Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tamaknya Manusia Kuasai Sumber Daya Alam


Karogaul.com - Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam [GNP SDA] 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96:4.

KPK juga merilis, usaha perkebunan sawit seluas 2.535.495 hektar dikuasai 10 perusahaan besar. Sementara, 2,1 juta pekebun rakyat, hanya menguasai lahan seluas 4.756.272 hektar. Fenomena serupa juga terjadi pada penguasaan tambang. Izin Pertambangan Rakyat sebanyak 171 izin dengan luas rata-rata 3,2 ha/izin dan izin usaha pertambangan [IUP] diterbitkan sebanyak 5.589 usaha dengan luas rata-rata 3.245 ha/IUP.


Namun demikian, Kontrak Karya yang diterbitkan sebanyak 32 usaha dengan luas rata-rata 40.753 ha/KK dan PKP2B sebanyak 26 usaha dengan luas rata-rata 28.575 ha/usaha. Usaha skala besar terus menyebabkan tekanan konversi lahan-lahan produksi bagi masyarakat desa, yang tercatat sekitar 353 hektar/hari lahan pertanian hilang.

Dikuasainya SDA oleh sekelompok orang/pengusaha, sebagaimana data yang dirilis KPK itu, terjadi hampir di semua daerah di Indonesia. Semua wilayah yang dianggap potensial, tidak luput dari jejaring usaha perkebunan, pertanian, dan pertambangan.

Jika kemudian banyak yang berpendapat, perekonomian Indonesia itu sebetulnya hanya tergantung pada segelintir orang, bisa saja dibenarkan. Andaikan 10 perusahaan besar yang menguasai perkebunan kelapa sawit tersebut, yang dilengkapi sarana utama seperti pabrik dan jaringan distribusi minyak goreng, serentak angkat kaki dari Indonesia, kuatkah sistem ekonomi negara ini bertahan? Sulit, jawabnya.


Nafsu berkuasa
Secara filosofis, munculnya nafsu berkuasa [pada semua sektor, termasuk SDA, adalah keinginan yang sudah ada pada manusia. Mahatma Gandi pernah berujar, “Bumi ini tidak akan pernah cukup untuk memenuhi nafsu satu orang tamak. Selalu akan kurang dan senantiasa mencari peluang baru.”

Tidak adanya kepuasan, sudah diprediksi oleh para leluhur di Nusantara ini. Prasasti Talang Tuwo semasa Kerajaan Sriwijaya, mengingatkan bahwa Bumi ini untuk hidup semua makhluk. Bukan untuk satu atau sekelompok orang.

Bumi untuk semua kepentingan: sosial, ekonomi, politik, hankam, lingkungan hidup, dan sebagainya. Itulah esensi dari pengaturannya dalam tata kelola bentang alam [landskap].

Lanskap harus diatur dan dirancang untuk kepentingan generasi-generasi penerus, bukan hanya saat ini. Pada lanskap juga harus diterapkan hukum keseimbangan, keserasian, dan terpenting prinsip keadilan.


Aldo Leopold [1949] pernah mengatakan konsep land ethics, yang menekankan pada keserasian hubungan di atas Bumi. Arne Naess membahasnya dalam beberapa model etika lingkungan. Tetapi, nafsu keserakahan manusia tetap tak bisa dibendung.

Ini tampaknya berawal dari gagasan filsafat Cartesian yang terkenal dengan konsep etika Antroposentris. Manusia adalah pusat kehidupan, sementara Bumi dan segala isinya hanya untuk manusia.

Atau bisa jadi terpapar jauh sejak zamannya filosof Epikuros yang memandang manusia memiliki kehendak bebas, deterministik, sehingga manusia bukanlah budak takdir. Disambung pula oleh masanya Thomas Aquinas serta John Stuart Mill, yang menekankan pada kebebasan manusia untuk berbuat demi mencapai kebahagiaan.


Gagasan-gagasan besar tersebut kemudian menjadi batu pijakan bagi berkembangnya pemikiran bebas, memandang alam dan kehidupan dengan menjunjung tingginya kekuatan individu. Liberalisme yang kemudian terwujud dalam bentuk kapitalisme, mewabah di mana-mana.

Kapitalisme yang merupakan anak kandung dari rasa serakah dan tamak itu membesar, membentuk pola-pola kehidupan individualistis di semua sisi. Sentralisasi penguasaan SDA pada sekelompok orang, khususnya usaha perkebunan bisa dilihat sebagai konsekuensi logis dari pola-pola kapitalistik.
Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, demikian kata-kata Lord Acton di akhir abad ke-19. Keserakahan identik dengan korupsi, atau paling tidak bisa dikatakan bahwa korupsi terjadi karena sikap serakah.

Definisi KPK mengatakan, korupsi dalam konteks SDA bukan sekadar suap menyuap dan penyalahgunaan wewenang. Tapi juga mencakup adanya “institusi alternatif”, yaitu jaringan yang dipelihara oleh kekuasaan, yang dalam praktiknya jauh lebih berkuasa dari kekuasaan legal itu sendiri.


Psikoanalis, Sigmund Freud berkata, ada sisi Id dalam diri manusia, sisi primitif yang lebih mendorong pada wilayah kesenangan dan nafsu individu. Semua manusia punya itu, tak dibedakan jenis kelamin atau profesi, apalagi ras dan suku bangsa.

Kuatnya godaan materi dan kesempatan yang dimiliki, membuat sisi Id manusia menonjol. Tamak dalam hal sumber daya alam adalah tamak yang menggiurkan. Sangat menggoda.

Berkaca dari “Cekap”
Novel “Cekap” yang ditulis T. Wijaya [Taufik Wijaya], kiranya menggambarkan sikap cekap [tamak, dalam Bahasa Palembang] manusia dalam hal penguasaan sumber daya alam. Terutama, di Sumatera Selatan. Idealisme menjadi sangat pragmatis dan tidak bisa bertahan ketika godaan materi dan kesempatan datang. Sebagai seniman dan jurnalis Mongabay yang fokus pada isu-isu lingkungan hidup, T. Wijaya mampu membawakan langgam cerita begitu terstruktur, dramatis, dan “seolah” nyata.


Banyak hal menarik yang diuraikan novel ini. Pertama, apabila pembaca novel ini seorang aktivis atau pejabat yang terlibat persoalan SDA, saya pastikan ia akan manggut-manggut mengiyakan. Semua dijelaskan detil dan jelas. Novel ini berbasis riset dan aksi nyata, sebagai kekuatannya.

Kedua, tak ada yang abadi di dunia ini. Mungkin, kejadian ini hanya dalam novel, tapi bisa sebagai otokritik bagi aktivis atau kelompok LSM yang fokus pada perjuangan petani. Seberapa kuat idealisme itu dipegang, atau kemudian menjadi tirani baru?

Ketiga, persoalan lingkungan hidup sejatinya bukan sekadar masalah internal dalam negeri Indonesia. Pihak internal sepertinya hanya pion-pion dari pemain lebih besar. Kekuatan asing, nyatanya tetap nyaman dengan permainannya, sementara pion seringkali harus dikorbankan.


Keempat, siapa menabur angin pasti akan menuai badai. Hukum alam berlaku. Apabila prinsip keseimbangan diganggu, kita tinggal menunggu waktu kehancuran alam. Semua akan selesai dengan sendirinya, dan dengan jalan masing-masing.

Novel tetaplah khayalan, renungan, kontemplasi, dan buah pikir seorang penulis. Penulis bebas bicara apa saja, tak ada pertanggungjawaban ilmiah, karena memang karangan.

Satu hal yang perlu direnungkan, apakah sikap serakah dan tamak terhadap sumber daya alam sebagaimana titik fokus novel ini, benar-benar terjadi di Indonesia?
Benarkah, kekuasaan berkontribusi pada semakin kuatnya ketamakan?

*Dr. Yenrizal, M.Si  [Akademisi Komunikasi Lingkungan, FISIP, UIN Raden Fatah Palembang]. Mongabay