan data secara mandiri. Ia berkeliling desa-desa di Tanah Karo untuk menghimpun peribahasa tradisional. Kecintaannya pada tradisi lisan itu kemudian menghasilkan buku 1000 Perumpamaan Karo yang diterbitkan tahun 1962  sebuah kontribusi penting dalam dokumentasi budaya masyarakat Karo.

Pendidikan Tinggi dan Perjalanan Akademik

Masri melanjutkan studinya ke Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1959, di Fakultas Paedagogi. Tak lama kemudian, kemampuan akademiknya mengantarkan dirinya memperoleh beasiswa studi lanjut di Australian National University (ANU), Canberra.

Di ANU, ia mendalami antropologi sosial, sebuah bidang ilmu yang kemudian menjadi fondasi pemikirannya sepanjang karier. Disertasinya berjudul:

"Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak" (1966)

Penelitian ini menjadi salah satu karya akademis paling penting tentang struktur kekerabatan suku Karo. Disertasi tersebut kemudian diterbitkan oleh University of California Press dan menjadi rujukan internasional.

Selama berada di Australia, ia juga pernah bekerja sebagai pembantu Atase Militer KBRI di Canberra serta menjadi Research Fellow ANU.

Kembali ke Tanah Air: Pilihan untuk Mengabdi

Meski memiliki peluang besar untuk meneruskan karier di luar negeri, Masri memilih pulang ke Indonesia. Keputusan itu didorong nilai kebangsaan dan tanggung jawab moral.

Ia pernah menyampaikan bahwa ia pulang karena:

“Kami ingin membesarkan dan mendidik anak-anak Indonesia.”

Pernyataan ini menggambarkan idealisme dan jiwa pengabdiannya yang kuat.

Peran di Universitas Gadjah Mada

Sepulang dari Australia, Masri menjadi salah satu tokoh penting di lingkungan akademik UGM. Ia mengajar antropologi terapan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan (kini Fakultas Ilmu Budaya).

Namun kiprah terbesarnya adalah ketika ia mendirikan:

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (PSKK UGM)
dan menjadi direktur pertama pada 1973–1983.

Melalui lembaga ini, ia membangun tradisi penelitian ilmiah dalam bidang penduduk, kemiskinan, demografi, dan program keluarga berencana bidang yang saat itu sangat dibutuhkan negara.

Kontribusi dalam Dunia Ilmu dan Publikasi

Masri adalah penulis produktif. Selain disertasinya, ia menghasilkan berbagai karya tulis ilmiah, artikel populer, buku metodologi, dan laporan penelitian.

Beberapa karya pentingnya antara lain:

  • Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak

  • Economic Activity Among The Karo Batak of Indonesia

  • Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Srihardjo di Pedesaan Jawa

  • Metode Penelitian Survai (bersama Sofian Effendi), salah satu buku paling berpengaruh dalam metodologi penelitian sosial di Indonesia.

Selain di dunia akademik, Masri juga aktif sebagai kolumnis di Kompas, Sinar Harapan, Majalah Tempo, dan media lainnya.

Sikap, Karakter, dan Pengaruh

Rekan-rekannya menggambarkan Masri sebagai sosok yang:

  • Lugas dan disiplin

  • Berani menyuarakan kebenaran

  • Tegas dalam prinsip metodologi ilmiah

  • Tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika

Pada masa Orde Baru  ketika suara kritis tidak mudah diungkapkan  keberaniannya dianggap langka.

Penghormatan dan Warisan

Masri wafat pada 25 September 1997 di Yogyakarta dalam usia 66 tahun.

Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya, nama beliau diabadikan sebagai:

Gedung Magister Studi Kebijakan UGM → Gedung Masri Singarimbun

Menariknya, gedung tersebut dibangun tanpa bantuan pemerintah atau donor luar  sepenuhnya dari dana hasil efisiensi riset. Hal ini menjadi simbol nilai-nilai yang ia wariskan: kemandirian, integritas, efisiensi, dan akuntabilitas.

Warisan intelektual Masri Singarimbun jauh melampaui buku atau gedung yang memakai namanya. Ia meninggalkan sistem berpikir, tradisi ilmiah, dan generasi akademisi yang meneruskan gagasan tentang riset berbasis integritas, kebermanfaatan publik, dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.

Sebagai putra Karo, akademisi nasional, dan ilmuwan berkelas internasional, Masri Singarimbun adalah contoh nyata bahwa ilmu yang dijalani dengan ketekunan dan pengabdian dapat menjadi cahaya — seperti nama kecilnya Matahari.